MAKALAH
ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) LENGKAP
TUNA NETRA
Pengertian Tuna Netra
Pengertian tuna netra menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tidak dapat melihat (KBBI, 1989: 971) dan menurut literatur berbahasa Inggris visually handicapped atau visual impaired. Pada umumnya orang mengira bahwa tunanetra identik dengan buta, padahal tidaklah demikian karena tunanetra dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori.
Anak yang mengalami gangguan penglihatan dapat didefinisikan sebagai anak yang rusak penglihatannya yang walaupun dibantu dengan perbaikan, masih mempunyai pengaruh yang merugikan bagi anak yang yang bersangkutan (Scholl, 1986 ). Pengertian ini mencakup anak yang masih memiliki sisa penglihatan dan yang buta.
Dengan demikian, pengertian anak tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti orang awas.
B. Faktor penyebab kelainan Tuna Netra
Faktor yang menyebabkan terjadinya ketunanetraan antara lain (DITPLB, 2006):
1. Pre-natal
Faktor penyebab ketunanetraan pada masa pre-natal sangat erat hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan, antara lain:
a. Keturunan
Ketunanetraan yang disebabkanoleh faktor keturunan terjadi dari hasil perkawinan bersaudara, sesama tunanetra atau mempunyai orang tua yang tunanetra. Ketunanetraan akibat faktor keturunan antara lain Retinitis Pigmentosa, penyakit pada retina yang umumnya merupakan keturunan. Penyakit ini sedikit demi sedikit menyebabkan mundur atau memburuknya retina. Gejala pertama biasanyasukar melihat di malam hari, diikuti dengan hilangnya penglihatan periferal, dan sedikit saja penglihatan pusat yang tertinggal.
b. Pertumbuhan seorang anak dalam kandungan
Ketunanetraan yang disebabkan karena proses pertumbuhandalam kandungan dapat disebabkan oleh:
• Gangguan waktu ibu hamil.
• Penyakit menahun seperti TBC, sehingga merusak sel-sel darah tertentu selama pertumbuhan janin dalam kandungan.
• Infeksi atau luka yang dialami oleh ibu hamil akibat terkena rubella atau cacar air, dapat menyebabkan kerusakan pada mata, telinga, jantung dan sistem susunan saraf pusat pada janin yang sedang berkembang.
• Infeksi karena penyakit kotor, toxoplasmosis, trachoma dan tumor. Tumor dapat terjadi pada otak yang berhubungan dengan indera penglihatan atau pada bola mata itu sendiri.
• Kurangnya vitamin tertentu, dapat menyebabkan gangguan pada mata sehingga hilangnya fungsi penglihatan.
c. Post-natal
Penyebab ketunanetraan yang terjadi pada masa post-natal dapat terjadi sejak atau setelah bayi lahir antara lain:
• Kerusakan pada mata atau saraf mata padawaktu persalinan, akibat benturan alat-alat atau benda keras.
• Pada waktu persalinan, ibu mengalami penyakit gonorrhoe, sehingga baksil gonorrhoe menular pada bayi, yang pada akhirnya setelah bayi lahir mengalami sakit dan berakibat hilangnya daya penglihatan.
• Mengalami penyakit mata yang menyebabkan ketunanetraan, misalnya:
• Xeropthalmia; yakni penyakit mata karena kekurangan vitamin A.
• Trachoma; yaitu penyakit mata karena virus chilimidezoon trachomanis.
• Catarac; yaitu penyakit mata yang menyerang bola mata sehingga lensa mata menjadi keruh, akibatnya terlihat dari luar mata menjadi putih.
• Glaucoma; yaitu penyakit mata karena bertambahnya cairan dalam bola mata, sehingga tekanan pada bola mata meningkat.
• Diabetik Retinopathy; adalah gangguan pada retina yang disebabkan karena diabetis. Retina penuh dengan pembuluh-pembuluhdarah dan dapat dipengaruhi oleh kerusakan sistem sirkulasi hingga merusak penglihatan.
• Macular Degeneration; adalah kondisi umum yang agak baik, dimana daerah tengah dari retina secara berangsur memburuk.Anak dengan retina degenerasi masih memiliki penglihatan perifer akan tetapi kehilangan kemampuan untuk melihat secara jelas objek-objek di bagian tengah bidang penglihatan.
• Retinopathy of prematurity; biasanya anak yang mengalami ini karena lahirnya terlalu prematur. Pada saat lahir masih memiliki potensi penglihatan yang normal. Bayi yang dilahirkan prematur biasanya ditempatkan pada inkubator yang berisi oksigen dengan kadar tinggi, sehingga pada saat bayi dikeluarkan dariinkubator terjadi perubahan kadar oksigen yang dapat menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah menjadi tidak normal dan meninggalkan semacam bekas luka pada jaringan mata. Peristiwa ini sering menimbulkan kerusakan pada selaput jala (retina) dan tunanetra total.
d. Kerusakan mata yang disebabkan terjadinya kecelakaan, seperti masuknya benda keras atau tajam, cairan kimia yang berbahaya, kecelakaan dari kendaraan, dll.
C. Dampak Terjadinya Ketunanetraan
Penglihatan merupakan salah satu saluran informasi yang sangat penting bagi manusia, selain pendengaran, pengecap, pembau, dan perabaan. Pengalaman manusia kira-kira 80 persen dibentuk berdasarkan informasi dari penglihatan. Di bandingkan dengan indera yang lain indera penglihatan mempunyai jangkauan yang lebih luas. Pada saat seseorang melihat sebuah mobil maka ada banyak informasi yang sekaligus diperoleh seperti misalnya warna mobil, ukuran mobil, bentuk mobil, dan lain-lain termasuk detail bagian-bagiannya. Informasi semacam itu tidak mudah diperoleh dengan indera selain penglihatan.
Kehilangan indera penglihatan berarti kehilangan saluran informasi visual. Sebagai akibatnya penyandang tunanetra akan kekurangan atau kehilangan informasi yang bersifat visual. Seseorang yang kehilangan atau mengalami kelainan penglihatan, sebagai kompensasi, harus berupaya untuk meningkatkan indera lain yang masih berfungsi. Seberapa jauh dampak kehilangan atau kelainan penglihatan terhadap kemampuan seseorang tergantung pada banyak faktor misalnya kapan (sebelum atau sesudah lahir, masa balita atau sesudah lima tahun) terjadinya kelainan, berat ringannya kelainan, jenis kelainan dan lain-lain. Seseorang yang kehilangan penglihatan sebelum lahir sering sampai usia lima tahun pengalaman visualnya sangat sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali. Sedangkan yang kehilangan penglihatan setelah usia lima tahun atau lebih dewasa biasanya masih memiliki pengalaman visual yang lebih baik tetapi memiliki dampak yang lebih buruk terhadap penerimaan diri.
Ketunanetraan memiliki dampak baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap penyandangnya. Dampak secara langsung menyebabkan penyandang tunanetra tidak dapat menggunakan penglihatan dalam kegiatan sehari-hari seperti membaca dan menulis. Sebagai gantinya mereka harus menggunakan indera perabaan untuk membaca dan menulis. Sedangkan dampak secara tidak langsung sangat tergantung pada banyak faktor, misalnya seberapa berat ketunanetraan yang dialami, kapan ketunanetraan terjadi, serta bagaimana sikap keluarga dan masyarakat terhadap penyandang tunanetra tersebut. Dampak tidak langsung inilah yang justru sering kali menimbulkan dampak negatif.
Hilangnya indera penglihatan menurut Lowenfeld (1973:34) menimbulkan tiga keterbatasan, yaitu keterbatasan dalam hal luas dan variasi pengalaman, keterbatasan dalam hal bergerak, dan keterbatasan dalam hal interaksi dengan lingkungan. Dengan menyadari akan keterbatasan tersebut, para pendidikan atau orang tua diharapkan dapat memberikan intervensi sedini mungkin untuk mengurangi keterbatasan tersebut.
Di samping itu, dampak ketunanetraan dapat terjadi pada beberapa aspek, seperti aspek psikologis, aspek fisik atau aspek emosi dan sosial. Berikut ini akan dibahas dampak ketunanetraan terhadap perkembangan dan pertumbuhan berbagai aspek.
1. Dampak terhadap Perkembangan Motorik
Ketunanetraan itu sendiri tidak mempengaruhi secara langsung terhadap perkembangan dan pertumbuhan fisik yang menyebabkan anak tunanetra mengalami hambatan atau keterlambatan. Perkembangan motorik anak tunanetra pada bulan-bulan awal tidak berbeda dengan anak awas (Scholl, 1986: 73). Tetapi perkembangan selanjutnya perkembangan motorik anak tunanetra tampak berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh kurangnya stimulasi visual, ketidakmampuan menirukan orang lain, dan pengaruh faktor lingkungan.
Pada anak-anak yang awas (melihat) kegiatan motorik sangat dipengaruhi oleh rangsangan visual yang ada di sekitar anak. Ketika anak melihat benda yang menarik perhatiannya timbul keinginan untuk meraih benda tersebut. Dengan kegiatan semacam ini yang terjadi terus menerus dengan sendirinya memberikan dampak positif terhadap perkembangan motorik. Sebaliknya, pada anak tunanetra karena tidak dapat melihat benda di sekitarnya sehingga anak kehilangan stimulasi visual yang dapat merangsang anak untuk melakukan kegiatan motorik. Akibat hilangnya stimulasi visual, anak tunanetra kehilangan motivasi bergerak dan sering kali mengalami hambatan keterampilan fisik khususnya dalam menggunakan tubuhnya seperti koordinasi tangan dan motorik halus untuk mengenal lingkungan.
Tidak seperti anak awas, anak tunanetra tidak dapat belajar melakukan gerakan atau aktivitas motorik dengan cara meniru orang lain. Anak-anak awas sering kali belajar melalui meniru dan melihat orang lain yang lebih dewasa di sepanjang hidupnya.
Banyak anak tunanetra mengalami keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan fisik karena faktor lingkungan. Orang tua sering memberikan perlindungan yang berlebihan dan kurang memberi kesempatan pada anak tunanetra untuk belajar bergerak atau melakukan aktivitas motorik dan menggunakan tubuhnya untuk mengenal lingkungannya. Orang tua sering salah mengerti bahwa kalau tidak melindungi anak dianggap tidak menyayangi anaknya.
2. Dampak terhadap Perkembangan Kognitif
Kognitif adalah persepsi individu tentang orang lain dan obyek-obyek yang diorganisasikannya secara selektif. Respon individu terhadap orang dan obyek tergantung pada bagaimana orang dan obyek tersebut tampak dalam dunia kognitifnya, dan dunia setiap orang itu bersifat individual. arena tunanetra harus menggantikan fungsi indera penglihatan dengan inderaindera lainnya untuk mempersepsi lingkungannya dan banyak di antara mereka tidak pernah mempunyai pengalaman visual, sehingga konsep tentang dunia ini mungkin berbeda dari konsep orang awas pada umumnya.
Perkembangan psikomotor sangat menentukan perkembangan kognitif dan memperluas kemampuan mental anak-anak. Eksplorasi dengan kegiatan motorik terhadap benda-benda disekitar anak sangat merangsang perkembangan persepsi dan persepsi selanjutnya akan membantu membentuk konsep-konsep. Melalui konsep-konsep inilah kemudian pengetahuan anak tentang lingkungan dapat terbangun. Agar konsep-konsep menjadi bermakna, konsep harus dibangun berdasarkan pengalaman sensoris.
Dengan hilangnya penglihatan, anak tunanetra mengalami hambatan dalam perkembangan kognitif khususnya dalam hal stimulasi sensoris dan perkembangan pembentukan konsepkonsep.
3. Dampak terhadap Perkembangan Bahasa
Pada umumnya para ahli yakin bahwa kehilangan penglihatan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan memahami dan menggunakan bahasa, dan secara umum mereka berkesimpulan bahwa tidak terdapat hambatan dalam bahasa anak tunanetra. Mereka mengacu pada banyak studi yang menunjukkan bahwa siswa-siswa tunanetra tidak berbeda dari siswasiswa yang awas dalam hasil tes inteligensi verbal. Mereka juga mengemukakan bahwa berbagai studi yang membandingkan anak-anak tunanetra dan awas tidak menemukan perbedaan dalam aspek-aspek utama perkembangan bahasa. Karena persepsi auditif lebih berperan daripada persepsi visual sebagai media belajar bahasa, maka tidaklah mengherankan bila berbagai studi telah menemukan bahwa anak tunanetra relatif tidak terhambat dalam fungsi bahasanya.
Banyak anak tunanetra bahkan lebih termotivasi daripada anak awas untuk menggunakan bahasa karena bahasa merupakan saluran utama komunikasinya dengan orang lain. Seperti halnya anak-anak awas, anak-anak tunanetra memahami makna kata-kata yang dipelajarinya melalui konteksnya dan penggunaannya di dalam bahasa. Sebagaimana anak awas, anak tunanetra belajar kata-kata yang didengarnya meskipun kata-kata itu tidak terkait dengan pengalaman nyata dan tak bermakna baginya. Kalaupun anak tunanetra mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya, hal itu bukan semata-mata akibat langsung dari ketunanetraannya melainkan terkait dengan cara orang lain memperlakukannya. Ketunanetraan tidak menghambat pemrosesan informasi ataupun pemahaman kaidah-kaidah bahasa.
4. Dampak terhadap Keterampilan Sosial
Orang tua mempunyai peran penting dalam perkembangan sosial anak. Perlakuan orang tua terhadap anaknya yang tunanetra sangat ditentukan oleh sikapnya terhadap ketunanetraan itu, dan emosi merupakan satu komponen dari sikap di samping dua komponen lainnya yaitu kognisi dan kecenderungan tindakan. Ketunanetraan yang terjadi pada seorang anak selalu menimbulkan masalah emosional pada orang tuanya. Ayah dan ibunya akan merasa kecewa, sedih, malu dan berbagai bentuk emosi lainnya. Mereka mungkin akan merasa bersalah atau saling menyalahkan, mungkin akan diliputi oleh rasa marah yang dapat meledak dalam berbagai cara. Persoalan seperti ini terjadi pada banyak keluarga yang mempunyai anak cacat.
Pada umumnya orang tua akan mengalami masa duka karena anaknya yang cacat itu dalam tiga tahap; tahap penolakan, tahap penyesalan, dan akhirnya tahap penerimaan, meskipun untuk orang tua tertentu penerimaan itu mungkin akan tercapai setelah bertahun-tahun. Proses dukacita ini merupakan proses yang umum terjadi pada orang tua anak cacat. Sikap orang tua tersebut akan berpengaruh terhadap hubungan di antara mereka (ayah dan ibu) dan hubungan mereka dengan anak itu, dan hubungan tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi perkembangan emosi dan sosial anak.
5. Dampak terhadap Mobilitas
Kemampuan yang paling terpengaruh oleh ketunanetraan untuk penyesuaian sosial adalah kemampuan mobilitas yaitu keterampilan untuk bergerak secara leluasa di dalam lingkungannya. Keterampilan mobilitas ini sangat terkait dengan kemampuan orientasi, yaitu kemampuan untuk memahami hubungan lokasi antara satu obyek dengan obyek lainnya di dalam lingkungan (Hill dan Ponder,1976).
Para pakar dalam bidang orientasi dan mobilitas telah merumuskan dua cara yang dapat ditempuh oleh individu tunanetra untuk memproses informasi tentang lingkungannya, yaitu dengan metode urutan (sequential mode) yang menggambarkan titik-titik di dalam lingkungan sebagai rute yang berurutan, atau dengan metode peta kognitif yang memberikan gambaran topografis tentang hubungan secara umum antara berbagai titik di dalam lingkungan (Dodds, 1988).
Metode peta kognitif lebih direkomendasikan karena cara tersebut menawarkan fleksibilitas yang lebih baik dalam mengeksplorasi lingkungan. Bayangkan tiga titik yang berurutan A, B, dan C. Memproses informasi tentang orientasi lingkungan dengan metode urutan membatasi gerakan individu sedemikian rupa sehingga dia dapat bergerak dari A ke C hanya melalui B.
Tetapi individu yang memiliki peta kognitif dapat pergi dari titik A langsung ke titik C tanpa melalui B. Akan tetapi, meskipun menggunakan berbagai cara penyandang tunanetra tetap memiliki keterbatasan dalam bidang mobilitas dibandingkan dengan anak yang awas. para Penyandang tunanetra harus lebih bergantung pada ingatan untuk memperoleh gambaran tentang lingkungannya dibandingkan dengan individu yang awas. Untuk keperluan mobilitas, alat bantu yang umum dipergunakan oleh penyandang tunanetra di Indonesia adalah tongkat. Di negara barat penggunaan anjing penuntun (guide dog) sangat populer namun di Indonesia masih jarang sekali. Di samping itu, penggunaan alat elektronik untuk membantu orientasi dan mobilitas penyandang tunanetra masih terus dikembangkan.
Agar anak tuna netra memiliki rasa percaya diri untuk bergerak secara leluasa di dalam lingkungannya mereka harus memperoleh latihan orientasi dan mobilitas. Program latihan orientasi dan mobilitas tersebut harus mencakup sejumlah komponen, termasuk kebugaran fisik, koordinasi motor, postur, keleluasaan gerak, dan latihan untuk mengembangkan fungsi inderaindera yang masih berfungsi.
D. Hak-hak yang Dimiliki Anak Tunanetra
1. Hak untuk hidup
2. Hak untuk memperoleh kewarganegaraan
3. Hak untuk memiliki harta milik
4. Hak untuk menikah dan berkeluarga
5. Hak untuk tidak terganggu privasinya
6. Perlindungan hukum
7. Kesetaraan di depan hukum
8. Kebebasan dari kekerasan/ penganiayaan
9. Kebebasan berpikir, berkesadaran dan beragama
10. Kebebasan berpendapat dan berekspresi
11. Kebebasan berkumpul dan berserikat secara damai
12. Hak untuk memperoleh proses peradilan oleh pengadilan yang independen dan tidak memihak
13. Hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan di negaranya
14. Hak untuk memperoleh jaminan sosial
15. Hak untuk bekerja
16. Hak untuk memperoleh hari libur
17. Hak untuk memperoleh pangan, sandang, papan dan perawatan kesehatan yang layak
18. Hak untuk memperoleh pendidikan
19. Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya di dalam masyarakat
20. Hak untuk memperoleh pemulihan efektif apabila hak-haknya dilanggar
Hak-Hak Anak Tunanetra yang terdapat dalam pustaka.
1. Hak untuk mendidik dirinya. (The Right to Educated Oneself)
2. Hak untuk pekerjaan dan profesi.(The Right to Occupation or Profession)
3. Hak untuk memelihara kesehatan dan fisik secara baik ( The Right to Maintain Health and Physical Well Being)
4. Hak untuk hidup mandiri (the Right to Independent Living)
5. Hak untuk kasih sayang (Right to Love)
Karena itu pengajaran bagi tunanetra harus mengacu kepada:
1. Kebutuhan akan pengalaman kongkrit.
2. Kebutuhan akan pengalaman memadukan
3. Kebutuhan akan berbuat dan bekerja dalam belajar.
Media Belajar Anak Tunanetra dikelompokkan menjadi dua yaitu:
1. Kelompok buta dengan media pendidikannya adalah tulisan braille.
2. Kelompok low Vision dengan medianya adalah tulisan awas.
E. Pengertian Layanan Tunanetra
Anak tunanetra adalah anak yang mengalami gangguan penglihatan atau ketidak fungsiannya indra penglihatan secara normal sehingga memerlukan layanan pendidikan khusus. Bervariasinya kelainan penglihatan pada anak tunanetra, menuntut adanya pengelolaan yang cermat dalam mengidentifikasi kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya. Hal ini penting dalam upaya menentukan apa yang dibutuhkan dapat mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan kemampuan dan keadaannya.
Anak berkebutuhan khusus (ABK) ini ada dua kelompok, yaitu: ABK temporer (sementara) dan permanen (tetap). Adapun yang termasuk kategori ABK temporer meliputi: anak-anak yang berada di lapisan strata sosial ekonomi yang paling bawah, anak-anak jalanan (anjal), anak-anak korban bencana alam, anak-anak di daerah perbatasan dan di pulau terpencil, serta anak-anak yang menjadi korban HIV-AIDS. Sedangkan yang termasuk kategori ABK permanen adalah anak-anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, Autis, ADHD (Attention Deficiency and Hiperactivity Disorders), Anak Berkesulitan Belajar, Anak berbakat dan sangat cerdas (Gifted), dan lain-lain.
Untuk menangani ABK tersebut dalam setting pendidikan inklusif di Indonesia, tentu memerlukan strategi khusus. Pendidikan inklusi mempunyai pengertian yang beragam. Stainback dan Stainback (1990) mengemukakan bahwa: sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi. Selanjutnya, Staub dan Peck (1995) menyatakan bahwa: pendidikan inklusi adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya. Sementara itu, Sapon-Shevin (O’Neil, 1995) menyatakan bahwa pendidikan inklusi sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Oleh karena itu, ditekankan adanya perombakan sekolah, sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak, sehingga sumber belajar menjadi memadai dan mendapat dukungan dari semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya.
Melalui pendidikan inklusi, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Freiberg, 1995). Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas.
Dalam hal ini, ada empat strategi pokok yang diterapkan pemerintah, yaitu: peraturan perundang-undangan yang menyatakan jaminan kepada setiap warga negara Indonesia (termasuk ABK temporer dan permanen) untuk memperoleh pelayanan pendidikan, memasukkan aspek fleksibilitas dan aksesibilitas ke dalam sistem pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal. Selain itu, menerapkan pendidikan berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan mengoptimalkan peranan guru.
Sebagaimana telah dijelaskan pada unit terdahulu, bahwa anak kebutuhan khusus adalah anak-anak yang mengalami keterbatasan atau hambatan dalam segi fisik, mental-intelektual, maupun sosial emosional. Kondisi yang demikian baik secara langsung atau tidak berdampak pada berbagai aspek kehidupan mereka. Untuk itu layanan sangat diperlukan bagi mereka untuk menjalani kehidupanya secara lancar.
Secara umum kondisi anak-anak berkebutuhan khusus memang berada pada anak-anak pada umumnya. Namun keadaan yang demikian, bukan berarti layanan yang diberikan selalu berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Mukin saja anak-anak yang berkebuthan khusus secara umum memerlukan layanan sebagaimana anak-anak pada umunnya, dan hanya pada beberapa bidang yang memerlukan layanan atau pendampingan khusus. Artinya, untuk beberapa jenis anak berkebutuhan khusus sebagaian besar dapat mengikuti layanan pndidikan sebagimana anak-anak pada umunnya. Kendati demikian, tentunya ada anak-anak berkebutuhan khusus yang memang memerlukan layanan individual, karena kondisi dan keadaannya yang tidak memungkinkan untuk mengikuti layanan sebagimana anak-anak normal.
Dari segi waktu, pemberian layanan pada anak berkebutuhan khusus juga sangat bervariasi. Tidak semua anak-anak berkebutuhan khusus memerlukan layanan sepanjang hidupnya, adannya layanan bagi mereka bersifat temporer. Anak-anak mungkin hanya membutuhkan layanan dalam beberapa periode waktu. Contohnya , anak-anak tuna netra membutuhkan layanan orientasi dan mobilita hanya diperlukan pada tingkat satuan pendidikan sekolah dasar.demikian juga dengan anak-anak berkebuthan khusus lainnya. Namun, untuk anak-anak berklasifikasi berat memerlukan berbagai layanan yang lebih lama untuk menumbuhkan kemandirian mereka.
Ada beberapa jenis layanan yang bisa diberikan kepada anak-anak berkebutuhan khusus sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Namun secara umum akan mencakup :
1) Layanan medis dan fisiologis
2) Layanan sosial-psikologis, dan
3) Layanan pedagogis/ pedidikan.
Beberapa jenis layanan tersebut diberikan oleh para ahli yang kompeten pada bidangnya masing-masing, yang dilakukan berdasarkan kebutuhan anak.
F. Model Layanan Pendidikan ABK, Bentuk-bentuk, Layanan Pendidikan Inklusif
1. Model layanan ABK
ABK memiliki tingkat kekhususan yang amat beragam, baik dari segi jenis, sifat, kondisi maupun kebutuhannya, oleh karena itu, layanan pendidikannnya tidak dapat dibuat tunggal/seragam melainkan menyesuaiakan diri dengan tingkat keberagaman karakteristik dan kebutuhan anak. Dengan beragamnya model layanan pendidikan tersebut, dapat lebih memudahkan anak-anak ABK dan orangtuanya untuk memilih layanan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya. Ada beberapa model layanan pendidikan bagi ABK yang ditawarkan mulai dari yang model klasik sampai yang modern/terkini.
1.1. Model Segregasi
Model segregasi merupakan model layanan pendidikan yang sudah lama dikenal dan diterapkan pada anak-anak berkebutuhan khusus di Indonesia. Model ini mencoba memberikan layanan pendidikan secara khusus dan terpisah dari kelompok anak normal maupun ABK lainnya. Dalam praktiknya, masing-masing kelompok anak dengan jenis kekhususan yang sama dididik pada lembaga pendidikan yang melayani sesuai dengan kekhususanya tersebut. Sebagai contoh: SLB/A, lembaga pendidikan untuk anak tuna netra; SLB/B, lembaga pendidikan untuk Anak tunarungu; SLB/C, lembaga pendidikan untuk anak tuna grahita, SLB/D lembaga pendidikan untuk anak tuna daksa, dan SLB/E lembaga pendidikan untuk anak tuna laras, sekolah autisme, sekolah anak ber IQ sedang, sekolah anak berbakat, dan sebagainya.
Kelebihan dari model ini adalah (1) anak merasa senasib, sehingga dapat menghilangkan rasa minder, rasa rendah diri, dan membangkitkan semangat menyongsong kehidupan di hari-hari mendatang, (2) anak lebih mudah beradaptasi dengan temannya yang sama-sama mengalami/menyandang ketunaan, (3) anak termotivasi dan bersaing secara sehat dengan sesama temannya yang senasib di sekolahnya, dan anak lebih mudah bersosialisasi tanpa dibayangi rasa takut bergaul, minder, dan rasa kurang percaya diri.
Kekurangan/Kelemahan adalah (1) anak terpisah dari lingkungan anak lainnya sehingga anak sulit bergaul dan menjalin komunikasi dengan mereka yang normal, (2) anak merasa terpasung dan dibatasi pergaulanya dengan anak yang cacat saja sehingga pada giliranya dapat menghambat perkembangan sosialisasinya di masyarakat, dan (3) anak merasakan ketidakadilan dalam kehidupan di sekolah yang terbatas bagi mereka yang tergolong berkelainan.
2.2. Model Kelas Khusus
Sesuai dengan namanya, keberadaan kelas khusus tidak berdiri sendiri seperti halnya sekolah khusus (SLB), melainkan berada di sekolah umum/regular. Keberadaan kelas khusus tidak bersifat permanen, melainkan didasarkan pada ada / tidaknya anak-anak yang memerlukan pendidikan/pembelajaran khusus di sekolah tersebut. Pada kelas khusus biasanya terdapat beberapa siswa yang memiliki derajat kekhususan yang relatif sama. Untuk menanganinya digunakan pembelajaran individual (individualized instruction) karena masing-masing anak memiliki kekhususan. Tujuan pembentukan kelas khusus adalah untuk membantu anak-anak agar tidak terjadi tinggal kelas/ drop out atau untuk menemukan gejala keluarbiasaan secara dini pada anak-anak SD. Dalam praktiknya kelas khusus bersifat fleksibel, ada kelas khusus sepanjang hari, dan kelas khusus untuk bidang studi tertentu. Dalam kelas khusus sepanjang hari ABK dididik oleh guru khusus di ruangan/kelas yang khusus pula. Pada jam-jam istirahat, anak-anak ini dapat berinteraksi dengan mereka yang bukan ABK, sedangkan pada jam-jam pelajaran mereka, hanya berinteraksi dengan sesama mereka yang berkategori ABK. Kelas khusus ini hampir mirip dengan sekolah segregasi, hanya lokasinya berada dalam satu naungan sekolah induk/reguler.
Untuk bidang studi tertentu ABK belajar bidang studi yang tidak dapat mereka ikuti di kelas reguler. Adapun untuk bidang studi tertentu, seperti olahraga, kerajinan tangan, musik, dan lain-lain dapat dilakukan secara bersama-sama dengan anak-anak yang bukan ABK. Di kelas khusus ini biasanya anak-anak mendapat mata pelajaran yang bersifat akademik seperti membaca, menulis, dan berhitung atau aspek-aspek lain yang sesuai dengan kekhususannya.
Kebaikan/ kelebihan model ini adalah (1) anak lebih mendapatkan perlakuan dan pelayanan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya karena anak dikelompokkan relative homogen, (2) potensi anak dapat lebih cepat berkembang karena pembelajarannya menggunakan pendekatan individual atau kelompok kecil, (3) secara sosial, anak dapat lebih mudah mengembangkan diri karena berada dalam lingkungan yang normal.
Kekurangan/Kelemahannya adalah (1) ABK kadang- masih mendapatkan stigma negative dari sebagian temannya sehingga dapat mengganggu/ menghambat perkembangan belajarnya, (2) ABK dalam bersosialisasi kadang-kadang masih enggan untuk bergaul dengan mereka yang bukan kategori ABK, dan (3) sebahagian orangtua kadang-kadang tidak terima bila anaknya dicap sebagai ABK apalagi kalau dikelompokkan dengan sesama ABK dalam kelas khusus
2.3. Model Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB)
SDLB keberadaannya hampir mirip dengan SLB, akan tetapi SDLB sesuai adalah sekolah yang diperuntukkan dan untuk menampung anak-anak berkebutuhan khusus usia sekolah dasar dari berbagai jenis dan tingkat kekhususan yang dialaminya. Oleh karena itu, dalam SDLB ada ABK kategori tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, dan sebagainya. Mereka belajar di kelas masing-masing yang disesuaikan dengan jenis kekhususannya, akan tetapi mereka bersosialisasi secara bersama-sama dalam satu naungan sekolah. SDLB pada hakikatnya adalah SD Negeri Inpres biasa tetapi diperuntukkan bagi anak usia wajib belajar yang memerlukan pendidikan khusus. Dilihat dari keragaman anak di SDLB dengan berbagai jenis kekhususannya tersebut, maka SDLB sebenarnya termasuk sekolah terpadu, akan tetapi terpadu secara fisik bukan terpadu secara akademik. (Dwidjo Sumarto, 1988)
Kebaikan/Kelebihan Model ini adalah (1) anak merasa berada dalam dunia yang lebih luas, tidak hanya terbatas pada jenis kelainan tertentu saja, (2) dalam perkembangan sosial, anak lebih leluasa mengadakan interaksi dan komunikasi dengan sesama teman yang sangat bervariasi jenis ketunaannya, dan (3) secara psikologis, anak dapat lebih mudah meningkatkan rasa percaya diri, menebalkan semangat, dan motivasi berprestasi.
Kekurangan/Kelemahan (1) anak masih merasakan bahwa mereka hidup dalam lingkungan yang terpisah dari anak yang, (2) anak merasakan terbatas dalam mengembangkan interaksi dan komunikasi dengan mereka yang berkategori normal, karena anak-anak dikelompokkan berdasarkan jenis ketunaan tertentu, sehingga kadang-kadang timbul sikap permusuhan diantara kelompok mereka.
2.4. Model Guru Kunjung
Model guru kunjung dapat diterapkan untuk melayani pendidikan ABK yang ada atau bermukim di daerah terpencil, daerah perairan, daerah kepulauan atau tempat-tempat yang sulit dijangkau oleh layanan pendidikan khusus yang telah ada, misalnya SLB, SDLB, kelas khusus, dsb. Di tempat-tempat tersebut dibentuk sanggar/kelompok-kelompok belajar tempat anak-anak memperoleh layanan pendidikan. Guru kunjung secara periodik mengunjungi kelompok belajar yang menjadi binaannya. Program pendidikannya meliputi pembelajaran dengan materi praktis dan pragmatis, seperti keterampilan kehidupan sehari-hari, membaca, menulis, dan berhitung sederhana. Kelompok belajar ini dapat dikatakan sebagai kelas jauh yang menginduk kepada SLB,SDLB, SD terdekat. Guru kunjung tersebut biasanya diambilkan dari guru khusus yang mengajar di sekolah induknya atas penunjukan dari dinas pendidikan setempat.
Kebaikan / Kelebihan model ini adalah (1) anak dapat lebih mendapat layanan pendidikan dengan tidak perlu datang ke jauh karena sudah ada petugas/guru khusus yang mendatanginya, (2) anak-anak bisa saling berkomunikasi dengan sesama ABK dari daerah/tempat yang lain yang saling berjauhan sehingga dapat memicu semangat belajar, (3) anak-anak memperoleh pengetahuan dan keterampilan praktis dan pragmatis yang mereka butuhkan sehari-hari.
Kelemahannya adalah (1) layanan pendidikan dengan guru kunjung dalam banyak hal masih sulit diterapkan karena memerlukan jaringan kerjasama berbagai pihak, (2) ABK di daerah terpencil, pedalaman, atau di tempat terasing lain keberadaannya terpencar-pencar sehingga menyulitkan dalam koordinasi dalam pelaksanaan pembelajaran, (3) orangtua anak ABK di daerah terpencil umumnya masih rendah kesadarannya untuk mengirimkan anaknya ke sanggar belajar, dan (4) masalah transportasi adalah persoalan klasik yang menjadi kendala orangtua untuk mengirimkan anaknya belajar ke sanggar belajar.
2.5. Sekolah Terpadu
Sekolah terpadu pada hakikatnya merupakan sekolah normal biasa yang telah ditetapkan untuk menerima ABK. Mereka belajar bersama-sama dengan anak-anak normal, dengan diajar oleh guru umum sedangkan materi-materi yang memiliki sifat kekhususan diberikan oleh guru pendamping. Dalam pelaksanaannya pendidikan terpadu dapat berlangsung secara (1) terpadu penuh/sepanjang hari pelajaran dan (2) secara terpadu sebagian/khsusus bidang studi tertentu.
Pada tipe sekolah terpadu penuh, ABK belajar bersama-sama dengan mereka yang bukan ABK dengan mengikuti semua pelajaran tanpa terkecuali. Meskipun demikian tipe sekolah ini tetap membutuhkan kehadiran guru pendamping khusus di kelas/sekolah tersebut. Guru khusus ini bisa menjadi mitra kerja bagi guru umum yang mengajar. Jika guru umum menghadapi kesulitan berkaitan dengan ABK maka ia dapat meminta bantuan pada guru khusus. Di sekolah terpadu sebagian ABK mengikuti mata pelajaran bersama-sama, misalnya Matematika, IPA, IPS, dan lain-lain. Sedangkan untuk mata pelajaran yang tidak bisa diikuti oleh ABK, maka ABK dilayani tersendiri sesuai dengan karakteristik kekhususannya, seperti kegiatan: olahraga, kerajinan tangan, latihan orientasi dan mobilitas, dan lain-lain. Pendidikan/Sekolah Terpadu pada awalnya hanya menerima murid ABK kategori tunanetra, namun untuk sekarang dan yang akan datang pendidikan terpadu diharapkan bisa menerima murid dari semua jenis ABK dengan sistem yang lebih baik lagi.
Kebaikan/ kelebihan model ini adalah (1) anak merasa dihargai harkat dan martabatnya sehinga mereka bisa belajar bersama-sama dengan anak normal tanpa dibatasi oleh dinding tembok pemisah yang tegas,(2) dari perkembangan sosial, anak lebih mudah berinteraksi dan berkomunikasi secara luas dengan mereka/anak-anak yang normal di sekolah tersebut, (3) secara psikologis, anak merasa percaya diri dan dapat menimbulkan semangat/motivasi untuk bersaing secara sehat dengan mereka yang berkategori normal.
Kekurangan / kelemahan, adalah (1) anak kadang merasa rendah diri sehingga dapat meruntuhkan semangat belajar, (2) dalam kondisi tertentu, anak menjadi bahan olok-olokan egative dari temannya yang normal sehingga kondisi kejiwaan ABK menjadi tertekan, dan (3) ketersediaan guru GPK (Guru Pendamping Khusus) bagi anak ABK di sekolah tersebut tidak selalu ada.
2.6. Pendidikan Inklusi (Inclusive Education)
Kata inklusi bermakna terbuka, lawan dari eksklusi yang bermakna tertutup. Pendidikan Inklusi berarti pendidikan yang bersifat terbuka bagi siapa saja yang mau masuk sekolah baik dari kalangan anak normal maupun ABK. Demikian pula lingkungan pendidikan, termasuk ruangan kelas, toilet, halaman bermain, laboratorium, dan lain-lain harus dimodifikasi dan dapat diakses oleh semua anak, termasuk anak-anak berkebutuhan khusus. Pelaksanaan pendidikan inklusi dilatarbelakangi oleh filsafat mainstreaming yang menyatakan bahwa dunia yang normal harus berisi manusia normal dan yang tidak normal. Demikian pula komunitas sekolah yang normal harus ada kebersamaan antara anak normal dan anak yang tidak normal, baik pada saat menerima pelajaran dalam kelas maupun pada saat bersosialisasi di luar kelas. Penyelenggaraan pendidikan inklusi tentu saja memerlukan perencanaan yang matang, sehingga dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan efek yang kurang menguntungkan.
Pendidikan inklusi lazimnya sudah diterapkan di negara-negara maju, seperti Norwegia, Swedia, Denmark, USA, dan sebagian Australia. Di Indonesia model pendidikan inklusi sudah mulai banyak dirintis di beberapa sekolah tertentu, namun belum dapat sepenuhnya dilaksanakan. Dalam kasus-kasus tertentu nama sekolah inklusi telah menjadi trade mark , tetapi dalam prakteknya tidak lebih dari sekedar sekolah terpadu biasa. Oleh karena itu di masa-masa yang akan datang sekolah inklusi di Indonesia bukan hanya sekedar nama saja tetapi diharapkan menjadi sebuah sekolah inklusi beneran seperti yang telah diselenggarakan di beberapa negara maju di Eropa, Amerika dan Australia. Ini tentu saja menjadi tugas dan komitmen bersama antara pemerintah, sekolah dan masyarakat.
Kebaikan/ kelebihan model ini adalah (1) anak akan memperoleh keadilan layanan pendidikan, tidak dibedakan dari anak normal sehingga secara tidak langsung dapat membangkitkan motivasi dan gairah belajar di sekolah, (2) anak dapat berpartisipasi dalam kehidupan di sekolah tanpa memandang kekurangan yang disandang, (3) anak merasakan perlakuan dan persamaan hak, harkat dan martabat dalam memperoleh layanan pendidikan tanpa membedakan antara yang cacat dan yang normal, dan (4) anak dapat bergaul dan berinteraksi secara sehat dengan teman-temannya yang normal, sehingga meningkatkan rasa percaya diri dan motivasi berprestasi dalam belajar.
Kekurangan dan kelemahannya adalah untuk dapat disebut sebagai sekolah inklusi dibutuhkan sarana dan prasarana yang dapat mengakses kebutuhan individual anak yang tidak gampang dipenuhi oleh sekolah yang telah menyatakan diri sebagai sekolah inklusi. Untuk dapat disebut sebagai sekolah inklusi yang sebenarnya juga dibutuhkan tenaga pendidik dan tenaga non pendidik (seperti dokter, psikolog, konselor, dan sebagainya) yang tidak serta-merta dapat dipenuhi oleh sekolah yang memproklamirkan diri sebagai sekolah inklusi.Meskipun disebut sebagai sekolah Inklusi yang secara teoritis bisa menerima semua anak tanpa memandang normal atau tidak normal, namun dalam praktik di lapangan sekolah inklusi biasanya hanya menerima anak cacat yang berkategori ringan, bukan yang berkategori sedang atau berat.
Program bimbingan, pengajaran, dan latihan di sekolah yang berkaitandengan kebutuhan interaksi sosial anak tunanetra dapat diberikan guru dalam bentuk :
1. Bimbingan untuk mengenal situasi sekolah, baik dari sisi fisik bangunan maupun
dari sisi interaksi orang per-orang.
2. Menumbuhkembangkan perasaan nyaman, aman, dan senang dalam lingkungan barunya.
3. Melatih kepekaan indera-indera tubuh yang masih berfungsi sebagai bekal pemahaman
kognitif, afektif dan psikomotornya.
4. Melatih keberanian anak tunanetra untuk mengenal hal-hal baru, terutama hal-hal
yang tidak ia temui ketika berada di rumah.
5. Menumbuhkan kepercayaan diri dan kemandirian dalam berkomunikasi dan melakukan kontak.
6. Melatih mobilitas anak untuk mengembangkan kontak-kontak sosial yang akan
dilakukan dengan teman sebaya.
7. Memberikan pendidikan etika dan kesantunan berkaitan dengan adat dan kebiasaan
yang berlaku dalam suatu daerah. Pendidikan etika yang berlaku di rumah dapat
berbeda ketika anak tunanetra masuk dalam lingkungan baru dengan beragam kepribadian
individu.
8. Mengenalkan anak tunanetra dalam beragam karakter interaksi kelompok. Hal ini
dapat memberikan pemahaman bahwa tiap kelompok memiliki karakter interaksi yang berbeda. Misalnya kelompok anak-anak kecil, kelompok remaja, atau kelompok orang dewasa.
Interaksi sosial yang baik maupun yang kurang baik merupakan proses yang tidak
diturunkan bagi anak tunanetra, melainkan diperoleh melalui proses belajar,
bimbingan dan latihan. Pengaruh internal maupun eksternal yang positif dan negatif,
secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi anak tunanetra dalam
berinteraksi. Untuk menghindari terjadinya perilaku yang kurang baik pada anak
tunanetra dalam bergaul perlu ditanamkan kemauan yang kuat. Kemauan yang kuat pada
diri anak tunanetra dapat menimbulkan kepercayaan pada diri. Anak tunanetra juga
dapat membedakan antara perilaku yang baik dan kurang baik dalam berinteraksi dengan
lingkungannya melalui program pengembangan interaksi sosial.
Untuk memenuhi kebutuhan khusus anak tunanetra, sekolah atau lembaga pendidikan bagi tunanetra menyiapkan program pemenuhan kebutuhan tersebut dalam bentuk kurikulum.
Kurikulum pendidikan di lembaga pendidikan tunanetra biasanya dapat digolongkan sebagai bidang studi dan sebagai keterampilan khusus. Secara keseluruhan program atau kurikulum tersebut memiliki tujuan (a) untuk meniadakan atau mengurangi hambatan belajar dan perkembangan akibat ketunanetraan, (b) memberikan berbagai keterampilan agar mereka mampu berkompetisi dengan orang lain pada umumnya, dan (c) membantu mereka untuk memahami atau menyadari akan potensi dan kemampuannya. Menurut Bishop (1996) keterampilan yang diperlukan atau yang perlu disediakan di lembaga pendidikan bagi tunanetra meliputi; keterampilan sensoris (kesadaran, diskriminasi, persepsi), perkembangan motorik, pengembangan konsep, keterampilan komunikasi, keterampilan bahasa, Braille, keterampilan sosial, kemampuan menolong diri sendiri (ADL),Orientasi dan Mobilitas.
1. Tulisan Braille
Pengembangan metode membaca dan menulis dengan perabaan dimulai pada akhir abad ke-17. Pada abad ke 18 ditemukannya tulisan timbul oleh Louis Braille yang memberikan perubahan monumental bagi kehidupan para tunanetra dan kemajuan di bidang literature (bacaan), komunikasi, dan pendidikan.
Braille adalah serangkaian titik timbul yang dapat dibaca dengan perabaan jari oleh orang tunanetra. Braille bukanlah bahasa tetapi kode yang memungkinkan bahasa seperti bahasa Indonesia, Inggris, Jerman dan lain-lain dapat dibaca dan ditulis. Simbol Braille dibentuk dari titik timbul dalam suatu formasi (susunan) sebagai suatu unit yang disebut sel Braille. Sebuah sel Braille yang penuh terdiri atas enam titik timbul yang tersusun dalam dua kolom dan tiga baris. Posisi titik dalam sel diberi nomor urut dari 1 sampai dengan 6. Nomor 1 sd 3 untuk sel sebelah kiri dari atas ke bawah dan nomor 4 sd 6 untuk sel sebelah kanan. Kombinasi titik dalam satu sel Braille dapat digunakan untuk satu huruf, angka, atau tanda baca bahkan sebagai satu kata.
Membaca dan menulis Braille masih digunakan secara luas oleh tunanetra baik di negara maju maupun negara-negara berkembang. Sekalipun sudah banyak alat membantu untuk membaca dan menulis huruf Braille seperti komputer, tetapi keterampilan membaca dan menulis Braille secara manual tetap penting khususnya ketika harus membuat catatan-catatan kecil dalam rapat atau mengikuti pelajaran tertentu yang tidak memungkinkan membawa alat elektronik. Disadari membaca dan menulis huruf Braille membutuhkan waktu dan ruang lebih banyak dibandingkan menulis huruf cetak, maka, dalam membaca dan menulis Braille ada huruf yang digunakan untuk mewakili suku kata yang disebut tulisan singkat Braille yang sering disebut dengan tusing Braille.
2. Orientasi dan Mobilitas
Orientasi dan mobilitas merupakan dua keterampilan yang tak terpisahkan yaitu orientasi mental dan gerakan fisik. Orientasi adalah kemampuan seseorang untuk mengenali lingkungannya dan hubungan dengan dirinya baik secara temporal (waktu) maupun spatial (ruang). Dalam bentuk lain orientasi dapat didefinisikan sebagai proses penggunaan indera yang masih berfungsi untuk menetapkan posisi diri dan hubungannya dengan obyek lain yang ada di lingkungannya. Orientasi merupakan proses mental untuk mengolah informasi yang berhubungan dengan tiga pertanyaan berikut: Di mana saya?, kemana tujuan saya?, dan bagaimana saya mencapai tujuan tersebut? Dengan kata lain seseorang yang sedang melakukan orientasi berarti sedang mengumpulkan informasi untuk menjawab pertanyaan; (1) Dalam ruang alat-alat elektronik yang
atau lingkungan tertentu, di manakah posisi seseorang berada?, (2) di manakah tujuan yang diinginkan seseorang sehubungan dengan posisi tersebut?, dan (3) bagaimana atau dengan cara bagaimana seseorang dapat mencapai tujuan yang diinginkan?
Latihan orientasi dan mobilitas melatih seorang tunanetra untuk bergerak dalam suatu
lingkungan dengan efisien dan selamat seperti di lingkungan rumah, sekolah, maupun
masyarakat. Latihan orientasi dan mobilitas mencakup (1) latihan sensori, (2) pengembangan konsep, (3) pengembangan motorik, (4) keterampilan orientasi formal, dan (5) keterampilan mobilitas formal.
Latihan orientasi dan mobilitas untuk anak-anak yang lebih besar atau orang dewasa
difokuskan pada kemandirian untuk melakukan perjalanan di luar ruang dalam masyarakat dan melatih mereka keterampilan khusus seperti menyeberang jalan, menggunakan angkutan umum, melewati tangga dan lain-lain. Sedangkan latihan orientasi dan mobilitas untuk anak-anak difokuskan pada (1) memahami dan penggunaan informasi sensoris, (2) pengenalan anggota tubuh dan gerakan yang dapat dilakukan, (3) pengenalan obyek yang ada di lingkungan, (4) memotivasi mereka untuk bergerak dan bereksplorasi, dan (5) pengenalan berbagai ruang dan fungsinya.
Latihan orientasi dan mobilitas untuk anak-anak prasekolah melatih mereka agar menguasai konsep-konsep yang penting dan keterampilan mobilitas yang diperlukan untuk perjalanan mandiri baik di dalam maupun di luar ruang seperti rumah, sekolah, lapangan bermain dll. Penguasaan keterampilan orientasi dan mobilitas yang baik pada masa anak-anak membantu mereka menjadi pejalan yang percaya diri dan mandiri pada saat dewasa.
Ada empat sistem mobilitas yang biasa digunakan oleh tunanetra yaitu berjalan dengan pendamping awas, tongkat, anjing penuntun (dog guide), dan alat bantu elektronik. Sistem ini bukanlah sistem yang terpisah-pisah, karena sangat mungkin seorang tunanetra menggunakan lebih dari satu sistem secara bersama-sama.
a. Pendamping Awas
Keterampilan berjalan dengan bantuan atau pendamping orang awas dalam sistem orientasi dan mobilitas dikenal dengan istilah pendamping awas (human guide atau sighted guide). Teknik pendamping awas juga dapat digunakan secara kombinasi misalnya dengan teknik tongkat atau anjing penuntun. Berikut ini adalah dasar-dasar penerapan teknik pendamping awas. Pendamping berdiri setengah
lengan pendamping di bagian tepat di atas sikut. Misalnya ketika tunanetra memegang lengan pendamping sebelah kanan. Tunanetra mengusahakan agar pergelangan tangannya lurus dan ibu jari berada di bagian luar lengan pendamping. Tunanetra mengusahakan agar sikut tangan yang memegang lengan pendamping selalu dekat dengan tubuhnya. Sikutnya membentuk sudut 90 derajat. Arah wajah pendamping dan tunanetra selalu satu arah dengan pundak dari kuduanya sejajar. Pundak sebelah kanan pendamping tegak lurus dengan pundak tunanetra pundak kiri tunanetra. Jika tinggi badan antara pendamping dan tunanetra tidak sama, teknik alternatif dapat digunakan seperti gambar di bawah ini. langkah secara diagonal di depan tunanetra. Tunanetra memegang dan tunanetra berbeda
b. Tongkat
Tongkat adalah alat bantu mobilitas yang praktis dan murah. Dengan menggunakan tongkat penyandang tunanetra dapat berjalan mandiri dengan am
dengan teknik yang benar perlu latihan yang intensif dan sistematis. Tanpa latihan khusus
penggunaan tongkat tidak akan efektif dan efisien.
Ada beberapa jenis dan tipe tongkat yang dapat digunakan oleh tunanetra misalnya
orthopedic, tongkat lipat, tongkat dengan sinar laser dan lain kayu, alumunium, fiberglass, plastik dan sebagainya. Tongkat untuk tunanetra yang banyak dipakai terbuat dari alumunium. Panjang tongkat bervariasi sesuai dengan tinggi badan dan pemakainya. Tongkat paling banyak digunakan oleh tunanetra khususnya pada saat melakukan
perjalanan mandiri di luar gedung atau rumah. Tongkat berfungsi sebagai petunjuk bahwa pemakainya adalah tunanetra, melindungi dari benturan dengan benda penghambat di jalan, mendeteksi keadaan jalan, dan menemukan landmark dalam rangka mengenali posisinya. Selain itu untuk menjaga keamanan. Agar dapat menggunakan tongkat
lain-lain. Tongkat dapat dibuat dari karet dan ujungnya dari nylon.
Menurut Murakami (1986)
Cara menggunakan tongkat pada dasarnya ada dua cara yaitu (1) kepalan tangan di depan
perut dan (2) kepalan tangan berada di samping paha. Cara pertama, siku membengkok dan kepalan tangan berada di depan perut, ini berarti juga bahwa ujung tongkat yang dipegang berada di depan perut. Bagian tongkat yang dipegang terletak di tengah telapak tangan dan dijepit oleh kelingking, jari manis dan jari tengah. Sedangkan ibu jari menumpang di atas tongkat dan jari telunjuk menempel di bagian luar tongkat dalam posisi menunjuk ke ujung tongkat. Posisi demikian memudahkan pergelangan tangan untuk bergerak dan posisi siku tidak banyak berubah.
Cara mengayunkan tongkat adalah mengayunkan tongkat ke kiri dan ke kanan sambil
diketukkan ke tanah. Jarak antara kedua ketukan di tanah tersebut selebar bahu pemakainya. Pertama-tama kaki sejajar dan ujung tongkat terletak di depan kaki kanan, dalam posisi ini kaki kanan yang melangkah terlebih dahulu dan tongkat diayunkan ke kiri. Tepat pada saat kaki kanan menyentuh tanah ujung tongkat juga menyentuh tanah di sebelah kiri. Selanjutnya kaki kiri melangkah ke depan dan ujung tongkat diayunkan ke kanan. Tepat pada saat kaki kiri menyentuh tanah ujung tongkat menyentuh tanah di bagian kanan. Demikian seterusnya. Cara menggunakan tongkat seperti ini banyak digunakan di Amerika, oleh karena itu cara ini sering disebut metode Amerika .
Cara menggunakan tongkat seperti ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Metode ini cocok untuk jalan yang ramai, jalan yang banyak rintangan, dan jalan yang belum dikenal.Tetapi, metode ini sangat melelahkan, bahaya bagi perut kalau ujung tongkat menusuk tanah, kalau berjalan terlalu cepat susah untuk menggerakkan tongkat sesuai dengan kecepatan langkah kaki, dan bagian tongkat yang melindungi badan hanya sedikit.
Cara kedua, memegang tongkat dengan meluruskan siku tangan dan tergantung lepas
sehingga kepalan tangan berada di samping paha. Cara memegang seperti ini tidak
membahayakan bagi perut kalau ujung tongkat menusuk tanah. Di samping itu, cara demikian tidak melelahkan dan bagian badan lebih banyak terlindungi.
G. Konsep Layanan Pendidikan bagi ABK
Konsep-konsep Penting bagi Anak Tunanetra Hill dan Blasch (1980) mengklasifikasi jenis-jenis konsep yang diperlukan bagi anak tunanetra menjadi tiga kategori besar, yaitu (1) konsep tubuh (body concepts), (2) konsep ruang (spatial concepts), dan (3) konsep lingkungan (environmental concepts). Informasi yang diperlukan oleh tunanetra untuk mengenal konsep tubuh mencakup kemampuan untuk mengidentifikasi atau mengenali nama bagian-bagian tubuh serta mengetahui lokasi, gerakan, hubungannya dengan bagian tubuh yang lain, dan fungsi bagian-bagian tubuh tersebut.
Pengenalan tubuh yang baik merupakan modal dasar untuk mengembangkan konsep ruang dan sebagai dasar untuk proses orientasi dirinya terhadap lingkungan yang diperlukan untuk mencapai mobilitas yang baik. Konsep ruang (spatial concepts) mencakup posisi (positional) atau hubungan (relational), bentuk, dan ukuran. Sebagai contoh konsep tentang posisi/hubungan meliputi depan, belakang, atas, bawah, kiri, kanan, antara, atau paralel. Yang termasuk konsep bentuk meliputi bulat, lingkaran, persegi panjang, segi tiga, dan lain-lain.
Sedangkan yang termasuk konsep ukuran meliputi jarak, jumlah, berat, volume, atau panjang. Konsep ukuran dapat berupa satuan seperti: kg, cm, m2, dll. Di samping itu, yang termasuk konsep ukuran adalah ukuran relatif seperti kecil, besar, berat, ringan, sempit, jauh, dan sebagainya. Sebelum memulai mengajar atau mengembangkan konsep pada anak tuna¬netra, diperlukan untuk mengidentifikasi beberapa konsep yang dianggap penting untuk dipahami anak tunanetra agar dapat berpartisipasi dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, baik di sekolah maupun di rumah. Berikut ini adalah beberapa konsep untuk proyek pengajaran pengembangan konsep dan orientasi mobilitas oleh guru di Universitas San Francisco. Tentu saja ini bukanlah daftar konsep yang terlengkap perlu dipahami oleh anak tunanetra.
Konsep-konsep lain masih perlu ditambahkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak. Menurut Hall (1982) ada sepuluh kategori konsep yang dianggap penting bagi anak tunanetra, yaitu (1) kesadaran tubuh (body awareness), (2) kesadaran lingkungan (enviromental awareness), (3) kesadaran karakteristik obyek (awareness of object characteristics), (4) kesadaran waktu (time awareness), (5) kesadaran ruang (spatial awareness), (6) aksi (actions), (7) kualitas (quality), (8) kesadaran simbol (symbol awareness), (9) kesadaran emosi dan sosial (emotional and social awareness), dan (10) proses berfikir (reasoning).
Kesadaran tubuh adalah konsep-konsep yang digunakan terkait dengan anggota tubuh, yang di antaranya: atas, bawah; belakang, depan; tengah; seluruh tubuh; nama bagian tubuh yang penting; tubuh bagian atas, tubuh bagian bawah; dan hubungan antarbagian tubuh; kesadaran kinestetik meliputi: belok, gerak, diam; kesadaran proprioceptive meliputi: meng¬genggam, lipat tangan, berdiri tegak; sensasi meliputi: pembauan, peng¬lihatan, perabaan, pendengaran, pengecap; ekspresi wajah meliputi: senyum, mengerutkan dahi, dan lain-lain.
Kesadaran lingkungan yaitu kesadaran atas obyek yang ada di lingkungan dan hubungan khusus antar obyek, misalnya: perempatan, jalan, trotoar, lampu lalu lintas, took, rumah, kafe, bus, kereta api, meja, kursi, kotak surat, tangga, mendung, jalan setapak, jalan layang, pesawat terbang, dan lain-lain. Kesadaran karakteristik obyek adalah kesadaran akan karakteristik umum suatu obyek yang meliputi: ukuran, bentuk, warna, suara, tekstur, dan perbandingan. Untuk ukuran misalnya: kecil, sedang, besar, lebar, sempit, panjang, pendek, dalam, dangkal, gemuk, kurus, dan lain-lain. Untuk bentuk misalnya: lingkaran, segi tiga, persegi, bujur sangkar, dan sebagainya. Untuk warna misalnya: gelap, terang, keruh, dan nama-nama warna. Untuk suara misalnya: tinggi, rendah, keras, pelan. Untuk tekstur misalnya: kasar, halus, kaku, lentur, keras, lunak. Perbandingan misalnya, lebih besar, lebih kecil, sama, dan berbeda.
Kesadaran waktu, yaitu konsep yang berhubungan dengan waktu, misalnya: mulai, berakhir, sebelum, sesudah, pertama, berikutnya, hari ini, besok, kemarin, yang akan datang, dan sebagainya. Kesadaran ruang, yaitu konsep yang berhubungan dengan posisi, misalnya: paralel, siku-siku, pinggir, tengah, di dalam, lurus, di antara, jauh, dekat, dan lain-lain. Aksi yaitu konsep yang berkaitan dengan gerakan, misalnya: menulis, membaca, melompat, memakan, meminum, merangkak, mendorong, me¬mukul, menarik, melempar, menendang, dan sebagainya. Kualitas, yaitu konsep yang berhubungan dengan angka atau kombinasi angka, misalnya: setengah, sepertiga, beberapa, sedikit, dan banyak. Yang berhubungan dengan operasi hitung, misalnya: meter, detik, menit, jam, tambah, kurang, bagi, kali, dan sebagainya.
Kesadaran simbol, yaitu konsep tentang simbol-simbol yang penting misalnya: arah mata angin, kata ganti orang seperti saya, dia, mereka, kamu, kami, dan lain-lain.
Kesadaran emosi dan sosial, yaitu konsep-konsep yang berhubungan dengan penyesuaian psikososial, misalnya: bahasa tubuh, konsep diri, suasana hati (sedih, senang, kecewa, atau marah), tinggi rendah suara waktu bicara (intonasi), cara bertanya, dan lain-lain. Reasoning yaitu proses berfikir yang menggunakan konsep, misalnya: orien¬tasi, estimasi, memutuskan, membuat pertimbangan (baik, buruk, salah, benar, dan lain-lain).
Selama proses belajar mengajar atau komunikasi pada orang lain khususnya dengan anak tunanetra, seringkali kita menggunakan konsep-konsep yang tidak mudah atau bahkan sulit dipahami oleh anak. Misalnya, ketika kita berkomunikasi dengan anak tunanetra kita menggunakan istilah (konsep) ‘ini’, ‘itu’, ‘di sana’ yang semuanya tidak dapat dipahami oleh anak tunanetra. Di samping itu, kita juga sering beranggapan bahwah istilah yang kita gunakan sangat mudah, tetapi kenyataannya tidak bagi anak-anak. Jika hal semacam ini berlangsung cukup lama dan banyak konsep yang tidak dipahami, maka dapat menghambat perkembangan konsep anak-anak.
Untuk memperkenalkan suatu konsep pada anak-anak agar dipahami secara benar perlu dilakukan dengan pendekatan yang sistematis. Pendekatan yang sistematis dalam menyampaikan konsep ada dua langkah. Pertama, memberikan atau mengembangkan definisi tentang konsep yang dimaksud. Pembuatan definisi ini dimaksudkan untuk memberikan karakteristik suatu konsep secara umum dengan cara sesederhana mungkin. Oleh karena itu, definisi ini tidak harus selalu diambil dari kamus. Definisi yang sederhana akan membantu memudahkan untuk memahaminya.
Kedua, melakukan proses analisis secara konseptual agar konsep tersebut dapat dipahami dengan langkah-langkah yang strategis secara hirarkis. Sebagai contoh, kita akan memperkenalkan konsep ‘depan’. Diharapkan anak dapat menunjukkan secara verbal, atau perabaan bagian depan suatu obyek yang tidak memiliki bagian depan dan belakang secara jelas (misalnya meja). Untuk itu, pertama-tama konsep ‘depan’ tersebut kita pecah sekurang-kurangnya satu tingkat di bawah level pemahaman anak. Dalam contoh ini konsep ‘depan’ dipecah menjadi prosedur sebagai berikut.
Pertama, anak diminta menunjukkan bagian depan tubuhnya atau mengidentifikasi obyek-obyek yang tidak memiliki bagain depan dan belakang secara jelas (definitive). Kedua, anak diminta mengidentifikasi obyek-obyek yang tersentuh tubuh dengan mengatakan bahwa obyek-obyek tersebut berada di depan tubuhnya. Ketiga, anak diminta mengidentifikasi benda-benda yang berada di depannya. Keempat, anak diminta meng¬iden¬tifikasi bagian depan suatu obyek yang berada di depannya. Dengan pro¬sedur ini, diharapkan anak mendapatkan pengertian istilah ‘depan’ dengan berbagai makna. Prosedur tersebut secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut.
H. Klasifikasi anak Tuna netra
Menurut Lowenfeld, (1955), klasifikasi anak tunanetra yang didasarkan pada waktu terjadinya ketunanetraan, yaitu :
• Tunanetra sebelum dan sejak lahir; yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman penglihatan.
• Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil; mereka telah memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan.
• Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja; mereka telah memiliki kesan-kesan visual dan meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan pribadi.
• Tunanetra pada usia dewasa; pada umumnya mereka yang dengan segala kesadaran mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.
• Tunanetra dalam usia lanjut; sebagian besar sudah sulit mengikuti latihan-latihan penyesuaian diri.
• Tunanetra akibat bawaan (partial sight bawaan)
Klasifikasi anak tuna netra berdasarkan kemampuan daya penglihatan, yaitu :
• Tunanetra ringan (defective vision/low vision); yakni mereka yang memiliki hambatan dalam penglihatan akan tetapi mereka masih dapat mengikuti program-program pendidikan dan mampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang menggunakan fungsi penglihatan.
• Tunanetra setengah berat (partially sighted); yakni mereka yang kehilangan sebagian daya penglihatan, hanya dengan menggunakan kaca pembesar mampu mengikuti pendidikan biasa atau mampu membaca tulisan yang bercetak tebal.
• Tunanetra berat (totally blind); yakni mereka yang sama sekali tidak dapat melihat.
Menurut WHO, klasifikasi didasarkan pada pemeriksaan klinis, yaitu:
• Tunanetra yang memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 20/200 dan atau memiliki bidang penglihatan kurang dari 20 derajat.
• Tunanetra yang masih memiliki ketajaman penglihatan antara 20/70 sampai dengan 20/200 yang dapat lebih baik melalui perbaikan.
Menurut Hathaway, klasifikasi didasarkan dari segi pendidikan, yaitu :
• Anak yang memiliki ketajaman penglihatan 20/70 atau kurang setelah memperoleh pelayanan medik.
• Anak yang msempunyai penyimpangan penglihatan dari yang normal dan menurut ahli mata dapat bermanfaat dengan menyediakan atau memberikan fasilitas pendidikan yang khusus.
Menurut Kirk (1962) mengutip klasifikasi ketunanetraan, yaitu :
• Anak yang buta total atau masih memiliki persepsi cahaya sampai dengan 2/2000, ia tidak dapat melihat gerak tangan pada jarak 3 kaki di depan wajahnya.
• Anak yang buta dengan ketajaman penglihatan sampai dengan 5/200, ia tidak dapat menghitung jari pada jarak 3 kaki di depan wajahnya.
• Anak yang masih dapat diharapkan untuk berjalan sendiri, yaitu yang memiliki ketajaman penglihatan sampai dengan 10/200, ia tidak dapat membaca huruf-huruf besar seperti judul berita pada koran.
• Anak yang mampu membaca huruf-huruf besar pada koran, yaitu yang memiliki ketajaman penglihatan sampai dengan 20/200, akan tetapi ia tidak dapat diharapkan untuk membaca huruf 14 point atau tipe yang lebih kecil.
• Anak yang memiliki penglihatan pada batas ketajaman penglihatan 20/200 atau lebih, akan tetapi ia tidak memiliki penglihatan cukup untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang memerlukan penglihatan dan anak ini tidak dapat membaca huruf 10 point.
Menurut Howard dan Orlansky, klasifikasi didasarkan pada kelainan-kelainan yang terjadi pada mata, yaitu :
Kelainan ini disebabkan karena adanya kesalahan pembiasan pada mata. Hal ini terjadi bila cahaya tidak terfokus sehingga tidak jatuh pada retina. Peristiwa ini dapat diperbaiki dengan memberikan lensa atau lensa kontak. Kelainan-kelainan itu, antara lain :
• Myopia; adalah penglihatan jarak dekat, bayangan tidak terfokus dan jatuh di belakang retina. Penglihatan akan menjadi jelas kalau objek didekatkan. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita Myopia digunakan kacamata koreksi dengan lensa negatif.
• Hyperopia; adalah penglihatan jarak jauh, bayangan tidak terfokus dan jatuh di depan retina. Penglihatan akan menjadi jelas jika objek dijauhkan. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita Hyperopia digunakan kacamata koreksi dengan lensa positif.
• Astigmatisme; adalah penyimpangan atau penglihatan kabur yang disebabkan karena ketidakberesan pada kornea mata atau pada permukaan lain pada bola mata sehingga bayangan benda baik pada jarak dekat maupun jauh tidak terfokus jatuh pada retina. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita astigmatisme digunakan kacamata koreksi dengan lensa silindris.
I. Karakteristik Tuna Netra
1. Tunanetra Total
a. Fisik
Keadaan fisik anak tunanetra tidak berbeda dengan anak sebaya lainnya. Perbedaan nyata diantara mereka hanya terdapat pada organ penglihatannya.
Gejala tunanetra yang dapat diamati dari segi fisik diantaranya:
1. Mata juling
2. Sering berkedip
3. Menyipitkan (kelopak) mata
4. Mata merah
5. Mata infeksi
6. Gerakan mata tak beraturan dan cepat
7. Mata selalu berair (mengeluarkan air mata.
8. Pembengkakan pada kulit tempat tumbuh bulu mata.
b. Perilaku
Ada beberapa gejala tingkah laku yang tampak sebagai petunjuk dalam mengenal anak yang mengalami gangguan penglihatan secara dini: Menggosok mata secara berlebihan.
1. Menutup atau melindungi mata sebelah, memiringkan kepala atau mencondongkan kepala ke depan.
2. Sukar membaca atau dalam mengerjakan pekerjaan lain yang sangat memerlukan penggunaan mata.
3. Berkedip lebih banyak daripada biasanya atau lekas marah apabila mengerjakan suatu pekerjaan.
4. Membawa bukunya ke dekat mata.
5. Tidak dapat melihat benda-benda yang agak jauh.
6. Menyipitkan mata atau mengkerutkan dahi.
7. Tidak tertarik perhatiannya pada objek penglihatan atau pada tugas-tugas yang memerlukan penglihatan seperti melihat gambar atau membaca.
8. Janggal dalam bermain yang memerlukan kerjasama tangan dan mata.
9. Menghindar dari tugas-tugas yang memerlukan penglihatan atau memerlukan penglihatan jarak jauh.
Penjelasan lainnya berdasarkan adanya beberapa keluhan seperti:
a. Mata gatal, panas atau merasa ingin menggaruk karena gatal.
b. Banyak mengeluh tentang ketidakmampuan dalam melihat.
c. Merasa pusing atau sakit kepala.
d. Kabur atau penglihatan ganda.
c. Psikis
Secara psikhis anak tunanetra dapat dijelaskan sebagai berikut:
Mental/intelektualØ
Intelektual atau kecerdasan anak tunanetra umumnya tidak berbeda jauh dengan anak normal/awas. Kecenderungan IQ anak tunanetra ada pada batas atas sampai batas bawah, jadi ada anak yang sangat pintar, cukup pintar dan ada yang kurang pintar. Intelegensi mereka lengkap yakni memiliki kemampuan dedikasi, analogi, asosiasi dan sebagainya. Mereka juga punya emosi negatif dan positif, seperti sedih, gembira, punya rasa benci, kecewa, gelisah, bahagia dan sebagainya.
SosialØ
1. Hubungan sosial yang pertama terjadi dengan anak adalah hubungan dengan ibu, ayah, dan anggota keluarga lain yang ada di lingkungan keluarga. Kadang kala ada orang tua dan anggota keluarga yang tidak siap menerima kehadiran anak tunanetra, sehingga muncul ketegangan, gelisah di antara keluarga. Akibat dari keterbatasan rangsangan visual untuk menerima perlakuan orang lain terhadap dirinya.
2. Tunanetra mengalami hambatan dalam perkembangan kepribadian dengan timbulnya beberapa masalah antara lain:
Curiga terhadap orang lainØ
Akibat dari keterbatasan rangsangan visual, anak tunanetra kurang mampu berorientasi dengan llingkungan, sehingga kemampuan mobilitaspun akan terganggu. Sikap berhati-hati yang berlebihan dapat berkembang menjadi sifat curiga terhadap orang lain.
Untuk mengurangi rasa kecewa akibat keterbatasan kemampuan bergerak dan berbuat, maka latihan-latihan orientasi dan mobilitas, upaya mempertajam fungsi indera lainnya akan membantu anak tunanetra dalam menumbuhkan sikap disiplin dan rasa percaya diri.
Perasaan mudah tersinggung.Ø
Perasaan mudah tersinggung dapat disebabkan oleh terbatasnya rangsangan visual yang diterima. Pengalaman sehari-hari yang selalu menumbuhkan kecewa menjadikan seorang tunanetra yang emosional.
Ketergantungan yang berlebihanØ
Ketergantungan ialah suatu sikap tidak mau mengatasi kesulitan diri sendiri, cenderung mengharapkan pertolongan orang lain. Anak tunanetra harus diberi kesempatan untuk menolong diri sendiri, berbuat dan bertanggung jawab. Kegiatan sederhana seperti makan, minum, mandi, berpakaian, dibiasakan dilakukan sendiri sejak kecil.
2. Low Vision
Beberapa ciri yang tampak pada anak low vision antara lain:
1. Menulis dan membaca dengan jarak yang sangat dekat
2. Hanya dapat membaca huruf yang berukuran besar.
3. Mata tampak lain; terlihat putih di tengah mata (katarak) atau kornea (bagian bening di depan mata) terlihat berkabut.
4. Terlihat tidak menatap lurus ke depan.
5. Memicingkan mata atau mengerutkan kening terutama di cahaya terang atau saat mencoba melihat sesuatu.
6. Lebih sulit melihat pada malam hari daripada siang hari.
7. Pernah menjalani operasi mata dan atau memakai kacamata yang sangat tebal tetapi masih tidak dapat melihat dengan jelas.
J. Implementasi pemberian layanan pendidikan di SD bagi anak Tuna Netra (metode, strategi, pendekatan yang di gunakan dan langkah-langkah)
a. Macam-Macam Metode Pengajaran yang Dapat diikuti oleh Tunanetra
Metode-metode pengajaran yang diterapkan dalam proses belajar mengajar mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, sehingga variasi metode pengajaran bertambah.
Pada dasarnya metode yang digunakan untuk siswa tunanetra hampir sama dengan siswa normal, hanya yang membedakan ialah adanya beberapa modifikasi dalam pelaksanaannya, sehingga para tunanetra mampu mengikuti kegiatan pembelajaran yang bisa mereka ikuti dengan pendengaran ataupun perabaan.
Di bawah ini, ada beberapa metode yang dapat di laksanakan dengan menggunakan fungsi pendengaran dan perabaan, tanpa harus menggunakan penglihatan. Adapun metode-metode tersebut ialah:
1. Metode Ceramah
Yang dimaksud dengan metode ceramah ialah cara penyampaian sebuah materi pelajaran dengan cara penuturan lisan kepada siswa atau khalayak ramai. Zuhairini dkk mendefinisikan metode ceramah ialah suatu metode di dalam pendidikan di mana cara penyampaian pengertian-pengertian materi kepada anak didik dengan jalan penerangan dan penuturan secara lisan. Untuk penjelasan uraiannya, guru dapat mempergunakan alat-alat bantu mengajar yang lain, misalnya gambar, peta, denah dan alat peraga lainnya.
Metode ceramah dapat diikuti oleh tunanetra karena dalam pelaksanaan metode ini guru menyampaikan materi pelajaran dengan penjelasan lisan dan siswa mendengar penyampaian materi dari guru.
2. Metode Tanya jawab
Metode tanya jawab ialah penyampaian pelajaran dengan cara guru mengajukan pertanyaan dan murid menjawab atau suatu metode di dalam pendidikan di mana guru bertanya sedangkan murid menjawab tentang materi yang ingin diperolehnya.
Menurut Zakiah Daradjat metode tanya jawab adalah salah satu teknik mengajar yang dapat membantu kekurangan-kekurangan yang terdapat pada metode ceramah. Ini disebabkan karena guru dapat memperoleh gambaran sejauhmana murid dapat mengerti dan dapat mengungkapkan apa yang telah diceramahkan.
Siswa tunanetra mampu mengikuti pengajaran dengan menggunakan metode tanya jawab, karena metode ini merupakan tambahan dari metode ceramah yang menggunakan indera pendengaran.
3. Metode Diskusi
Metode diskusi adalah salah satu alternatif metode yang dapat dipakai oleh seorang guru di kelas dengan tujuan dapat memecahkan suatu masalah berdasarkan pendapat para siswa. Seiring dengan itu metode diskusi berfungsi untuk merangsang murid berfikir atau mengeluarkan pendapatnya sendiri mengenai persoalan-persolan yang kadang-kadang tidak dapat dipecahkan oleh suatu jawaban atau suatu cara saja, tetapi memerlukan wawasan atau ilmu pengetahuan yang mampu mencari jalan terbaik atau alternatif terbaik.
Anak tunanetra dapat mengikuti kegiatan belajar mengajar yang menggunakan metode diskusi, mereka dapat ikut berpartisipasi dalam kegiatan diskusi itu karena dalam metode dsikusi, kemampuan daya fikir siswa untuk memecahkan suatu persoalan lebih diutamakan. Dan metode ini bisa diikuti tanpa menggunakan indera penglihatan
4. Metode Sorogan
Metode sorogan adalah metode individual di mana murid mendatangi guru untuk mengkaji suatu kitab dan guru membimbingnya secara secara langsung. Metode ini dalam sejarah pendidikan Islam dikenal dengan sistem pendidikan ” Kuttai” sementara di dunia barat dikenal dengan metode tutorship dan mentoring. Pada prakteknya si santri diajari dan dibimbing bagaimana cara membacanya, menghafalnya, atau lebih jauh lagi menerjemahkan atau menafsirkannya, semua itu dilakukan oleh guru, sementara santri menyimak penuh perhatian dan ngesahi (mensahkan) dengan memberi catatan pada kitabnya atau mensahkan bahwa ilmu itu telah diberikan kepadanya.
Metode ini dapat diikuti oleh anak tunanetra dan inti dari metode ini adalah adanya bimbingan langsung dari guru kepada anak didik dan seorang guru dapat mengetahui langsung sejauhmana kemampuan anak didiknya dalam memahami suatu materi pelajaran.
5. Metode Bandongan
Metode bandongan adalah salah satu metode pembelajaran dalam pendidikan islam dimana siswa atau santri tidak menghadap guru atau kyai satu demi satu, tetapi semua peserta didik menghadap guru dengan membawa buku atau kitab masing-masing kemudian guru membacakan, menerjemahkan, menerangkan kalimat demi kalimat dari kitab yang dipelajarinya, sementara santri secara cermat mengikuti penjelasan yang diberikan oleh kyai dengan memberikan catatan-catatan tertentu. Cara belajar ini paling banyak dilakukan di pesantren-pesantren tradisional.
Metode bandongan ini bisa di pergunakan dalam pengajaran kitab atau al-Qur’an dan inti dari metode ini adalah guru memberikan penjelasan materi kepada anak didik tidak secara perorangan. Metode ini merupakan kebalikan dari metode sorogan.
Tunanetra dapat mengikuti metode ini, karena metode ini dapat diikuti dengan tanpa menggunakan indera penglihatan.
6. Metode Drill
Metode Drill atau latihan adalah suatu metode dalam menyampaikan pelajaran dengan menggunakan latihan secara terus menerus sampai anak didik memiliki ketangkasan yang diharapkan.
Metode Drill merupakan salah satu bentuk dari berbagai macam metode yang banyak digunakan oleh para pendidik dalam proses belajar mengajar agar tujuan pembelajaran tercapai. Metode ini lebih menitikberatkan kepada keterampilam siswa secara kecakapan motoris, mental, asosiasi yang dibuat dan sebagainya.
Metode Drill dapat disebut juga dengan metode latihan atau praktek secara langsung. Anak tunanetra mampu mengikuti metode ini jika materi yang disampaikan dan media yang digunakan mampu mendukung mereka untuk memahami materi pelajaran.
Strategi pembelajaran bagi anak tunanetra
Strategi pembelajaran pada dasarnya adalah pendayagunaan secara tepat dan optimal dari semua komponen yang terlibat dalam proses pembelajaran yang meliputi tujuan, materi pelajaran, media, metode, siswa, guru, lingkungan belajar dan evaluasi sehingga proses pembelajaran berjalan dengan efektif dan efesien. Beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan strategi pembelajaran , antara lain:
1. Berdasarkan pengolahan pesan terdapat dua strategi yaitu strategi pembelajaran deduktif dan induktif.
2. Berdasarkan pihak pengolah pesan yaitu strategi pembelajaran ekspositorik dan heuristic.
3. Berdasarkan pengaturan guru yaitu strategi pembelajaran dengan seorang guru dan beregu.
4. Berdasarkan jumlah siswa yaitu strategi klasikal, kelompok kecil dan individual.
5. Beradsarkan interaksi guru dan siswa yaitu strategi tatap muka, dan melalui media.
Strategi pendampingan Belajar
Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh guru dalam melayani pendidikan anak dengan gangguan penglihatan di sekolah, ádalah sebagai berikut.
Selain strategi yang telah disebutkan di atas, ada strategi lain yang dapat diterapkan yaitu strategi individualisasi, kooperatif dan modifikasi perilaku.
Pemanfaatan Sisa PenglihatanØ
Bagi ABK yang masih memiliki sisa penglihatan sebagian (partial visual) hendaknya selalu didorong agar anak mau dan mampu menggunakan sisa penglihatannya. Secara akademis tujuan pemanfaatan sisa penglihatan adalah agar anak dapat membaca huruf atau buku cetak dengan ukuran tertentu. Dengan demikian anak bisa belajar bersama anak normal lainnya. Namun demikian anak-anak ini tetap diberi dan diperkenalkan tulisan dan cara-cara membaca huruf Braille sebagai bekal persiapan manakala kesehatan matanya terus memburuk. Andai kejadian ini menjadi kenyataan, maka anak tidak terlalu kesulitan dalam mempelajari huruf-huruf Braille.
Pengaturan CahayaØ
Dalam mengikuti pembelajaran bersama-sama anak normal di kelas ketercukupan cahaya merupakan hal yang amat penting yang perlu diperhatikan oleh guru. Anak yang sedang belajar di kelas diusahakan dipilihkan tempat duduk yang relatif dekat dengan papan tulis dengan pencahayaan yang memadai. Cahaya yang terlalu kuat dan menyilaukan mata dapat menyulitkan anak dalam belajar membaca. Untuk itu, penggunaan papan tulis harus diusahakan dan dipilihkan yang tidak dapat memantulkan cahaya atau yang menyilaukan mata anak.
Penggunaan Buku Cetak Besar
Agar ABK dengan gangguan penglihatan dapat mempelajari materi pelajaran, guru perlu mengusahakan materi pelajaran berupa buku dengan pilihan huruf yang relative besar (misalnya ukuran huruf font 18 pada komputer, contoh: Aku). Buku dengan huruf-huruf font 18 ini selain dapat dibaca oleh anak yang masih memiliki sisa penglihatan, juga dapat dibaca oleh orang dewasa yang mengalami kemunduran penglihatan. Dengan demikian apabila anak mendapatkan kesulitan dalam belajar mereka masih dapat meminta bimbingan dari orang dewasa. Di sekolah inklusi AS terdapat usaha penerbitan buku-buku cetak khusus atau majalah yang diperuntukkan bagi anak-anak dengan gangguan penglihatan yang terkategori low vision dengan huruf-huruf yang dicetak besar ukuran font 18-20 pada computer (Smith, 2004). Dengan adanya buku cetak yang khusus diperuntukkan bagi anak penyandang gangguan penglihatan diharapkan anak dapat belajar dengan efektif.
Pendekatan
Sesungguhnya layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, membutuhkan berbagai pendekatan dan strategi yang beragam. Ini mengingat adanya berbagai keunikan yang dialami oleh anak-anak berkebutuhan khusus. Menggunakan satu pendekatan saja tidak cukup untuk memberikan layanan pendidikan bagi mereka, perlu ada penyesuaian-penyesuaian berdasarkan kebutuhan masing-masing jenis kelainan.
Secara umum, dikenal adanya dua pendekatan yang sering dilakukan dalam memberikan layanan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus, yaitu (1) pendekatan kelompok/klasikal, dan (2) pendekatan individual. Pendekatan kelompok, memilki kelebihan dalam hal pelaksanaan dari segi waktu, tenaga, dan biaya. Dari segi waktu, tentunya tidak harus menyediakan waktu khusus bagi setiap individu siswa, demikian pula untuk tenaga dan biaya. Sedang kelemahananya berkenanaan dengan efektifitas pembelajaran, yang sudah barang tentu kurang efektif untuk anak-anak berkebutuhan khusus dalam pencapaian tujuan kompetensinya. Lain halnya dengan pendekatan individual, pencapaian kompetensi yang diharapkan tentu akan lebih baik dan lebih efektif, sesuai dengan kondisi dan kemampuan masing-masing anak. Selain itu, guru juga akan mudah memantau perkembangan dan kemajuan yang telah dicapai, serta memberikan bantuan yang dibutuhkan.
Selain pendekatan individu dan pendekatan kelompok, bagi anak berkebutuhan ada pendekatan lain yang berorientasi ke pencapaian hasil belajar anak, yaitu pendekatan remidial dan pendekatan akseleratif. Pendekatan remidial bertujuan untuk membantu anak berkebutuhan khusus dalam upaya mencapai kompetensi yang ditentukan dengan lebih menekankan pada hambatan atau kekurangan yang ada pada anak berkebutuhan khusus. Pendekatan remidial didasarkan pada bagian-bagian sub kompetensi yang belum dicapai oleh anak. Melalui pendekatan remidial anak dilatih dan didorong secara indivudal untuk
menutup kekurangan yang ada pada dirinya dengan memperhatikan kemampuan yang ia miliki.
Pada pendekatan akseleratif bertujuan untuk mendorong anak berkebutuhan khusus, utamanya anak berbakat untuk lebih lanjut menguasai kompetensi yang ditetapkan berdasar assesmen kemampuan anak. Pendekatan akselerasi juga lebih bersifat individual.
Anak Berkelainan Fisik
Anak-anak berkebutuhan khusus yang mengalami kelainan fisik, yang dalam konteks ini meliputi, anak tunanetra, anak tunarungu, dan anak tunadaksa membutuhkan layanan pendidikan dengan pendekatan dan strategi khusus, yang secara umum dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Anak Tunanetra
Strategi khusus dan isi layanan pendidikan bagi anak tunanetra menurut Hardman, M.L. dkk (1990) paling tidak meliputi 3 hal, yaitu (a) mobility training and daily living skill, yaitu latihan untuk berjalan dan orientasi tempat dan ruang dengan berbagai sarana yang diperlukan serta latihan keterampilan kehidupan keseharian yang berkaitan dengan pemahaman uang, belanja, mencuci, memasak, kebersihan diri, dan membersihkan ruangan; (b) tradisional curriculum content area, yaitu orientasi dan mobilitas, keterampilan berbahasa termasuk ekspresinya, keterampilan berhitung. dan (c) communication media, yaitu penguasaan braille dalam komunikasi.
Annastasia Widjajanti dan Imanuel Hitipeuw, (1995) menyatakan bahwa layanan khusus bagi anak tunanetra meliputi:
a. Penguasaan braille.
Penguasaan braille yang dimaksud adalah kemampuan untuk menulis dan membaca braille. Keterampilan menulis berkaitan dengan penggunaan alat tulis braille, yaitu reglet, mesik ketik braille; penulisan huruf, angka, kombinasi angka dan huruf, dan komputer braille, sedangkan membaca lebih berkaitan dengan keterampilan membaca dari berbagai media tulisan.
b. Latihan orientasi dan mobilitas
Latihan orientasi dan mobilitas adalah jalan dengan pendamping awas, latihan jalan mandiri, latihan jalan dengan menggunakan alat bantu jalan (tongkat dan sign guide). Selain itu juga perlu penguasaan latihan bantu diri di kamar mandi dan WC, di kamar makan, di kamar tidur, di dapur,di kamar tamu, sampai mampu mandiri ke sekolah dan tempat yang lain.
c. Penggunaan alat bantu dalam pembelajaran berhitung dan matematika, meliputi cubaritma, papan taylor frame, abacus (sempoa) dalam operasi penambahan, pengurangan, perkalian, pembagian, dan beberapa komsep matematikan braille.
d. Pembelajaran pendidikan jasmani bagai anak tunanetra. Pembelajaran pendidikan jasmani bagi anak tuna netra menggunakan pendidikan jasmani adaftif. Adaftasi yang dilakukan berkaitan dengan jenis kecacatan anak, kemampuan fisik anak, dan memodifikasi sarana dan prasarana olah raga meliputi ukuran lapangan/lintasan, alat yang digunakan dalam olah raga, dan aturan yang dipakai.
e. Pembelajaran IPA. Dalam pembelajaran IPA sedapat mungkin menggunakan model yang dapat diamati dan diraba oleh anak.
ASESMEN
1. Pengertian
Asesmen adalah suatu penilaian yang komprehensif dan melibatkan anggota
tim untuk mengetahui kelemahan dan kekuatan anak. Hasil keputusan asesmen
dapat digunakan untuk menentukan layanan pendidikan yang dibutuhkan anak dan
sebagai dasar untuk menyusun suatu rancangan pembelajaran.
Istilah asesmen dapat diartikan sebagai proses mempertanyakan hal-hal yang
berkaitan dengan kegiatan belajar siswa sebagai dasar agar pengajaran yang
diberikan menjadi tepat dan sesuai dengan kebutuhan. Istilah lain yang hampir mirip
dengan asesmen ialah evaluasi atau penilaian, tetapi istilah asesmen lebih banyak
menekankan pada penilaian sebelum mengajar, sedangkan evaluasi mencakup
kedua-duanya. Asesmen juga dapat disamakan dengan analisis, tetapi asesmen labih
mengarah kepada analisis yang mempersiapkan tindakan.
Seperti halnya evaluasi , asesmen juga seringkali perlu diulang. Asesmen
ulangan bisa sama dengan asesmen yang sudah dilakukan dan bisa juga berbeda.
Dalam banyak hal, asesmen juga bergantung pada intervensi. Hubungan antara
keduanya demikian erat sehingga kadang-kadang sukar membicarakan asesmen
tanpa menggambarkan terlebih dahulu intervensi yang akan digunakan. Dalam
asesmen dapat menggunakan tes atau prosedur pengukuran yang baku maupun
tidak baku (buatan guru).
2. Tujuan
Secara umum asesmen bertujuan untuk menganalisis keadaan siswa atau
anak didik dalam rangka mengumpulkan informasi tentang kelemahan dan
keunggulan atau kekuatan yang dimiliki sisa sebagau upaya untuk mempersiapkan
pembuatan program dan materi pelajaran agar sesuai dengan kebutuhan siswa.
Sesuai dengan tujuan umum tersebut, asesmen mempunyai tujuan yang
spesifik yang dapat diklasifikasi sebagai berikut:
a. Identifikasi dan Sreening
b. Klasifikasi
c. Perencanaan Pengajaran
d. Evaluasi Siswa
3. Tipe Instrumen
Dalam proses asesmen selalu digunakan instrumen sebagai alat untuk
memperoleh data tentang anak. Instrumen ini berdasarkan proses
penyusunannya dapat dikalsifikasikan sebagai: instrumen formal/Informal,
baku/tidak baku, dan normatif (PAN)/acuan (PAP). Sedangkan berdasarkan
pelaksanaan penggunaan instrumen tersebut dapat dibedakan sebgai instrumen
untuk kelompok/individu, dan verbal/perbuatan.
4. Proses Asesmen
Proses asesmen secara garis besar dapat meliputi kegiatan penentuan area
atau hal-hal yang akan diases sesuai dengan kebutuhan atau masalahnya,
mengumpulkan data yang relevan berdasarkan latar belakangnya, melakukan
asesmen, menyatukan data dan menginterpretasi, mementukan strategi untuk
intervensi, dan mengevaluasi kemajuan.
Proses asesmen tersebut secara sistematis dapat disajikan dalam bentuk
tabel sebagai berikut:
BAB III
KESIMPULAN
Tunanetra adalah seseorang yang memiliki hambatan dalam penglihatan/tidak berfungsinya indera penglihatan. Tunanetra memiliki keterbatasan dalam penglihatan antara lain:
1. Tidak dapat melihat gerakan tangan pada jarak kurang dari 1 (satu) meter.
2. Ketajaman penglihatan 20/200 kaki yaitu ketajaman yang mampu melihat suatu pada jarak 20 kaki.
3. Bidang penglihatannya tidak lebih luas dari 20º. (Heward & Orlansky, 1988:p.296).
Selain tunanetra, hambatan penglihatan juga dapat berupa low vision.
Klasifikasi tunanetra secara garis besar dibagi empat yaitu: (1) berdasarkan waktu terjadinya ketunanetraan, (2) berdasarkan kemampuan daya penglihatan, (3) berdasarkan pemeriksaan klinis, dan (4) berdasarkan kelainan-kelainan pada mata.
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya ketunanetraan antara lain: (1) faktor pre-natal yang diakibatkan oleh keturunan dan pertumbuhan dalam kandungan, (2) faktor post-natal yang diakibatkan oleh kerusakan pada mata atau saraf mata saat persalinan, ibu yang melahirkan mengidap gonorrhoe dan baksilnya ditularkan pada anaknya, mengalami penyakit mata yang mengakibatkan ketunanetraan, serta kerusakan mata akibat kecelakaan.
Keadaan fisik anak tunanetra tidak berbeda dengan anak sebaya lainnya. Perbedaan nyata di antara mereka hanya terdapat pada organ penglihatannya. Secara psikis, anak tunanetra dapat dijelaskan sebagai berikut: Dimensi mental/intelektual mereka tak jauh berbeda dengan anak normal. Namun dilihat dari dimensi sosial, anak tunanetra mengalami hambatan dalam perkembangan kepribadian dengan timbulnya: (1) kecurigaan terhadap orang lain yang berawal dari sikap terlalu hati-hati yang berlebihan akibat keterbatasan rangsangan visual, (2) perasaan mudah tersinggung, dan (3) ketergantungan yang berlebihan. Beberapa tingkah laku seperti sering menggosok mata secara berlebihan, sering membawa buku ke dekat mata, tidak dapat melihat benda yang jauh, keluhan mata gatal, mata selalu berair dan sebagainya merupakan sebagian kecil gejala awal ketunanetraan pada anak yang perlu dikenali sejak dini Secara pendidikan tunanetra dikelompokkan menjadi:
1. Mereka mampu membaca cetakan standar.
2. Mampu membaca cetakan standar dengan menggunakan kaca pembesar.
3. Mampu membaca cetakan besar (ukuran Huruf No. 18).
4. Mampu membaca cetakan kombinasi cetakan regular dan cetakan besar.
5. Membaca cetakan besar dengan menggunakan kaca pembesar.
6. Menggunakan Braille tetapi masih bisa melihat cahaya (sangat berguna untuk mobilitas).
7. Menggunakan Braille tetapi tidak punya persepsi cahaya. Model pendidikan anak tunanetra terdiri atas: Pendidikan Khusus (SLB), Pendidikan Terpadu, Guru Kunjung, dan Pendidikan Inklusif.
DAFTAR PUSTAKA
Hallahan, Daniel P. and Kauffman, James M. (1986).Exceptional Children: Intro-
duction to Special Education, Third Edition. New Jersey: Prentice-Hall;
Mirza, Dewi. (2007). Pelayanan Pendidikan bagi Anak Tunanetra. (Online). Ter-
sedia: http://digilib.sunan_ampel.ac.id/go.php?id=jiptain-gdl-s1-2007-de-
wimirza-922#publisher#publisher;
http://id.shvoong.com/medicine-and-health/epidemiology-public-health/2196715-faktor-penyebab-tuna-netra/#ixzz288566skG
http://www.plbjabar.com/old/?inc=artikel&id=44
PENGERTIAN DAN KONSEP DASAR
TUNA RUNGU
Banyak istilah yang sudah kita kenal untuk anak yang mengalami kelainan pendengaran, misalnya dengan istilah : “Tuli, bisu, tunawicara,, cacat dengar, kurang dengar, atau ataupun tunarungu”. Istilah-istilah dan pandangan tersebut tidak semuanya benar, sebab pengertiannya masih kabur dan tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Istilah lain yang sekarang lazim digunakan dalam dunia pendidikan khususnya pendidikan luar biasa adalah tunarungu.
Istilah tunarungu diambil dari kata “Tuna” dan “Rungu”. Tuna artinya kurang dan Rungu artinya pendengaran. Orang atau anak dikatakan tunarungu apabila ia tidak mampu mendengar atau kurang mampu mendengar suara.
Orang tuli adalah seseorang yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat proses informasi bahasa melalui pendengaran, baik memakai ataupun tidak memakai alat bantu mendengar. Sedangkan seseorang yang kurang dengar adalah seseorang yang biasanya dengan menggunakan alat bantu mendengar, sisa pendengarannya cukup memungkinkan keberhasilan proses informasi bahasa melalui pendengaran.
Andreas Dwidjosumarto dalam seminar ketunarunguan di Bandung (1988) mengemukakan ”Tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai perangsang terutama melalui indera pendengaran”.
Dari beberapa pendapat para ahli tersebut ternyata didasarkan pada beberapa sudut pandang, ada yang melihat dari segi pedagogis dan medis, ada yang berdasarkan pengelompokkan dengan batas yang telah ditentukan secara internasional, ada pula yang mnegelompokkan tetapi tidak menentukan batas kehilangan kemampuan mendengarnya namun menjelaskan secara gamblang bahwa seseorang yang dalam kondisi tertentu dikatakan tunarungu.
Dari beberapa batasan yang dikemukakan oleh para ahli tentang pengertian anak tunarungu, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran, sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari yang membawa dampak terhadap kehidupannya secara kompleks.
Dampak terhadap kehidupannya secara kompleks mengandung arti bahwa akibat ketunarunguan maka perkembangan anak menjadi terhambat, sehingga menghambat terhadap perkembangan kepribadian secara keseluruhan misalnya perkembangan inteligensi, emosi dan sosial.
Yang perlu diperhatikan dari ketunarunguan ialah hambatan data berkomunikasi, sedangkan komunikasi merupakan hal yang sangat pentingdalam kehidupan sehari-hari. Kenyataan bahwa anak tunarungu tidak dapat mendengar membuatnya mengalami kesulitan untuk memahami bahasa yang diucapkanoleh orang lain., dank arena mereka tidak dapat mengerti bahasa secara lisan atau oral maka mereka tidak dapat bicara jika mereka tidak dilatih bicara.
Ketidakmampuan bicara pada anak tunarungu merupakan cirri khas yang membuatnya berbeda dengan anak normal. Yang dapat memungkinkan anak tunarungu dapat berbicara dan merupakan faktor mendasar ialah pengenalan terhadap apa yang bisa memungkinkan belajar berbicara dari orang disekelilingnya. Mereka harus mengerti bahasa yang diucapkan oleh orang lain. Mereka juga tahu jika berbicara adalah hal yang sangat berguna dalam kehidupannya walaupun hal tersebut memerlukan latihan dalam waktu yang cukup lama. Untuk itu para pendidik perlu memberikan pengertian kepada orangtua bahwa anak tunarungu perlu mengerti dulu bahasa sebelum mereka belajar berbicara.
Anak yang normal pendengarannya memahami bahasa melalui pendengarannya dalam waktu berbulan-bulan sebelum mereka mulai berbicara. Orang yang mendengar pun memerlukan waktu untuk mengerti bicara orang lain. Apalagi anak tunarungu untuk memahami bahasa tidak selancar anak mendengar, dan untuk memahami bicara harus melalui tahapan-tahapan latihan tertentu.
Akibat kurang berfungsinya pendengaran, anak tunarugu mengalihkan pengamatannya kepada mata, maka anak tunarungu disebut sebagai “Insan Pemata”. Melalui mata anak tunarungu memahami bahasa lisan atau oral, selain melihat gerakan dan ekspresi wajah lawanbicaranya mata anak tunarungu juga digunakan untuk membaca gerak bibir orang yang berbicara. Pada anak mendengar hal tersebut tidak terlalu penting, tetapi pada anak tunarungu untuk dapat memahami bahasa sangatlah penting. Dengan alas an tersebut anak tunarungu lebih banyak membutuhkan waktu. Berapa banyak waktu yang dibutuhkan oleh anak tunarungu untuk belajar memahami bahasa orang lain dan untuk belajar berbicara. Hal ini tergantug kepada kemampuan masing-masing individu serta bantuan dari orang-orang disekelilingnya.
Kelainan pendengaran atau ketunarunguan secara fisik tidak terlihat dengan jelas jika dibandingkan dengan tunanetra dan tunadaksa. Hal ini kadang-kadang menguntungkan tetapi kadang-kadang teka-teki bagi orang yang tidak ada hubungannya dengan anak tunarungu, sehingga sering kali menimbulkan sikap yang merugikan, menyakiti atau bersikap kejam terhadap anak.
B. FAKTOR PENYEBAB TUNARUNGU
Secara umum penyebab ketunarunguan dapat terjadi sebelum lahir (prenatal) ketika lahir (natal) dan sesudah lahir (post natal). Banyak para ahli mengungkap tentang penyebab ketulian dan ketunarunguan, tentu saja dengan pandang yang berbeda dalam penjabarannya.
Trybus (1985) mengemukakan enam penyebab ketunarunguan pada anak di Amerika Serikat yaitu :
1. Keturunan
2. Campak Jerman dari pihak ibu
3. Komplikasi selama kehamilan dan kelahiran
4. Radang selaput otak (meningitis)
5. Otitis media (radang pada bagian telinga tengah)
6. Penyakit anak-anak, radang dan luka-luka
Dari hasil penelitian, kondisi-kondisi tersebut hanya 60% penyebab dari kasus-kasus ketunarunguan pada masa anak-anak. Meskipun sudah banyak alat-alat diagnose yang canggih, namun masih belum dapat menentukan penyebab ketunarunguan yang 40% lagi. Dan ternyata campak Jerman dari pihak ibu, keturunan, komplikasi selama kehamilan dan kelahiran adalah penyebab yang lebih banyak.
Untuk lebih jelasnya faktor-faktor penyebab ketunarunguan dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Faktor dalam diri anak
a. Disebabkan oleh faktor keturunan dari salah satu atau kedua orangtuanya yang mengalami ketunarunguan,
b. Ibu yang sedang mengandung menderita penyakit Campak Jerman (Rubella),
c. Ibu yang sedang mengandung menderita keracunan darah atau Toxaminia.
2. Faktor luar diri anak
a. Anak mengalami infeksi pada saat dilahirkan atau kelahiran. Misal, anak terserang Herpes Implex,
b. Meningitis atau radang selaput otak,
c. Otitis media (radang telinga bagian tengah),
d. Penyakit lain atau kecelakaan yang dapat mengakibatkan kerusakan alat pendengaran bagian tengah dan dalam.
C. DAMPAK TERJADINYA KELAINAN
1. Bagi anak tunarungu sendiri
Sehubungan dengan karakteristik tunarungu yaitu miskin dalam kosakata, sulit memahami kata-kata abstrak, sulit mengartikan kata- kata yang mengandung kiasan, adanya gangguan bicara, maka hal- hal itu merupakan sumber masalah pokok bagi anak tersebut.
2. Bagi keluarga
Lingkungan keluarga merupakan faktor yang mempunyai pengaruh penting dan kuat terhadap perkembangan anak terutama anak luar biasa. Anak ini mengalami hambatan sehingga mereka akan sulit menerima norma lingkunggannya. Berhasil tidaknya anak tunarungu melaksanakan tugasnya sangat tergantung pada bimbingan dan pengaruh keluarga. Tidaklah mudah bagi orang tua untuk menerima kenyataan bahwa anaknya menderita kelainan/ cacat. Reaksi pertama orang tua mengetahui bahwa anaknya menderita tunarungu adalah merasa terpukul dan bingung. Reaksi ini kemudian diikuti dengan reaksi lain.
Reaksi- reaksi yang tampak biasanya dapat dibedakan atas bermacam- macam pola, yaitu :
(a) Timbulnya rasa bersalah atau berdosa
(b) Orang tua menghadapi cacat anaknya dengan perasaan kecewa karena tidak memenuhi harapannya
(c) Orang tua malu menghadapi kenyataan bahwa anaknya berbeda dari anak- anak lain
(d) Orang tua menerima anaknya beserta keadaannya sebagaimana mestinya
Sikap orang tua sangat tergantung pada reaksinya terhadap kelainan anaknya itu. Sebagai reaksi orang tua atas sikap- sikapnya itu maka :
(a) Orang tua ingin menebus dosa dengan jalan mencurahkan kasih sayangnya secara berlebih- lebihan kepada anaknya.
(b) Orang tua biasanya menolak kehadiran anaknya
(c) Orang tua cenderung menyembunyikan anaknya atau menahannya dirumah
(d) Orang tua bersikap realistis terhadap anaknya
3. Bagi masyarakat
Pada umumnya orang masih berpendapat bahwa anak tuna rungu tidak dapat berbuat apapun. Pandangan yang semacam ini sangat merugikan anak tunarungu. Karena adanya pandangan ini biasanya dapat kita lihat sulitya anak tunarungu untuk memperoleh lapangan pekerjaan. Disamping pandangan karena ketidakmampuannya tadi, ia sulit bersaing dengan orang normal.
Kesulitan memeperoleh pekerjaan di masyarakat mengakibatkan timbulya kecemasan, baik dari anak itu sendiri maupun dari keluarganya, sehingga lembaga pendidikan dianggap tidak dapat berbuat sesuatu karena anak tidak dapt bekerja sebagaimana bisanya. Oleh karena itu, masyarakat hendaknya dapat memerhatikan kemampuan yang dimilki anak tunarungu walaupun hanya merupakan sebagian kecil dari pekerjaan yang telah lazim dilakukan oleh orang normal.
4. Bagi penyelenggara pendidikan
Perhatian akan kebutuhan pendidikan bagi anak tunarungu tidaklah dapat dikatakan kurang karena terbukti bahwa anak tunarungu telah banyak mengikuti pendidikan sepanjang lembaga pendidikan itu dapat dijangkaunya.
Persoalan baru yang perlu mendapat perhatian jika anak tunarungu tetap saja harus sekolah pada sekolah khusus (SLB) adalah jika anak- anak tunarungu itu tempat tinggalnya jauh dari SLB, maka tentu saja mereka tidak akan dapat bersekolah. Usaha lain muncul dengan didirikannya asrama disamping sekolah khusus itu. Rupanya usaha itu tidak dapat diandalkan sebagai satu- satunya cara untuk meneyekolahkan mereka.
Usaha lainnya yang mungkin akan dapat mendorong anak tunarungu dapat bersekolah dengan cepat adalah mereka mengikuti pendidikan pada sekolah normal/ biasa dan disediakan program- program khusus bila mereka tidak mampu mempelajari bahan pelajaran seperti anak normal.
D. HAK DAN KEWAJIBAN YANG DIMILIKI TUNARUNGU
1. Hak Anak Tunarungu
Anak tunarungu mengalami kelainan dalam fungsi pendengarannya, sehingga menimbulkan hambatan dalam berkomunikasi dengan orang mendengar sehingga menghambat pengembangan potensi yang dimilikinya. Hak anak tunarungu tersebut antara lain :
a. Hak mendapatkan perlindungan
Pada pembukaan UUD 1945 alinea ke- 4 antara lain dinyatakan :
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahtraan umum....”
Uraian diatas mempunyai makna bahwa negara Indonesia mempunyai fungsi dan sekaligus menjadi tujuannya yaitu, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahtraan dalam kehidupan bernegara. Demikian juga halnya bagi anak tunarungu.
a) Hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran
Yang memeperkuat hak dalam memperoleh pendidikan dan pengajaran, diantaranya yaitu :
1) Undang- undang Dasar 1945
Di dalam pembukaan Undang- undang Dasar 1945 dinyatakan : “.. mencerdaskan kehidupan..” Maknanya adalah bahwa negara Indonesia bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsanya termasuk bangsa yang mempunyai kelainan, khususnya anak tunarungu.
Mengenai pendidikan pada bab XIII dijabarkan pada pasal 31 ayat 1 berbunyi “Tiap- tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”. Makna dari pernyataan tersebut adalah bahwa anak tunarungu sama seperti warga negara lainnya berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
Kesamaan hak dalam memeperoleh pendidikan dan pengajaranmegandung makna bahwa semua warga negara Republik Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk memeperoleh pendidikan dan pengajaran. Anak tunarungu diberikan kesempatan yang selus- luasnya untuk memperoleh pendidikan baik dalam segi jalur, jenis maupun jenjang pendidikan sesuai dengan kemampuannya.
2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. II/ MPR 1993 mengenai GBHN bidang pendidikan, yaitu :
a) Pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Karena itu pendidikan adalah tanggung jawab antara keluarga, masyarakat dan pemerintah.
b) Titik berat pembangunan pendidikan diletakan pada peningkatan mutu dan perluasan pendidikan dasar dalam rangka mewujudkan dan menetapkan pelaksaan wajib belajar serta meningkatkan perluasan kesempatan belajar pada seluruh warga negara Republik Indonesia.
c) Anak tunarungu sebagai warga negara Republik Indonesia mempunyai kedudukan yang sama baik dalam hukum maupun dalam pemerintahan, jadi walaupun mereka itu mempunyai kelainan dalam indera pendengarannya, tetapi mereka berhak mendapat kedudukan yang sama, seperti halnya anak yang lain dan wajib menjunjung hukum dan pemerintah. Undang- undang 1945 Bab X pasal 27 ayat 1 berbunyi : “Segala warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah wajib menjunjujng hukum dan pemerintah itu dengan tidak ada kecualian”.
d) Anak tunarungu berhak mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak seperti halnya anak- anak yang normal. Undang- undang Dasar 1945 Bab X pasal 27 ayat 2 menyatakan : “Tiap- tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
2. Kewajiban Anak Tunarungu
Kewajiban yang harus dilaksanakan anak normal, sama halnya menjadi kewajiban anak tunarungu sesuai dengan kemampuan yang ada padanya, antara lain :
a. Kewajiban anak tunarungu akan dirinya sendiri :
1) Mencintai dirinya
2) Menerima keadaan dirinya
3) Menyadari akan nasibnya
4) Memelihara kesehatan dan kebersihan dirinya
5) Berusaha mengembangkan kemampuannya
b. Kewajiban bersekolah/ belajar :
1) Taat dan patuh pada peraturan sekolah
2) Mengikutu seluruh kegiatan yang diselenggarakan sekolah, baik di dalam atau di lusr sekolah
3) Menghormati kepala sekolah, guru- guru dan hyang dianggapa lebih tua daripadanya dan sepatutnya untuk dihormati.
4) Berbuat baik terhadap teman- teman sekelas dan teman- teman satu sekolah.
5) Menjaga citra sekolah
c. Kewajiban dalam lingkungan keluarga :
1) Patuh dan taat pada orang tua
2) Berlaku baik terhadap saudara
3) Mengikuti jejak anggota keluarga
4) Ikut ambil bagian dalam tugas, sebagai anggota keluarga
d. Kewajiban dalam lingkungan masyarakat :
1) Menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat, sesuai dengan kemampuan yang ada padanya
2) Menghormati anggota masyarakat
3) Turut ambil bagian dalam melaksanakan tugas sesuai dengan kemampuan yang ada padanya
4) Menaati peraturan masyarakat yang telah ditetapkan
E. PENGERTIAN LAYANAN PENDIDIKAN TUNARUNGU
Anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan pendengaran atau kehilangan pendengaran yang diakibatkan oleh tidak berfungsinya sebagian atau seluruh indra pendengaran, baik permanen maupun tidak permanen sehingga dibutuhkan suatu layanan pendidikan khusus. Klasifikasi tunarungu berdasarkan tingkat gangguan pendengaran adalah:
1. Gangguan pendengaran sangat ringan ( 27 – 40 dB )
2. Gangguan pendengaran ringan ( 41 – 55 dB )
3. Gangguan pendengaran sedang ( 56 – 70 dB )
4. Gangguan pendengaran berat ( 71 – 90 dB )
5. Gangguan pendengaran ekstrem/tuli ( di atas 91 dB )
F. MODEL LAYANAN PENDIDIKAN TUNARUNGU
1. Bentuk Layanan Pendidikan Tunarungu
Anak yang mendengar, semasa usia balita, akan secara spontan menemukan bermacam-macam lambang; baik lambang untuk benda, berbagai kegiatan, maupun segala perasaan orang, serta menemukan aturan tata bahasa yang dipakai oleh ibunya. Lambang bahasa serta aturan tata bahasa yang telah ditemukan tersebut kemudian diterapkan secara tepat dalam percakapan sehari-hari tanpa mengetahui istilah tata bahasa bakunya. A.van Uden; seorang tokoh pendidikan anak tunarungu dari Belanda; mengatakan bahwa anak tunarungu yang ditangani secara dini, dalam arti sejak bayi diajak dan dilatih untuk berkomunikasi seperti bayi yang mendengar, akan terhindar dari ketertinggalan perkembangan bahasa-nya yang amat jauh dari anak dengar seusianya. Maka A. van Uden kemudian mengembangkan suatu metode atau model pengajaran bahasa untuk anak tunarungu yang menggunakan dasar tahapan perkembangan bahasa pada anak dengar.
Permasalannya adalah bahwa akibat ketunarunguan anak tidak hanya tidak dapat mendengar/ terganggu pendengarannya, tetapi juga tidak berbahasa, artinya tidak dapat berkomunikasi secara wajar (secara oral/lisan). Menurut kenyataan, tidak semua anak tunarungu berhasil dididik untuk menungkapkan bahasanya dengan cara yang lazim dipakai orang dengar, yaitu secara oral.
Dari sinilah muncul pemikiran untuk mencarikan berbagai cara berkomunikasi, di samping mencarikan metode untuk pengajaran bahasanya. Kebanyakan tidak menyadari perbedaan antara kedua hal tersebut. Ada empat Aliran dalam Media Komunikasi dalam pembelajaran yakni:
a. Aliran Oral : ada yang secara murni + membaca ujaran, ada juga secara oral + aural (memanfaatkan sisa pendengarannya).
b. Aliran Manual : Ada juga dengan isyarat/gesti saja. Ada pula yang dengan isyarat baku + abjad jari/SIBI.
c. Aliran Campuran : secara oral + salah satu media lain atau semua media lain dalam Komunikasi Total.
d. Aliran Auditory Verbal/AVT : mengandalkan kemampuan dengar saja tanpa membaca ujaran. Sedangkan pendekatan pemerolehan / pengajaran bahasa bagi siswa tunarungu meliputi , pertama aliran Konstruktif/Struktural/gramatikal : yaitu pengajaran bahasa secara Formal, kedua aliran Natural yaitu pengajaran bahasa secara informal dengan pendekatan percakapan atau menggunakan bahasa ibu. Pada pertengahan abad 20 ini muncul sebuah metode pengajaran bahasa yang menggabungkan antara pendekatan Informal dengan Formal menjadi Semi Formal, yang terkenal dengan Metode Maternal Reflektif atau Metode Pengajaran Bahasa Ibu yang Reflektif. Dengan Metode Maternal Reflektif kita akan membawa anak tunarungu dari keadaan tak berbahasa hingga menguasai bahasa seperti yang dipakai oleh lingkungannya.
Metode Maternal Reflektif tersebut dalam pelaksanaannya ditunjang dengan pelaksanaan Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama, yang terdiri dari : Bina Wicara, Bina Persepsi Bunyi dan Irama Musik maupun Bahasa serta Bina Isyarat, secara terprogram , kontinyu dan berkesinambungan.
Ditinjau dari tempat sistem pendidikannya, layanan pendidikan bagi anak tunarungu dikelompokkan menjadi sistem segregasi dan integrasi / terpadu.
a. Sistem segregasi, merupakan sistem pendidikan yang terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak mendengar/normal. Tempat pendidikan bagi anak tunarungu melalui sistem ini meliputi: sekolah khusus (SLB-B), SDLB, dan kelas jauh atau kelas kunjung.
b. Sistem pendidikan integrasi/terpadu, merupakan sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak tunarungu untuk belajar bersama anak mendengar/normal di sekolah umum/biasa. Melalui sistem ini anak tunarungu ditempatkan dalam berbagai bentuk keterpaduan yang sesuai dengan kemampuannya. Depdiknas (1984) mengelompokkan bentuk keterpaduan tersebut menjadi kelas biasa, kelas biasa dengan ruang bimbingan khusus, serta kelas khusus.
Strategi pembelajaran bagi anak tunarungu pada dasarnya sama dengan strategi pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran bagi anak mendengar/normal, akan tetapi dalam pelaksanaannya, harus bersifat visual, artinya lebih banyak memanfaatkan indra penglihatan siswa tunarungu.
Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu :
a. Pendekatan Auditori Verbal : mengajarkan seorang anak untuk menggunakan pendengaran disediakan oleh alat bantu dengar atau implan koklea untuk memahami berbicara dan belajar untuk berbicara. Anak diajarkan untuk mengembangkan pendengaran sebagai akal aktif.
b. Pendekatan Auditori Oral : pengajaran dilakukan dalam dua tahapan yang saling melengkapi, yaitu tahapan fonetik (mengembangkan keterampilan menangkap suku-suku kata secara terpisah-pisah) dan tahapan fonologik ( mengembangkan keterampilan memahami kata-kata, frase, dan kalimat ).
Yang perlu diperhatikan oleh pendidik dalam memberikan pembelajaran pada anak tunarungu:
a. Tidak berbicara membelakangi anak
b. Anak hendaknya duduk atau berada di bagian paling depan kelas
c. Bila hanya sebagaian telinganya yang tuna rungu, tempatkan anak sehingga telinga yang masih berfungsi dengan baik, dekat dengan guru
d. Perhatikan postur anak
e. Dorong anak selalu memperhatikan wajah guru
f. Berbicara dengan volume biasa, tetapi gerakan bibirnya harus jelas
Penanganan Anak Gangguan Pendengaran
a. Pemberian Intervensi dini/awal yaitu memberikan layanan deteksi dini, diagnosa, konsultasi, fasilitator dan penyediaan Alat Bantu Dengar dan Implant Coachlea, perawatan dan servisnya.
b. Program habilitasi dengan menitikberatkan pada perbaikan cara komunikasi anak dengan menggunakan pendengaran sebagai titik tolak dalam berinteraksi dengan lingkungan luar anak.
c. Program pelayanan pendidikan terpadu, memberikan penyetaraan pada sekolah khusus untuk dipersiapkan pada jalur pendidikan reguler.
2. Program Pendidikan Inklusi Untuk Anak Tunarungu
Pendidikan Inklusi adalah kebersamaan untuk memperoleh pelayanan pendidikan dalam satu kelompok secara utuh bagi seluruh anak berkebutuhan khusus usia sekolah , mulai dari jenjangTK, SD, SLTP Sampai dengan SMA.
Pada kasus gangguan pendengaran, pendidikan inklusi ini adalah kelanjutan dari model terapi mendengar (Auditori Verbal Terapi) yang telah dilakukan pada anak gangguan pendengaran pada usia dini. Dengan dasar-dasar pendengaran yang lebih baik, pelayanan terhadap pendidikan yang harus diberikan juga semestinya lebih terpadu dan terarah. Pelayanan ini dalam rangkaian usaha pendidikan inklusi bagi anak dengan gangguan pendengaran akan lebih baik jika melakukan pendekatan model Natural Auditory Oral.
Tujuan dari dari pendidikan inklusi bagi anak gangguan pendengaran ini antara lain
a. Adanya kebutuhan untuk bersosialisasi dan berintegrasi dengan anak sebaya di sekolah maupun di dalam lingkungan rumah
b. Adanya optimisme keluar dari problem komunikasi bagi anak gangguan mendengar, dengan penyelenggaraan pendidikan yang lebih baik.
c. Penghayatan dan menumbuhkan rasa empati dari kalangan anak normal terhadap anak berkebutuhan khusus.
G. KONSEP LAYANAN PENDIDIKAN TUNARUNGU
UU Sisdiknas tahun 2003 Pasal 32, ayat 1 untuk anak yang memerlukan Pendidikan Khusus.
1. Tunanetra
2. Tunarungu, tunawicara
3. Tunagrahita: ringan (IQ = 50-70), sedang (IQ = 25-50), dan Down Synrome
4. Tunadaksa: ringan, sedang
5. Tunalaras (Dysruptive), HIV AIDS dan narkoba
6. Autis, Sindroma Asperger
7. Tunaganda
8. Kesulitan Belajar/Lambat Belajar (a.l. Hyperaktif, ADD/ADHD), Dysgraphia/Tulis, Dyslexia/Baca, Dysphasia/Bicara, Dyscalculia/Hitung, Dyspraxia/Motorik)
9. GIFTED : Potensi Kecerdasan Istimewa (IQ = Very Superior) dan TALENTED : Potensi Bakat Istimewa (MULTIPLE INTELLIGENCES : Language, Logico-mathematic, Visuo-spatial, Bodily-kinesthetic Musical, Interpersonal, Natural, Intrapersonal, Natural, Intrapersonal, Spiritual) & INDIGO.
UU Sisdiknas tahun 2003 pasal 32, ayat 2 untuk anak yang memerlukan Pendidikan Layanan Khusus.
1. Anak – anak yang berada pada daerah terbelakang/terpencil/pedalaman/pulau – pulau, anak TKI di DN/LN, beberapa SILN (sekolah Indonesia di Luar Negeri), transmigrasi.
2. Anak – anak yang berada pada masyarakat etnis minoritas terpencil.
3. Anak – anak yang berada pada area/wilayah pekerja anak, pelacur anak/trafficking, lapas anak/anak di lapas dewasa, anak jalanan, anak pemulung/pemulung anak.
4. Anak – anak yang berada pada tempat pengungsi karena bencana (gempa, konflik).
5. Anak – anak yang berada pada kondisi yang miskin absolut.
Penyelenggaraan Sekolah Luar Biasa Tunarungu yang Ideal
1. Mengubah peran guru dari pendidik yang spesialis ke generalis, pendekatan interdisipliner dengan meningkatkan kelenturan dalam menggunakan pendekatan/metode pembelajaran bagi tunarungu.
2. Perlunya pengkaderan pengurus yayasan, kepala sekolah, baik sebagai manager maupun leader yang memahami atau menguasai bidang keahliannya dalam pendidikan tunarungu, sehingga terampil mengelola sistem pendidikan tunarungu.
3. Dalam kegiatan belajar mengajar, menggunakan “Kurikulum Lintas Bahasa”, dengan pendekatan metode pemerolehan bahasa dan sistem komunikasi tunarungu yang tepat (metode pemerolehan bahasa yang ditawarkan Metode Maternal Reflektif).
4. Terlaksananya layanan deteksi dan intervensi dini, dengan memberikan layanan Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama secara terprogram, terarah, kontinyu dan berkesinambungan. Pemanfaatan sisa pendengaran dengan mengoptimalkan alat bantu dengar secara benar, meliputi : pemilihan, pemanfaatan dalam rehabilitasi dan habilitasinya, serta sistem perawatanya. Strategi optimalisasi semua komponen sekolah ; guru, orangtua/masyarakat, lingkungan dan sarana prasarana dalam pelayanan pendidikan siswa tunarungu secara berkualitas.
H. SISTEM LAYANAN PENDIDIKAN BAGI ANAK TUNARUNGU
1. Lingkup Pengembangan Program Pendidikan bagi individu Tunarungu
a. TKLB/TKKh Tunarungu Tingkat Rendah : ditekankan pada pengembangan kemampuan senso-motorik, berbahasa dan kemampuan berkomunikasi khususnya berbicara dan berbahasa.
b. SDLB/SDKh Tunarungu kelas tinggi ditekankan pada keterampilan senso-motorik, keterampilan berkomunikasi kemudian pengembangan kemampuan dasar di bidang akademik dan keterampilan sosial.
c. SLTPLB/SMPKh Tunarungu ditekankan pada peningkatan keterampilan berkomunikasi dan keterampilan senso-motorik, keterampilan berkomunikasi dan keterampilan mengaplikasikan kemampuan dasar di bidang akademik dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari, peningkatan keterampilan sosial dan dasar-dasar keterampilan vokasional.
d. SMLB/SMAKh Tunarungu ditekankan pada pematangan keterampilan berkomunikasi, keterampilan menerapkan kemampuan dasar di bidang akademik yang mengerucut pada pengembangan kemampuan vokasional yang berguna sebagai pemenuhan kebutuhan hidup, dengan tidak menutup kemungkinan mempersiapkan siswa tunarungu melanjutkan pendidikannya kejenjang yang lebih tinggi.
2. Tujuan
Tujuan penyelenggaraan Layanan Pendidikan bagi Anak Tunarungu adalah sebagai berikut:
a. Tujuan Umum
Agar dapat mewujudkan penyelenggaraan pendidikan bagi anak yang berkebutuhan khusus, khususnya bagi anak Tunarungu seoptimal mungkin dan dapat melayani pendidikan bagi anak didik dengan segala kekurangan ataupun kelainan yang diderita sehingga anak-anak tersebut dapat menerima keadaan dirinya dan menyadari bahwa ketunaannya tidak menjadi hambatan untuk belajar dan bekerja, memiliki sifat dasar sebagai warga negara yang baik, sehat jasmani dan rohani, memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperlakukan untuk melanjutkan pelajaran, bekerja di masyarakat serta dapat menolong diri sendiri dan mengembangan diri sesuai dengan azas pendidikan seumur hidup.
b. Tujuan Khusus
Tujuan khusus Sekolah penyelengara pendidikan khusus (tunarungu) adalah:
1) Turut melaksanakan pemerataan dan perluasan kesempatan memperoleh pendidikan bagi anak usia sekolah.
2) Peningkatan efisiensi dan efektifitas pendidikan bagi anak tunarungu di Indonesia.
3) Penyelenggaraan fasilitas pendidikan yang luwes dan relevan terhadap keperluan anak tunarungu.
4) Memiliki pengetahuan, kesadaran pengalaman dan keterampilan tentang isi bidang-bidang studi yang tercantum dalam kurikulum yang resmi.
5) Mengarahkan dan membina anak Tunarungu agar dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitarnya.
6) Membantu dan membina anak Tunarungu agar memiliki keterampilan, keahlian, kejujuran, ataupun sumber pemnghasilan yangh sesuai denan jenis dan tingkat ketunaan yang disandangnya.
3. Penyelenggaraan Sekolah
Sejalan dengan usaha Peningkatan Mutu Pendidikan dan pemerataan kesempatan beklajar bagi anak berkebutuhan khusus maka pemerintah senantiasa berusaha secara terus menerus memperhatikan perkembangan dan pertambahan Sekolah penyelenggara pendidikan khusus baik kualitatif maupun kuantitatif. Dalam menyelenggarakan pendidikan khusus untuk anak Tunanrungu perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Lokasi
b. Bangunan/gedung
c. Perabot
d. Alat pendidikan khusus
e. Alat peraga pendidikan
f. Personil sekolah
(1) Tenaga kependidikan
(2) Tenaga Administrasi
(3) Tenaga ahli
(4) Tenaga kepustakaan
g. Kurikulum
h. Manajemen dan Administrasi
4. Sarana Prasarana, Kurikulum, dan Manajemen
a. Sarana Prasarana
Sarana Prasarana adalah lingkungan fisik sekolah yang secara tidak langsung menunjang proses keterlaksanaan belajar mengajar di suatu sekolah, meliputi: jalan, saluran air, sanitasi, listrik, telpon
1) Sarana Fisik Sekolah
Dalam membangun kampus pendidikan khusus untuk anak Tunarungu ada beberapa faktor yang harus diperhatikan antara lain:
(a) Karakteristik
Faktor edukasi harus menjadi titik tolak perencanaan bentuk sekolah harus diciptakan dalam hubungan yang harmonis dengan tujuan yaitu untuk mengembangkan potensi anak tuna rungu semaksimal mungkin termasuk didalamnya beberapa persyaratan paedagogis yang bersifat umum dan khusus antara lain:
(1) Suasana yang tentram, tidak berdekatan dengan pasar atau bengkel, pabrik-pabrik. Suasana yang ramai dari hiruk pikuk dengan segala macam bunyian yang merusak telinga tidak menguntungkan anak-anak tuli apa lagi kalau anak tuli itu sedang mengadakan latihan mendengar dengan Hearing Aid.
(2) Tanah yang disediakan selain untuk membangun juga cocok bagi latihan berkebun, beternak dan sebagainya.
(3) Adanya fasilitas air, listrik yang dapat menjadi penunjang sarana pendidikan.
(b) Keamanan dan transportasi
Keamanan harus cukup terjamin, yaitu letak sekolah tidak ada dalam areal berbahaya (dekat gedung mesiu, sungai besar dan sebagainya). Untuk itu perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
(1) Letak sekolah harus strategis dalam arti sekolah dihubungkan dengan bagian-bagian lain oleh jalan yang baik dan yang cukup dilalui kendaraan umum. Sehingga memudahkan orangtua murid, dokter dan lainnya ke lokasi sekolah.
(2) Agar sekolah benar-benar dapat menjadi tempat pengembangan potensi bagi anak penyandang tunarungu hendaknya memenuhi persyaratan sebagai berikut: Tanah untuk sekolah harus memenuhi syarat-syarat kesehatan antara lain : tidak dekat pembuangan sampah, tanahnya mudah dikeringkan, pembuangan kotoran mudah dilaksanakan karena (saluran) riolringnya baik.
Untuk sekolah pendidikan khusus Tunarungu dengan kapasitas 100 orang yang ideal diperlukan tanah seluas kurang lebih 20.000 m2 dan dipergunakan untuk :
(1) komplek bangunan kurang lebih 10.000 m2
(2) lapangan bermain olahraga, tempat parkir, kebun bunga/taman kurang lebih 5.000 m2
(3) tanah untuk pertanian kurang lebih 5.000 m2.
Dengan fasilitas tanah seluas itu anak-anak dapat belajar dalam suasana aman dan tentram serta memberikan keluasaan bergerak yang optimal.
Bangunan-bangunan yang diperlukan di sekolah pendidikan khusus Tunarungu adalah sebagai berikut:
1) Ruang belajar :(a) ruang teori; (b) ruang bina wicara; (c) ruang laboratorium; (d) ruang keterampilan putri; (e) ruang keterampilan putra; (f) ruang serba guna/kesenian; (g) ruang latihan mendengar (ruang training 1 ruang); (h) ruang audiologi; (i) ruang observasi
2) Asrama
Sebaiknya asrama dibangun dengan sistem pavilyun penghuni dari pavilyun maksimal 10 orang termasuk satu orang penjaga. Untuk 100 orang anak diperlukan maksimal 12 paviliun dengan fasilitas tersendiri tiap-tiap paviliun terdiri dari :a) kamar untuk penjaga; b) kamar tidur untuk anak-anak
2. Tata Letak Ruang
a. Ruang-ruang di sekolah
Ruang latihan bicara dan ruang Audiometri sebaiknya agar tidak terganggu oleh anak-anak lain, pelajaran latihan bicara diberikan dalam suatu ruang khusus, cukup untuk 1 guru 2 anak dan alat-alat yang diperlukan. Jika ruangan latihan bicara sekaligus dipakai untuk latihan mendengar dengan menggunakan alat pembantu dengar, sebaiknya dinding ruang diberi atau berlapis dengan semacam gabus peredap suara.
Ruang Audiometri. Ruang untuk keperluan meneliti dan mengukur (sisa) pendengaran dengan audimeter, merupakan ruang khusus yang letaknya sejauh mungkin dari sumber kegaduhan. Ruang itu dibuat kedap suara; sedemikian sehingga seberapa boleh tidak ada suara dapat masuk. Dinding dibagian dalam sebaiknya terdiri atau dilapisi bahan peredap suara.
b. Sarana Pendidikan
1) Alat Pendidikan Khusus
Berhubung dengan ketulian yang dideritanya, maka sangat diperlukan alat-alat bantu khusus meningkatkan potensinya, yang masih dapat diperbaiki dan dikembangkan terutama masalah komunikasi baik dengan menggunakan bahasa lisan maupun tulisan.
Kebutuhan minimal alat kebutuhan khusus di Sekolah Luar Biasa untuk anak-anak tunarungu antara lain:
a) Audiometer
Yaitu alat penelitian yang dapat mengukur segala aspek dari pendengaran seseorang. Dengan audiometer dapat dibuat sebuah audigram yang dapat memberitahukan angka dari sisa pendengaran anak.
b) Alat bantu mendengar (hearing aid)
Dengan mempergunakan alat bantu dengar (hearing aid) perorangan dan alat bantu dengan (group hearing aid) kelompok, anak-anak tunarungu diberikan latihan mendengar. Latihan-latihan tersebut dapat diberikan secara individual atau secara kelompok.
c) Cermin
Untuk memberikan cantoh-contoh ucapan dengan artikulasi yang baik diperlukan sebuah cermin. Dengan bantuan cermin kita dapat menyadarkan anak terhadap posisi bicara yang kurang tepat. Dengan bantuan cermin kita dapat mengucapkan beberapa contoh konsonan, vokal dan kata-kata atau kalimat dengan baik.
d) Alat bantu wicara (speech trainer)
Speech trainer ialah sebuah alat elektronik terdiri dari amplifaer, head phone dan mickrophone. Gunanya untuk memberikan latihan bicara individual. Bagi yang masih mempunyai sisa pendengaran cukup banyak akan sangat membantu pembentukan ucapannya. Bagi yang sisa pendengarannya sedikit akan membantu dalam pembentukan suara dan irama.
2) Alat Peraga
Untuk memperkaya perbendaharaan bahasa anak hendaknya jangan dilupakan alat-alat peraga tradisional seperti:
(a) Miniatur binatang-binatang
(b) Miniatur manusia
(c) Gambar-gambar yang relevan
(d) Buku perpustakaan yang bergambar
(e) Alat-alat permainan anak
Sesuai dengan kemampuan anak tunarungu dalam kurikulum lebih diutamakan mata pelajaran keterampilan yang menuju kearah irama. Untuk itu diperlukan alat-alat keterampilan untuk pria dan atau wanita antara lain sebagai berikut :
(a) Alat pertukangan
(b) Alat pertanian
(c) Alat perbengkelan
(d) Alat tenun
(e) Alat masak memasak
(f) Alat jahit menjahit
(g) Alat salon kecantikan
(h) Alat potong rambut (barber shop)
(i) Komputer
3. Kurikulum Pendidikan Khusus Anak Tunarungu
Ketunarunguan yang berdampak kepada kemiskinan bahasa dan hambatan dalam berkomunikasi, dianggap menyulitkan orang lain termasuk dalam layanan pendidikannya. Hal ini dapat dibuktikan terutama di Indonesia, hingga kini layanan pendidikan bagi anak tunarungu sebagian besar bersifat segregatif, yaitu pelayanan pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus yang terpisah dari satuan pendidikan pada umumnya. Wujud dari pendidikan segregatif ini adalah yang lazim dikenal Sekolah Khusus (SKh).
Sistem segregatif ini baik, jika hanya untuk kepentingan pembelajaran, namun jika sampai kepada layanan pendidikan, segregatif tentu saja akan merugikan anak. Mereka akan kehilangan haknya untuk belajar, bersosialisasi dan berkomunikasi dengan teman sebayanya yang mendengar. Sistem pendidikan segregatif (SKh) sangat tidak membantu perkembangan sosialitas peserta didik. Sehingga tetap sulit bagi anak khusus, khususnya anak tunarungu yang sudah tamat dari SKh untuk dapat diterima sebagai anggota masyarakat. Hal ini merupakan akibat dari adanya penyederhanaan strategi pembelajaran yang tidak memperhitungkan bahwa pergaulan antar peserta didik dalam komunitasnya merupakan bentuk proses pembelajaran natural yang seharusnya tidak boleh diabaikan.
Berdasarkan karakteristik anak tunarungu, khususnya miskinnya bahasa yang disebabkan karena ketunarunguannya yang berakibat ia tidak mengalami masa pemerolehan bahasa seperti halnya anak dengar lainnya, maka dalam pengembangan kurikulum untuk anak tunarungu harus dilandasi pada kompetensi berbahasa dan komunikasi yang selanjutnya dapat diimplementasikan dalam pengajaran bahasa yang menggunakan pendekatan percakapan. Disinilah nampak metode ini sejalan dengan konsep Language Across the Curricullum atau kurikulum lintas bahasa, yang memiliki filosofi bahwa tujuan kurikulum akan dapat dicapai dahulu jika didahului dengan keterampilan dan penguasaan bahasa yang tinggi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dari Language Across the Curricullum itu adalah sebuah metode pembelajaran yang senantiasa disajikan melalui konteks kebahasaan melalui percakapan, yang tahapannya dari mulai penguasaan bahasa, aturan bahasa, hingga ke pengetahuan umum.
Untuk itu perlu dikembangkan satu model kurikulum bagi anak dengan gangguan pendengaran yang berbasiskan Kompetensi Berbahasa dan Komunikasi untuk menuju kecakapan hidup.
Kurikulum yang berlaku di pendidikan khusus untuk anak tunarungu masih menggunakan Kurikulum 1994, sedangkan wacana yang berkembang sekarang ini kurikulum yang berbasis kompetensi sehingga mengarah pada skill dan keterampilan masing-masing peserta didik sesuai dengan kekhususannya. Secara proporsional kurikulum pada SMPKh menitikberatkan pada program keterampilan 42% dan SMAKh menitikberatkan pada program keterampilan 62%. Pelaksanaannya di lapangan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan di mana sekolah tersebut berada dan hal ini pun masih harus disesuaikan dengan keberadaan situasi dan kondisi lingkungan daerah masing-masing. Sebagai contoh:
1) Sekolah yang berada di lingkungan pantai, maka kurikulum muatan lokalnya antara lain pengolahan hasil laut, atau keterampilan yang menunjang perangkat nelayan, misalnya merajut jaring, jala dan sebagainya;
2) Sedangkan untuk sekolah yang berada pada daerah pegunungan atau dataran rendah dapat menerapkan keterampilan pertanian, perikanan darat, keterampilan menganyam dan sebagainya.
3) Sekolah yang berada di perkotaan dapat menerapkan keterampilan otomotif, percetakan, sablon, mengukir atau membatik.
4) Kurikulum Sekolah Luar Biasa 1994 yang memuat tentang Landasan Program dan Pengembangan Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Tentang Pedoman Pelaksanakan, sedangkan Kurikulum yang telah diberlakukan pada tahun 2003 adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yang mencakup satuan pendidikan TKLB, SDLB, SLTPLB, dan SMLB memberikan kesempatan bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk mengembangkan kompetensinya seoptimal dan setinggi mungkin dan untuk mendapatkan pekerjaan yang berguna agar dapat hidup mandiri di masyarakat dan dapat bersaing di era global. Kurikulum ini memungkinkan siswa dapat belajar atau mempelajari sesuai dengan bakat dan minat serta program keterampilan yang ditawarkan pada lembaga pendidikan khusus, dengan komposisi perbandingan antara teori dan praktik cukup proporsional.
4. Manajemen
Manajemen pada lembaga pendidikan khusus di era sekarang ini lebih menitikberatkan pada aspek pengelolaan yang mengarah pada kemandirian sekolah dan sebuah bentuk atau wujud keterlaksanaan otonomi sekolah
Sebagai individu yang merupakan sesama warganegara, anak tunarungu juga memiliki hak yang sama dalam memperoleh layanan pendidikan. Itu merupakan satu hal yang bersifat kodrati, alami dan manusiawi. Oleh sebab itu tak dapat dipungkiri lagi bahwa pendidikan merupakan salah satu hak dasar bagi setiap individu manusia, termasuk didalamnya anak tunarungu.
Namun demikian, upaya untuk menempatkan anak tunarungu sejajar dengan anak yang mendengar adalah bukanlah hal yang mudah. Pertanyaannya adalah, strategi apakah yang dapat memberikan kemampuan komunikasi dan berbahasa yang cukup sehingga anak tunarungu memiliki kecukupan bahasa untuk belajar bidang-bidang studi lainnya, serta bersosialisasi dengan guru dan teman sebayanya di sekolah maupun di luar sekolah ? Untuk menentukan strategi yang sesuai terhadap layanan pendidikan anak tunarungu tidak lepas dari beberapa faktor manajemen pengelolaan pendidikan bagi anak tunarungu sebagai berikut:
a. Manajemen Berbasis Sekolah
Di era desentralisasi ini seluruh sektor termasuk sektor pendidikan dituntut untuk ber “otonomi”, antara lain Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dalam mengelola pendidikan luar biasa sudah saatnya menyerahkan sebagian kewenangan pengelolaannya kepada daerah dan masyarakat lingkungan sekolah. Salah satu kebijakan yang menyangkut otonomi pendidikan luar biasa, pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah adalah konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Pada awal tahun 2000 Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah telah memperkenalkan dan mensosialisasikan konsep manajemen berbasis sekolah, sebagai konsekuensi logis terhadap diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 tahun 2000, tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom.
Manajemen Berbasis Sekolah bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif. Lebih rincinya Manajemen Berbasis Sekolah bertujuan untuk:
1) Meningkatkan peranserta warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama;
2) Meningkatkan tanggungjawab sekolah terhadap orangtua, mayarakat, pemerintah dan mutu sekolahnya;
3) Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai;
4) Memberikan pertanggungjawaban tentang mutu pendidikan kepada pemerintah, orangtua peserta didik, dan masyarakat;
5) Memberikan kesempatan kepada sekolah untuk menyusun kurikulum muatan lokal, sedangkan kurikulum inti dan evaluasi berada pada kewenangan pusat dan pengembangannya disesuaikan dengan daerah dan sekolah masing-masing.
6) Memberikan kesempatan untuk menjalin hubungan kerjasama kepada sekolah baik dengan perorangan, masyarakat, lembaga dan dunia usaha yang tidak mengikat.
Manajemen berbasis sekolah sudah mulai dirintis Direktorat Pendidikan Luar Biasa lebih awal. Wujud nyata dari ide School Base Management itu dapat kita lihat mulai dari enrolment-assessment awal, penempatan siswa pada kelas-kelas yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, pembuatan Individual Educational Program (IEP) oleh guru dalam mengajar yang selalu melibatkan orang tua murid, guru, tenaga ahli, dan para spesialis yang membidangi, sehingga anak betul-betul dapat dilayani secara profesional. Hubungan guru dengan orangtua dan masyarakat selalu dijaga kelangsungannya sehingga permasalahan yang timbul dapat diatasi bersama secara holistik.
b. Ketenagaan
1) Tenaga Kependidikan
(a) Kepala Sekolah bertugas dan bertanggung jawab memimpin/manajemen dari terselenggaranya program pendidikan pada sekolah luar biasa yang dibinanya.
(b) Guru Bidang Keterampilan bertugas mengembangkan bakat dan minat anak, yang berhubungan dengan kemampuan kerja mereka juga menyusun program latihan kerja yang diperlukan, sehingga anak menjadi kreatif dan produktif.
(c) Guru Kelas bertugas melaksanakan program pengajaran di kelas mungkin dengan mengindahkan pentingnya pelayanan individual pada anak.
(d) Guru Latihan Bicara, Semua guru untuk anak tunarungu harus mempunyai keahlian untuk memberi latihan bicara, latihan bicara secara klasikal dapat diberikan setiap hari di kelas. Sedangkan untuk latihan individual di ruang latihan bicara diberikan oleh guru khusus latihan.
(e) Ahli Bina Wicara bertugas mencari sebab-sebab kesukaran bicara atau kelainan bicara yang bersumber pada kesukaran-kesukaran psikologis. Misalnya kelainan emosi (takut, malu, tertekan, rasa rendah diri, tidak percaya pada kemampuan diri, merasa diperlakukan kurang adil, kurang diperhatikan, kurang kasih sayang) serta memberikan terapinya dengan program yang matang. Jika kesukaran bicara anak disebabkan oleh kelainan organis, ia dapat memberikan saran untuk mengatasi kelainan tersebut pada orangtua yang bertanggung jawab sebagai wali.
(f) Guru mata pelajaran yang lain sama dengan guru mata pelajaran pada sekolah normal lainnya seperti : guru agama, guru olahraga, kesenian dan lainnya sama dengan sekolah normal.
2) Tenaga Ahli
Ahli-ahli yang diperlukan antara lain:
(a) Dokter THT (Dokter spesial telinga hidung dan tenggorokan) ia bertugas mengevaluasi hidung, tenggorokan dan telinga, untuk menetapkan apakah organ-organ tersebut berfungsi normal, apakah terjadi pembesaran tonsil, terjadi infeksi dan apakah ada kelainan pada organ pendengaran tersebut.
(b) Audiometris bertugas memeriksa derajat sisa pendengaran anak, memeriksa anak mendengar dengan kondisi hawa atau dengan kondisi tulang, ia juga menentukan sisa pendengaran pada telinga kiri dan kanan serta menentukan jenis alat.
(c) Psikolog menentukan tingkat kecerdasan anak, menentukan kalainan-kelainan psikologis lainnya yang berpengaruh negatif pada diri anak misalnya perkembangan kepribadian anak, kemampuan ingatan anak, kemajuannya di sekolah, tingkah laku anak, keadaan emosinya dan sebagainya.
(d) Pekerja Sosial bertugas mengumpulkan data terutama yang berhubungan dengan latar belakang sosial anak problem-problem yang terjadi hubungan antar keluarga, latar belakang ekonomi keluarganya, sikap sosial anak, orangtua dan masyarakat sekitar.
(e) Orto Pedagogik atau seorang ahli pendidikan anak luar biasa bertugas dan berwenang menentukan jenis program pendidikan untuk setiap kelompok anak tunarungu. Bimbingan dan Penyuluhan selama anak mengikuti pendidikan di sekolah perlu diselenggarakan bimbingan dan penyuluhan yang positif dalam berbagai keaktifan hidup mereka. Bimbingan dan penyuluhan tersebut bertujuan memberikan kemampuan kepada anak supaya dapat menyelesaikan dan memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi mereka dalam bermacam-macam situasi bimbingan dan penyuluhan yang diperlukan antara lain:
(1) Bimbingan dan penyuluhan dalam pendidikan
(2) Bimbingan dan penyuluhan dalam kejuruan/kerja
(3) Bimbingan dan penyuluhan dalam segi sosial/kemasyarakatan
(4) Bimbingan dan penyuluhan dalam segi pribadi
(5) Bimbingan dan penyuluhan dalam segi kesehatan
3) Tenaga Administrasi dan Tenaga lainnya
Selain guru pada sekolah luar biasa diperlukan juga pegawai yang tidak kalah pentingnya dalam upaya terselenggaranya program penyelenggaraan suatu sekolah diantaranya Tata Usaha Sekolah dan staf; pesuruh sekolah; penjaga sekolah; tukang kebun; sopir
4) Tenaga Asrama
Bagi Sekolah Luar Biasa yang menyelenggarakan asrama diperlukan tenaga asrama sebagai berikut :
(a) Kepala Asrama
(b) Pembimbing anak
(c) Juru masak
(d) Pelayan
(e) Sopir Asrama
Sedikit banyak meraka turut mempunyai andil dalam mensukseskan kemampuan menghayati suka duka anak-anak luar biasa bagian tunarungu dan mempunyai dedikasi untuk membantu anak-anak tunarungu secara wajar dengan penuh pengertian dan rasa cinta kasih yang mendalam.
Pegawai-pegawai SLB bagian tunarungu harus bekerjasama dan dapat membantu staf, guru, dan dapat menciptakan suasana dan situasi yang menguntungkan untuk berlangsungnya Pendidikan Luar Biasa tersebut.
5) Administrasi dan Keuangan Sekolah
Administrasi sekolah berpedoman pada administrasi yang dibakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Luar Biasa meliputi, Administrasi Program Pengajaran, Kemuridan, Kepegawaian, Keuangan dan Perlengkapan Barang. Administrasi sekolah di era otonomi ini menggunakan prinsip School Based Management yang menempatkan kewenangan pengelolaan sekolah sebagai satu entitas sistem, dalam format ini kepala sekolah dan guru-guru sebagai kelompok profesional, bermitra dengan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya, dianggap memiliki kapasitas untuk memahami kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan yang dihadapi sekolah dalam upaya mengembangkan program-program sekolah yang diinginkan sesuai dengan visi dan misi sekolah.
Prinsip perencanaan pengadministrasian, penganggaran sampai dengan penggunaan dan pertanggungjawaban dapat dilakukan bersama antara stake holders sekolah dengan masyarakat dalam hal ini dewan sekolah/komite sekolah.
Fungsi dasar suatu administrasi sekolah adalah sebagai suatu bentuk perencanaan, pencatatan, penginventarisasian, pengendalian, dan analisis kebutuhan barang dana/keuangan. Sebagai contoh dalam penyusunan anggaran berangkat dari rencana kegiatan atau program yang telah disusun dan kemudian diperhitungkan berapa biaya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan tersebut, bukan dari jumlah dana yang tersedia dan bagaimana dana tersebut dihabiskan. Dengan rancangan yang demikian fungsi anggaran sebagai alat pengendalian kegiatan akan dapat diefektifkan. Langkah-langkah penyusunan anggaran yang dilakukan dan direncanakan bersama masyarakat meliputi:
a. Menginventarisasi rencana kegiatan yang akan dilaksanakan.
b. Menyusun rencana berdasar skala prioritas pelaksanaannya.
c. Menentukan program kerja dan rincian program.
d. Menetapkan kebutuhan untuk pelaksanaan rincian program.
e. Menghitung dana yang dibutuhkan.
f. Menentukan sumber dana untuk membiayai rencana.
Berbagai rencana yang dituangkan ke dalam Rencana dan Program Tahunan sekolah pada dasarnya untuk merealisasikan program sekolah, oleh karena itu anggaran yang diperlukan juga tercakup dalam Rencana Anggaran dan Pendapatan Belanja Sekolah (APBS). Prinsip efisiensi harus diterapkan dalam penyusunan rencana anggaran setiap program sekolah. Pada anggaran yang disusun perlu dijelaskan, apakah rencana program yang akan dilaksanakan merupakan hal yang baru atau merupakan kelanjutan atas kegiatan yang telah dilaksanakan dalam periode sebelumnya, dengan menyebutkan sumber dana sebelumnya.
I. KARAKTERISTIK ANAK TUNARUNGU
Tunarungu/anak yang mengalami gangguan pendengaran
1. Tidak mampu mendengar,
2. Terlambat perkembangan bahasa
3. Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi
4. Kurang/tidak tanggap bila diajak bicara
5. Ucapan kata tidak jelas
6. Kualitas suara aneh/monoton,
7. Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar
8. Banyak perhatian terhadap getaran,
9. Keluar cairan ‘nanah’ dari kedua telinga
J. KLASIFIKASI ANAK TUNARUNGU
Tuli dalam kedokteran dibagi atas 3 jenis:
a. Tuli/Gangguan Dengar Konduktif adalah gangguan dengar yang disebabkan kelainan di telinga bagian luar dan/atau telinga bagian tengah, sedangkan saraf pendengarannya masih baik, dapat terjadi pada orang dengan infeksi telinga tengah, infeksi telinga luar atau adanya serumen di liang telinga.
b. Tuli/Gangguan Dengar Saraf atau Sensorineural yaitu gangguan dengar akibat kerusakan saraf pendengaran, meskipun tidak ada gangguan di telinga bagian luar atau tengah.
c. Tuli/Gangguan Dengar Campuran yaitu gangguan yang merupakan campuran kedua jenis gangguan dengar di atas, selain mengalami kelainan di telinga bagian luar dan tengah juga mengalami gangguan pada saraf pendengaran.Untuk menentukan jenis dan derajat ketulian dapat diperiksa dengan audiometri
Disamping dengan pemeriksaan audiometri, ambang respon seseorang terhadap bunyi dapat juga dilakukan dengan pemeriksaan BERA (Brainstem Evoke Response Audiometry, dapat dilakukan pada pasien yang tidak dapat diajak komunikasi atau anak kecil.
Bahasa isyarat adalah bahasa yang mengutamakan komunikasi manual, bahasa tubuh, dan gerak bibir, bukannya suara, untuk berkomunikasi. Kaum tunarungu adalah kelompok utama yang menggunakan bahasa ini, biasanya dengan mengkombinasikan bentuk tangan, orientasi dan gerak tangan, lengan, dan tubuh, serta ekspresi wajah untuk mengungkapkan pikiran mereka.
Bertentangan dengan pendapat banyak orang, pada kenyataannya belum ada bahasa isyarat internasional yang sukses diterapkan. Bahasa isyarat unik dalam jenisnya di setiap negara. Bahasa isyarat bisa saja berbeda di negara-negara yang berbahasa sama. Contohnya, Amerika Serikat dan Inggris meskipun memiliki bahasa tertulis yang sama, memiliki bahasa isyarat yang sama sekali berbeda (American Sign Language dan British Sign Language). Hal yang sebaliknya juga berlaku. Ada negara-negara yang memiliki bahasa tertulis yang berbeda (contoh: Inggris dengan Spanyol), namun menggunakan bahasa isyarat yang sama.
Untuk Indonesia, sistem yang sekarang umum digunakan adalah Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) yang sama dengan bahasa isyarat America (ASL - American Sign Language).
K. IMPLEMENTASI PEMBERIAN LAYANAN PENDIDIKAN DI SD BAGI TUNARUNGU
Setiap anak baik yang normal maupun yang berkebutuhan khusus memiliki hak yang sama dalam bidang pendidikan. Mereka yang berkebutuhan khusus khususnya tunarungu berhak untuk duduk dibangku SD, SMP, SMA maupun Perguruan Tinggi. Setiap sekolah dasar harus menerima anak tunarungu yang berkeinginan untuk masuk disekolah tersebut meskipun sekolah tersebut bukan Sekolah Luar Biasa yang diperuntukan khusus untuk penyandang tunarungu.
Akan tetapi, kini sudah terdapat Sekolah Inklusi yang mempesilahkan semua anak untuk bersekolah disekolah tersebut. Sekolah tersebut tentunya telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk mengatasi masalah yang akan dihadapi dalam kegiatan pembelajaran. Tentu saja, sekolah yang menerima anak normal dan anak penyandang tunarungu harus memiliki kecakapan dan keterampilan khusus untuk membimbing kedua kriteria siswa tersebut. Jika guru tidak memiliki kecakapan khusus maka kemungkinan guru akan mengalami kewalahan dalam membimbing siswa tunarungu. Selain itu, siswa tunarungu akan mengalami kesulitan dalam menerima pelajaran dari guru.
Kecakapan dan keterampilan yang harus dimiliki guru yang paling utama adalah guru harus bisa dan mengerti bahasa isyarat bagi anak tunarungu. Hal tersebut merupakan kecakapan yang paling penting untuk dimiliki guru dalam memeberikan pelajaran pada anak tunarungu. Selain itu, guru harus bisa memahami setiap siswa dan perlakuan yang diberikan antara siswa normal dengan siswa tunarungu harus dibedakan karena kebutuhan masing-masing juga akan berbeda.
Sebelum memulai pembelajaran guru harus terlebih dahulu melakukan skinning atau asesmen agar mengetahui secara jelas mengenai kompetensi yang dimiliki oleh siswa tunarungu. Tujuannya adalah agar saat memprogramkan pembelajaran sudah dipikirkan mengenai bentuk strategi pembelajaran, metode pembelajaran serta langkah-langkahnya. Asesmen disisni adalah proses kegitaan untuk menegtahui kemampuan dan kelemahan setiap peserta didik dalam segi perkembangan kognitif dan perkembangan sosial, melalui pengamatan yang sensitif.
1. Metode Layanan
a. Metode Formal
Metode ini dapat disamakan dengan metode mengajar bahasa asing atau bahasa kedua pada seseorang. Ciri-ciri metode ini adalah :
1) Kegiatan belajar mengajar bahasa berawal dari guru dan hampir seluruhnya dikuasai oleh guru.
2) Titik berat pengajaran bahasa terletak pada penguasaan struktur dan tata bahasa
3) Pola-pola kalimat dialihkan kepada anak didik secara bertahap mulai dari kalimat yang mudah sampai kompleks
Metode ini disebut juga metode gramatikal, struktural, atau konstruktif.
b. Metode okasional
Metode ini dikenal juga dengan aliran natural, dimana pengajaran bahasa dilaksanakan dengan mengikuti cara sebagaimana anak dengar mulai belajar bahasa. Cara mengajar bahasa tanpa program melainkan dengan menciptakan percakapan berdasarkan situasi hangat yang sedang dialami anak dan mengandalkan pada kemampuan meniru anak sehingga disebut metode imitatif.
Ciri-ciri metode ini, yaitu:
1) Menggunakan bahasa sehari-hari yang lazim dipergunakan dalam percakapan.
2) Menggunakan setiap kesempatan untuk memberi bahasa yang wajar
3) Bertolak dari pengalaman anak
4) Memberi penekanan pada pelajaran membaca
5) Tidak mengadakan penyederhanaan berhubungan dengan kesulitan tata bahasa
6) Mengandalkan dorongan meniru/imitasi
Prinsip metode okasional ini adalah : “Apa yang sedang kau alami, katakanlah begini....”. sesuai dengan prinsisp tersebut maka metode ini mulai mengajar anak bertolak dari hal-hal yang sedang dialaminya dengan mengadakan percakapan secara lisan atau tertulis atau dengan abjad jari ataupun secara oral-aural.
c. Metode Maternal Reflektif (MMR)
Dalam Lani Bunawan (2000:71) disebutkan bahwa “Metode Maernal Reflektif dikenal juga dengan sebutai metode Van Uden. A. Van Uden menyadari bahwa pendekatan natural jauh lebih baik daripada pendekatan struktural, namun menilai bahwa metode tersebut masih dapat disempurnakan berdasarkan temuan psikolinguistik. Percakapan merupakan kunci perkembangan bahasa anak tuna rungu (D. Hollingshead, 1982). Selain tekanan pada percakapan, diutamakan pula penemuan bentuk bahasa oleh anak sendiri dan bukan pengajaran melalui kegiatan analisa. MMR merupakan metode yang menggabungkan aspek terbaik dari natural dan struktural (M.N Griffey, 1980)”. Prinsip dari metode percakapan ini adalah : “Apa yang ingin kau katakan, katakanlah begini...
2. Strategi Layanan
Strategi pembelajaran bagi anak tunarungu pada dasarnya sama dengan strategi pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran bagi anak mendengar/normal, akan tetapi dalam pelaksanaannya, harus bersifat visual, artinya lebih banyak memanfaatkan indra penglihatan siswa tunarungu. Terdapat bebrapa strategi yang biasa digunakan untuk anak tunarungu yaitu :
a. Strategi deduktif
Strategi deduktif adalah strategi pembelajaran dengan proses pengolahan pesan yang berlangsung dari hal-hal yang bersifat umum menuju ke hal-hal yang bersifat khusus. Pada garis besarnya, strategi pembelajaran deduktif meliputi langkah-langkah 1) guru mengemukakan generalisasi, 2) penjelasan konsep-konsep, dan 3) pencarian data yang dilakukan oleh siswa. Dengan strategi ini, siswa akan lebih aktif dalam menemukan sesuatu berdasarkan apa yang dilihatnya.
b. Startegi induktif
Strategi induktif adalah strategi pembelajaran dengan proses pengolahan pesan yang berlangsung dari hal-hal yang bersifat khusus menuju ke hal-hal yang bersifat umum. Langkah-langkah pembelajaran strategi induktif, pada garis besarnya terdiri atas 1) pengajuan data/fakta atau peristiwa khusus, 2) penyusunan konsep berdasarkan fakta-fakta, dan 3) penyusunan generalisasi berdasarkan konsep-konsep. Bila sudah ada teori yang benar pada umumnya dirumuskan hipotesis, 4) terapan generalisasi pada data baru atau hipoptesis, dan 5) penarikan kesimpulan lanjut.
Siswa tunarungu akan melakukan pencarian tentang apa yang diperintahkan oleh guru dan mereka akan membuat kesimpulan sendiri. Kesimpulan yang mereka ambil berdasarkan apa yang dilihat mereka.
c. Strategi heuristik
Strategi heuristik merupakan strategi pembelajaran yang menghendaki siswa untuk terlibat aktif dalam proses pengolahan pesan-pesan belajar (tujuan pembelajaran). Strategi ini lebih berpusat pada siswa (student-centre) dan bertujuan untuk mengembangkan kemampuan intelektual, berpikir kritis dan memecahkan masalah dari para siswa. Dalam strategi heuristik, peranan guru adalah : menciptakan suasana berpikir sehingga murid berani bereksplorasi dalam penemuan dan pemecahan masalah, sebagai fasilitator dalam pembelajaran dan penelitian, sebagai rekan diskusi siswa dalam klasifikasi dan pencarian alternatif pemecahan masalah, dan sebagai pembimbing penelitian, pendorong keberanian berpikir alternatif dalam pemecahan masalah, sementara peranan siswa adalah mengambil prakarsa dalam pencarian masalah dan pemecahan masalah, pelaku aktif dalam belajar melakukan penelitian, penjelajah tentang masalah dan metode pemecahan masalah, serta penemu pemecahan masalah.
Dengan demikian, baik siswa normal maupun siswa tunarungu mendapatkan kesempatan yang sama untuk menemukan sesuatu atau meneliti sesuatu serta memecahkan masalah sama halnya seperti yang dilakukan siswa normal. Strategi ini memungkinkan siswa yang tunarungu untuk selalu turut terlibat dalam aktivitas kelas.
d. Strategi ekspositorik
Strategi ekspositorik merupakan strategi pembelajaran yang lebih berorientasi pada guru dalam arti semua pesan pembelajaran (yang diharapkan untuk dikuasai oleh murid) telah diolah dalam bentuk barang jadi oleh guru untuk selanjutnya disampaikan kepada murid. Guru aktif memberi penjelasan atau informasi secara terperinci tentang bahan pengajaran dengan tujuan utama memindahkan pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai kepada siswa. Peran guru dalam strategi pembelajaran ekspositorik ini adalah : penyusun program pembelajaran, pemberi informasi yang benar, penyedia fasilitas, pembimbing siswa dalam memperoleh informasi/pesan, dan penilai pemerolehan informasi, sementara siswa lebih berperan sebagai pencari/penerima informasi/pesan belajar, pemakai media/sumber belajar, dan menyelesaikan tugas-tugas yang diperhadapkan kepadanya.
e. Startegi klasikal
“Istilah klasikal (Erman, dkk. 2001) bisa diartikan secara klasik yang menyatakan bahwa kondisi yang sudah lama terjadi, bisa juga diartikan sebagai bersifat kelas”. Jadi strategi klasikal berarti strategi konvensional yang biasa dilakukan di kelas selama ini, yaitu pembelajaran yang siswa berkemampuan tidak berbeda sehingga mereka mendapat pelajaran secara bersama, dengan cara yang sama dalam satu kelas sekaligus.
Model yang digunakan adalah pembelajaran langsung (direct learning). Pembelajaran klasikal tidak berarti jelek, tergantung proses kegiatan yang dilaksanakan, yaitu apakah semua siswa berpartisipasi secara aktif terlibat dalam pembelajaran, atau pasif tidak terlibat, atau hanya mendengar dan mencatat. Dengan strategi ini, indikator dari pendekatan kontekstual tetap dapat diperhatikan.
Dengan strategi ini, guru harus menggunakan bahasa isyarat agar siswa tunarungu memahami apa yang diakatakan oleh guru.
f. Strategi individual
Pembelajaran individual merupakan suatu strategi pembelajaran, hal ini dijelaskan oleh Rowntree (1974) dalam Sanjaya (2008 : 128) membagi “strategi pembelajaran ke dalam strategi penyampaian-penemuan atau exposition-discovery learning strategy dan strategi pembelajaran kelompok dan strategi pembelajaran individual atau groups-individual learning strategy”.
Menurut Wina Sanjaya (2008:128) “strategi pembelajaran individual dilakukan oleh siswa secara mandiri. Kecepatan, kelambatan dan keberhasilan pembelajaran siswa sangat ditentukan oleh kemampuan individu yang bersangkutan. Bahan pembelajaran serta bagaimana mempelajarinya didesain untuk belajar sendiri”.
Pada strategi pembelajaran individual ini siswa dituntut dapat belajar secara mandiri, tanpa adanya kerjasama dengan orang lain. Sisi positif penggunaan strategi ini adalah terbangunya rasa percaya diri siswa, siswa menjadi mandiri dalam melaksanakan pembelajaran, siswa tidak memiliki ketergantungan pada orang lain. Namun di sisi lain terdapat kelemahan strategi pembelajaran ini, diantaranya jika siswa menemukan kendala dalam pembelajaran, minat dan perhatian siswa justru dikhawatirkan berkurang karena kurangnya komunikasi belajar antar siswa, sementara enggan bertanya kepada guru, tidak membiasakan siswa bekerjasama dalam sebuah team.
g. Startegi kooperatif
Menurut Wina Sanjaya (2008 : 129) “belajar kelompok dilakukan secara beregu. Sekelompok siswa diajar oleh orang atau beberapa orang guru. Bentuk pembelajarannya dapat berupa kelompok besar atau pembelajaran klasikal; atau bisa juga siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil. Strategi kelompok tidak memperhatikan kecepatan belajar individual, setiap individu dianggap sama.”
Dengan strategi ini, diharapkan akan terjadi suatu kekompakan dan toleransi antara siswa yang normal dengan siswa yang tunarungu.
3. Media Pembelajaran untuk Tunarungu
Anak Tuna Rungu memiliki keterbatasan dalam berbicara dan mendengar, media pembelajaran yang cocok untuk Anak Tuna Rungu adalah media visual dan cara menerangkannya dengan bahasa bibir/gerak bibir. Media pembelajaran yang dapat digunakan untuk Anak Tuna Rungu dalam sebuah makalah yang berjudul “Media Pembelajaran Bina Komunikasi Persepsi Bunyi Dan Irama ( BKPBI) adalah sebagai berikut:
a. Media Stimulasi Visual
1) Cermin artikulasi, yang digunakan untuk mengembangkan feed back visual, dengan melihat/ mengontrol gerakan organ artikulasi diri siswa itu sendiri, maupun dengan menyamakan gerakan/ posisi organ artikulasi dirinya dengan posisi organ artikulasi guru.
2) Benda asli maupun tiruan
3) Gambar, baik gambar lepas maupun gambar kolektif.
4) Pias kata
5) Gambar disertai tulisan, dsb.
b. Media Stimulasi Auditoris
1) Speech Trainer, yang merupakan alat elektronik untuk melatih bicara anak dengan hambatan sensori pendengaran
2) Alat musik, seperti: drum, gong, suling, piano/organ/ harmonika, rebana, terompet, dan sebagainya.
3) Tape recorder untuk memperdengarkan rekaman bunyi- bunyi latar belakang, seperti : deru mobil, deru motor, bunyi klakson mobil maupun motor, gonggongan anjing dsb.
4) Berbagai sumber suara lainnya , antara lain :
a) Suara alam : angin menderu, gemercik air hujan, suara petir,dsb.
b) Suara binatang : kicauan burung, gongongan anjing, auman harimau, ringkikan kuda,dsb.
c) Suara yang dibuat manusia : tertawa, batuk, tepukan tangan, percakapan, bel, lonceng, peluit, dsb.
5) Sound System, yaitu suatu alat untuk memperkeras suara.
6) Media dengan sistem amplifikasi pendengaran, antara lain ABM, Cochlear Implant dan loop system.
Di lapangan media yang digunakan, misalnya dalam mata pelajaran matematika dengan tema mengenalkan jam,guru membawa tiruan jam dinding sambil menerangkan dengan bahasa bibir guru juga menuliskannya di papan tulis agar anak dapat lebih memahami apa yang guru jelaskan. Dalam pembelajaran IPA, PPKN, Guru juga mempergunakan gambar. Dalam pembelajaran IPS pun demikian, menggunakan media gambar dalam materi kenampakkan dari permukaan bumi dari gambar tersebut guru menjelaskan kepada anak sehingga anak dapat memahami bagaimana bentuk kenampakkan dari permukaan bumi tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran, sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari yang membawa dampak terhadap kehidupannya secara kompleks.
Trybus (1985) mengemukakan enam penyebab ketunarunguan pada anak di Amerika Serikat yaitu :
a. Keturunan
b. Campak Jerman dari pihak ibu
c. Komplikasi selama kehamilan dan kelahiran
d. Radang selaput otak (meningitis)
e. Otitis media (radang pada bagian telinga tengah)
f. Penyakit anak-anak, radang dan luka-luka
Pada pembelajaran disekolah, baik anak normal maupun tunarungu masing-masing harus mendapatkan haknya yaitu mendpatkan pelayanan pendidikan. Anak tunarungu harus mendapatkan pendidikan yang layak ,sama seperti halnya anak normal.
DAFTAR PUSTAKA
Administrator Dinas Pendidikan Luar Biasa Provinsi Jawa Barat . 2011. Metode Pengajaran bahasa Bagi Anak Tunarungu. [Online] Tersedia: http://psibkusd.wordpress.com/about/b-tunarungu/metode-pengajaran-bahasa-bagi-anak-tunarung/ . [ 05 Mei 2012, 12:23]
Balitbang Yayasan Santi Rama. 1989. Metode Percakapan yang Reflektif (MPR) Dalam Pendidikan Anak Tunarungu Buku Seri I : Landasan Teori. Jakarta.
Bosko Sumitro. 1984. Kursus Tentang Pendidikan Anak-anak Tuli yang Berinteligensi Normal Makalah. Wonosobo : Yayasan Don Bosco.
Dwidjosumarto, Andreas. 1995. Ortopedagogik Anak Tuna Rungu. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Guru.
Journal. 2012. Anak Tunarungu. [Online] Tersedia: http://anaktunarungu.multiply.com/journal/item/15. [29 September 2012, 13:22 ]
Muhammadiyah. 2012. Pendidikan Anak Tunarungu. [Online]. Tersedia http://slbmuhammadiyahbayongbonggarut.blogspot.com/2011/04/pendidikan-anak- tunarungu_04.html [29September 2012]
Putri, Yulia. 2010. Karakteristik anak Dengan Kebutuhan. [Online] Tersedia: http://yulia-putri.blogspot.com/2010/05/karakteristik-anak-dengan-kebutuhan_07.html [29September 2012, 12:53]
Romiariyanto. 2011. Media Pembelajaran Bagi Anak Tunanera, Tunarungu, dan Tunadaksa. [Online] Tersedia : http://romiariyanto.blogspot.com/2011/10/media-pembelajaran-bagi-anak-tuna-netra.html . [29 September 2012, 08:45]
Wikipedia. 2012. Anak Berkebutuhan Khusus. [Online] Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Anak_berkebutuhan_khusus#Tunarungu . [ 29 September 2012, 13:01 ]
Pengertian Tuna Grahita
Anak tunagrahita adalah kondisi anak yang kecerdasannya jauh dibawah rata – rata yang ditandai oleh keterbatasan intelejensi dan ketidak cakapan dalam interaksi social.Anak tuna grahita atau dikenal juga dengan istilah terbelakang mental karena keterbatasan kecerdasannya sukar untuk mengkuti program pendidikan disekolah biasa secara klasikal, oleh karena itu anak terbelakang mental membutuhkan pelayanan pendidikan secara khusus, yakni disesuaikan dengan kemampuan anak itu.
Untuk memahami anak tuna grahita atau terbelakang mental ada baiknya memahami terlebih dahulu konsep Mental Age (MA). Mental age adalah kemampuan mental yang dimiliki oleh seorang anak pada usia tertentu. Sebagai contoh anak yang berumur 6 tahun akan memiliki MA 6 tahun. Jika seorang anak memiliki MA lebih tinggi dari umurnya (Cronology Age), maka anak tersebut memiliki kemampuan mental atau kecerdasan diatas rata – rata.Anak tunagrahita selalu memiliki MA lebih rendah CA-nya secara jelas. Misalnya anak normal mempunyai IQ 100, maka anak tunagrahita mempunyai IQ 70 yaitu ia mengalami keterlambatan 2 x 15 = 30 maka diperoleh IQ 70 tersebut. Penyesuaian perilaku maksudnya saat ini seorang dikatakan tunagrahita bukanlah hanya dilihat IQ-nya akan tetapi perlu dilihat sampai sejauh mana anak ini dapat menyesuaikan diri. Jadi bila anak ini dapat menyesuaikan diri maka tidaklah lengkap ia dipandang sebagai anak tunagrahita. Terjadi pada masa perkembangan maksudnya bila ketunagrahitaan ini terjadi setelah usia dewasa maka ia tidak tergolong tunagrahita.
B. Karakteristik Umum Anak Tuna Grahita
Tuna grahita atau terbelakang mental merupakan kondisi dimana perkembangan yang optimal ada beberapa karakteristik umum anak tunagrahita yang dapat kita pelajari, sebagai berikut:
1. Keterbelakangan Intelegensi
Intelegensi merupakan fungsi yang kompleks yang dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mempelajari informasi dan ketrampilan-ketrampilan menyesuaikan diri dengan masalah-masalah dan situasi-situasi kehidupan baru, belajar dari pengalaman masa lalu, berfikir abstrak, kreatif, dapat menilai secara kritis, menghindari kesalahan-kesalahan, mengatasi kesulitan-kesulitan, dan kemampuan untuk merencanakan masa depan. Anak tuna grahita memiliki kekurangan dalam semua hal tersebut. Kapasitas belajar anak tuna grahita terutama yang bersifat abstrak seperti belajar berhitung, menulis, dan membaca juga terbatas, kemampuan belajarnya cenderung tanpa pengertian atau cenderung belajar dengan membeo.
2. Keterbatasan Sosial
Di samping memiliki keterbatasan intelegensi, anak tunagrahita juga memiliki kesulitan dalam mengurus diri sendiri dalam masyarakat, oleh karena itu mereka memerlukan bantuan. Anak tunagrahita cenderung berteman dengan anak yang lebih muda dari usianya, ketergantungan terhadap orang tua sangat besar, tidak mampu memikul tanggung jawab social dengan bijaksana, sehingga mereka harus selalu dibimbing dan diawasi. Mereka juga mudah dipengaruhi. Cenderung melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya.
3. Keterbatasan Fungsi-fungsi Mental Lainnya
Anaktunagrahitamemerlukanwaktulebih lama untuk melaksanakan reaksi pada situasi yang baru dikenalnya .Mereka memperlihatkan reaksi terbaiknya bila mengikutihal-halrutin yang secara konsisten dialaminya dari hari-kehari. Anak tuna grahita tidak dapat menghadapi sesuatu kegiatan atau tugas dalam jangka waktu lama. Anak tuna grahita memilikik eterbatasan dalam penguasaan bahasa.
Untuk lebih jelasnya mengenai peristilahan tunagrahita sebagai berikut:
a. Mental Retardation, banyak digunakan di Amerika Serikat dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai latar belakang mental.
b. Feebleminded (lemah pikiran), digunakan di Inggris untuk melukiskan kelompok tunagrahita ringan.
c. Mental Subnormality, digunakan di Inggris dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai latar belakang mental.
d. Mental Deficiency, menunjukkan kapasitas kecerdasan yang menurun akibat penyakit yang menyerang organ tubuh.
e. Mentally Handicapped, dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah cacat mental.
f. Intellectualy Handicapped, merupakan istilah yang banyak digunakan di New Zealand.
g. Intellectual Disabled, istilah ini banyak digunakan PBB.
C. Faktor Penyebab Tuna Grahita
1. Faktor Keturunan
Meliputi hal–hal berikut:
a. Kelainan kromosom
Dapat dilihat dari bentuk dan nomornya, dilihat dari bentuknya dapat berupa:
1) infresi
kelainan yang menyebabkan berubahnya urutan gene karena melilitnya kromosom.
2) delesi
kegagalan meiosis, yaitu salah satu pasangan tidak membelah sehingga terjadi kekurangan kromosom pada salah satu sel
3) duplikasi
kromosom tidak berhasil memisahkan diri sehingga tidak terjadi kelebihan kromosom pada salah satu sel yang lain
4) translokasi
adanya kromosom yang patah dan patahannya menempel pada kromosom lain.
b. Kelainan Genetika
Terjadipadawaktumutasi, tidak selamnya tampak dari luar (tetap dalam tingkat genotip).
2. Gangguan Metabolisme dan Gizi
Metabolismedangizimerupakan factor yang sangat penting dalam individu terutama dalam perkembangan sel – sel otak, kegagalan itu dapat menyebabkan gangguan fisik dan mental pada individu. Kelainan itu antara lain:
a. Phenylketonuria
Adalah akibat gangguan metabolisme asam amino. Dengan gejala yang nampak berupa: tunagrahita, kekurangan pigmen, kejang syaraf, kelainan tingkah laku
b. Gargoylism
Adalah kerusakan metabolism saccharide yang menjadi tempat penyimpanan asam mukopolysaccharide dalam hati limpa kecil dan otak. Dengan gejala yang nampak ketidak normalan tinggi badan, kerangka tubuh yang tidak proposional, telapak tangan lebar dan pendek, persendian kaku, lidah lebar dan menonjol dan tunagrahita,
c. Cretinism
Adalah keadaan hypohydrodism kronik yang terjadi selama masa janin atau saat dilahirkan. Dengan gejala kelainan yang tampak ketidak normalan fisik yang khas pada tunagrahita.
3. Infeksi Keracunan
Keadaan ini disebabkan oleh terjangkitnya penyakit–penyakit selama janin dalam kandungan. Penyakit yang dimaksud antara lain rubella yang mengakibatkan ketunagrahitaan serta adanya kelainan pendengaran, penyakit jantung bawaan, berat badan sangat kurang ketika dilahikan, syphilis bawaan, syndrome grafidity beracun.
4. Trauma dan Zat Radio Aktif
Terjadi trauma pada otak ketika bayi dilahirkan atau terkena radiasi zat radio aktif saat hamil dapat mengakibatkan ketunagrahitaan. Trauma yang terjadi pada saat dilahirkan biasanya disebabkan oleh kelahiran yang sulit sehingga memerlukan alat bantu. Ketidak tepatan penyinaran radiasi sinar X selama bayi dalam kandungan mengakibatkan cacat mental microsephaly.
5. Masalah Kelahiran
Masalah yang terjadi pada saat kelahiran misalnya kelahiran yang disertai hypoxia yang dipasyikan bayi akan menderita kerusakan otak, kejang, dan nafas pendek. Kerusakan juga disebabkan oleh trauma mekanis terutama pada kelahiran yang sulit.
6. Faktor Lingkungan
Studi yang dilakukan Kirk (Triman Prasadio, 1982:25) menemukan bahwa anak yang berasal dari keluarga yang tingkat sosialnya ekonominya rendah menunjukkan kecenderungan mempertahankan mental pada taraf yang sama bahkan prestasi belajarnya berkurang dengan meningkatnya usia. Kurangnya rangsangan intelektual yang memadai mengakibatkan timbulnya hambatan dalam perkembangan intelegensia sehingga anak dapat berkembang menjadi anak retardasirental.
D. Dampak Terjadinya Tuna Grahita
Orang yang paling banyak menanggung beban akibat ketunagrahitaan adalah orang tua dan keluarga anak tersebut. Oleh karena itu dikatakan bahwa penanganan anak tunagrahita merupakan psikiatri keluarga. Keluarga anak tunagrahita berada dalam resiko, mereka menghadapi resiko yang berat. Saudara – saudara anak tersebut pun menghadapi hal – hal yang bersifat emosional.
Saat yang krisis adalah ketika keluarga itu pertama kali menyadari bahwa anak tersebut tidak normal seperti yang lain. Jika anak tersebut menunjukkan gejala – gejala kelainan fisik (misalnya mongolisme) maka kelainan anak dapat segera diketahui sejak anak dilahirkan. Tetapi jika anak tersebut tidak mempunyai kelainan fisik, maka orang tua hanya akan mengetahui dari hasil penelitian. Cara menyampaikan hasil penelitian sangatlah penting. Orang tua mungkin menolak kenyataan atau menerima dengan beberapa persyaratan tertentu.
Perasaan dan tingkah laku orang tua itu berbeda – beda dan dapat dibagi menjadi:
1. Proteksi biologis
2. Perubahan tiba – tiba, hal ini mendorong untuk:
a. Menolak kehadiran anak dengan memberikan sikap dingin.
b. Menolak dengan rasionalisasi, menahan anaknya di rumah dengan mendatangkan orang yang terlatih untuk mengurusnya.
c. Merasa berkewajiban untuk memelihara tetapi melakukan tanpa memberikan kehangatan.
d. Memelihara dengan berlebihan sebagai kompensasi terhadap perasaan menolak.
3. Merasa ada yang tidak beres tentang urusan keturunan
a. Perasaan ini mendorong timbulnya suatu perasaan depresi.
b. Merasa kurang mampu mengasuhnya perasaan ini mehilangkan kepercayaan kepada diri sendiri dalam mengasuhnya.
c. Kehilangan kepercayaan akan mempunyai anak yang normal.
E. Hak-hak yang Dimiliki oleh Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus juga memiliki hak yang sama dengan anak normal lainnya untuk tumbuh kembang dengan sehat, bahagia dan mendapatkan pendidikan yang layak bagi mereka. Serta memiliki talenta yang baik guna meningkatkan prestasinya dan potensinya. Prestasi anak berkebutuhan khusus diantaranya dalam bidang olahraga, seni dan kebudayaan.
Beberapa landasan hukum yang melandasi perlunya pemenuhan hak-hak untuk anak berkebutuhan khusus:
1. UUD 1945 (AMANDEMEN)
a. Pasal 31
Ayat (1) Setiap warga ngara mendapat pendidikan
Ayat (2) Setiap warga negara wajib mengikuti dasar dan pemerintah wajib membiayainya
2. UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
a. Pasal 3 tentang tujuan Pendidikan Nasional
b. Pasal 5
Ayat (1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
Ayat (2) Warga negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus
Ayat (3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus
Ayat (4) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan keistimewaan berhak mendapatkan pendidikan khusus.
c. Pasal 32 tentang pendidikan dan pelayanan khusus
Ayat (1) Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karenakelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Ayat (2) Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi
3. UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
a. Pasal 48
Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak.
b. Pasal 49
Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.
c. Pasal 50
Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 48 diarahkan pada:
1) Pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi mereka yang optimal;
2) Pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan asasi;
3) Pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan nilai-nilainya sendiri, nilai-nilai nasional dimana anak bertempat tinggal, dari mana anak berasal, dan peradabanperadaban yang berbeda-beda dari peradaban sendiri;
4) Persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggungjawab;
5) Pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup.
d. Pasal 51
Anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.
e. Pasal 52
Anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan khusus.
f. Pasal 53
1) Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil;
2) Pertanggungjawaban pemerintah sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) termasuk pula mendorong masyarakat untuk berperan aktif;
3) UU No. 4 1997 tentang Penyandang Cacat;
4) Deklarasi Bandung (Nasional) “Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif tahun 2004.
F. Pengertian Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Layanan pendidikan merupakan satu kajian penting untuk memenuhi kebutuhan anak-anak berkebutuhan khusus (ABK), yang memiliki keunikan tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya, dan membedakan mereka dari anak-anak normal pada umumnya. Keadaan inilah yang menuntut adanya penyesuaian dalam pemberian layanan pendidikan yang dibutuhkan. Keragaman yang terjadi, memang terkadang menyulitkan guru dalam upaya pemberian layanan pendidikan yang sesuai. Namun apabila guru telah memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai cara memberikan layanan yang baik, maka akan dapat dilakukan secara optimal.
Dalam beberapa terminologi, Istilah layanan diartikan sebagai (1) cara melayani; (2) usaha melayani kebutuhan orang lain dengan memperoleh imbalan (uang); (3) kemudahan yang diberikan sehubungan dengan jual beli jasa atau barang.
G. Model, Konsep Pelayanan, Bentuk Pelayanan dan Pendidikan untuk Tuna Grahita
1. Model Pelayanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus untuk Tuna Grahita
ABK memiliki tingkat kekhususan yang amat beragam, baik dari segi jenis, sifat, kondisi maupun kebutuhannya. Oleh karena itu layanan pendidikannnya tidak dapat dibuat tunggal atau seragam melainkan menyesuaikan diri dengan tingkat keberagaman karakteristik dan kebutuhan anak. Dengan beragamnya model layanan pendidikan tersebut, dapat lebih memudahkan anak-anak ABK dan orangtuanya untuk memilih layanan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya. Ada beberapa model layanan pendidikan bagi ABK yang ditawarkan mulai dari yang model klasik sampai yang modern atau terkini.
Pelayanan pendidikan bagi anak tunagrahita atau retadasi mental dapat diberikan pada:
a. Kelas Transisi
Kelas ini diperuntukkan bagi anak yang memerlukan layanan khusus termasuk anak tunagrahita. Kelas tansisi sedapat mungkin berada disekolah reguler, sehingga pada saat tertentu anak dapat bersosialisasi dengan anak lain. Kelas transisi merupakan kelas persiapan dan pengenalan pengajaran dengan acuan kurikulum SD dengan modifikasi sesuai kebutuhan anak.
b. Sekolah Khusus
Layanan pendidikan untuk anak tunagrahita model ini diberikan pada Sekolah Luar Biasa. Dalam satu kelas maksimal 10 anak dengan pembimbing/pengajar guru khusus dan teman sekelas yang dianggap sama keampuannya (tunagrahita). Kegiatan belajar mengajar sepanjang hari penuh di kelas khusus. Untuk anak tunagrahita ringan dapat bersekolah di SLB-C, sedangkan anak tunagrahita sedang dapat bersekolah di SLB-C1.
c. Pendidikan Terpadu
Layanan pendidikan pada model ini diselenggarakan di sekolah reguler. Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak reguler di kelas yang sama dengan bimbingan guru reguler. Untuk matapelajaran tertentu, jika anak mempunyai kesulitan, anak tunagrahita akan mendapat bimbingan/remedial dari Guru Pembimbing Khusus (GPK) dari SLB terdekat, pada ruang khusus atau ruang sumber. Biasanya anak yang belajar di sekolah terpadu adalah anak yang tergolong tunagrahita ringan, yang termasuk kedalam kategori borderline yang biasanya mempunyai kesulitan-kesulitan dalam belajar (Learning Difficulties) atau disebut dengan lamban belajar (Slow Learner).
d. Program Sekolah di Rumah (Home Shcooling)
Progam ini diperuntukkan bagi anak tunagrahita yang tidak mampu mengkuti pendidikan di sekolah khusus karena keterbatasannya, misalnya sakit. Program dilaksanakan di rumah dengan cara mendatangkan guru PLB (GPK) atau terapis. Hal ini dilaksanakan atas kerjasama antara orangtua, sekolah, dan masyarakat.
e. Pendidikan Inklusif
Sejalan dengan perkembangan layaan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, terdapat kecenderungan baru yaitu model Pendidikan Inklusi. Model ini menekankan pada keterpaduan penuh, menghilangkan labelisasi anak dengan prinsip “Education for All”. Layanan pendidikan inklusi diselenggarakan pada sekolah reguler. Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak reguler, pada kelas dan guru/pembimbing yang sama. Pada kelas inklusi, siswa dibimbing oleh 2 (dua) oarang guru, satu guru reguler dan satu lagu guru khusus. Guna guru khusus untuk memberikan bantuan kepada siswa tunagrahita jika anak tersebut mempunyai kesulitan di dalam kelas. Semua anak diberlakukan dan mempunyai hak serta kewajiban yang sama. Tapi saat ini pelayanan pendidikan inklusi masih dalam tahap rintisan.
f. Panti Rehabilitasi
Panti ini diperuntukkan bagi anak tunagrahita pada tingkat berat, yang mempunyai kemampuan pada tingkat sangat rendah, dan pada umumnya memiliki kelainan ganda seperti penglihatan, pendengaran, atau motorik. Program di panti lebih terfokus pada perawatan. Pengembangan dalam pati ini terbatas dalam hal :
1) Pengenalan diri
2) Sensori motor dan persepsi
3) Motorik kasar dan ambulasi (pindah dari satu tempat ke tempat lain)
4) Kemampuan berbahasa dan komunikasi
5) Bina diri dan kemampuan sosial.
2. Bentuk-bentuk Pelayanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus untuk Tuna Grahita
Bentuk layanan pendidikan terpadu atau integrasi adalah sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak biasa (normal) di sekolah umum. Dengan demikian, melalui sistem integrasi anak berkebutuhan khusus bersama-sama dengan anak normal belajar dalam satu atap. Sistem pendidikan integrasi disebut juga sistem pendidikan terpadu, yaitu sistem pendidikan yang membawa anak berkebutuhan khusus kepada suasana keterpaduan dengan anak normal. Keterpaduan tersebut dapat bersifat menyeluruh, sebagian, atau keterpaduan dalam rangka sosialisasi.
Ada tiga bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus menurut Depdiknas (1986). Ketiga bentuk tersebut adalah:
a. Bentuk Kelas Biasa
Dalam bentuk keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus belajar di kelas biasa secara penuh dengan menggunakan kurikulum biasa. Oleh karena itu sangat diharapkan adanya pelayanan dan bantuan guru kelas atau guru bidang studi semaksimal mungkin dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk khusus dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar di kelas biasa. Bentuk keterpaduan ini sering juga disebut keterpaduan penuh. Dalam keterpaduan ini guru pembimbing khusus hanya berfungsi sebagai konsultan bagi kepala sekolah, guru kelas/guru bidang studi, atau orangtua anak berkebutuhan khusus. Seagai konsultasn, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai penasehat mengenai kurikulum, maupun permasalahan dalam mengajar anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu perlu disediakan ruang konsultasi untuk guru pembimbing khusus. Pendekatan, metode, cara penilaian yang digunakan pada kelas biasa ini tidak berbeda dengan yang digunakan pada sekolah umum.
b. Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus
Pada keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus belajar di kelas biasa dengan menggunakan kurikulum biasa serta mengikuti pelayanan khusus untuk mata pelajaran tertentu yang tidak dapat diikuti oleh anak berkebutuhan khusus bersama dengan anak normal. Pelayanan khusus tersebut diberikan di ruang bimbingan khusus oleh guru pembimbing khusus (GPK), dengan menggunakan pendekatan individu dan metode peragaan yang sesuai. Untuk keperluan tersebut, di ruang bimbingan khusus dilengkapi dengan peralatan khusus untuk memberikan latihan dan bimbingan khusus.
c. Bentuk Kelas Khusus
Dalam keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus mengikuti pendidikan sama dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus pada sekolah umum yang melaksanakan program pendidikan terpadu. Keterpaduan ini disebut juga keterpaduan lokal atau bangunan atau keterpaduan yang bersifat sosialisasi. Pada tingkat keterpaduan ini, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai pelaksana program di kelas khusus. Pendekatan, metode, dan cara penilaian yang digunakan adalah pendekatan, metode, dan cara penilaian yang biasa digunakan di SLB. Keterpaduan pada tingkat ini hanya bersifat fisik dan sosial, artinya anak berkebutuhan khusus dapat dipadukan untuk kegiatan yang bersifat non akademik, seperti olahraga, keterampilan, juga sosialisasi pada waktu jam-jam istirahat atau acara lain yang diadakan oleh sekolah.
3. Layanan Pendidikan Inklusi (Inklusive Education)
Kata inklusi bermakna terbuka, lawan dari eksklusi yang bermakna tertutup. Pendidikan Inklusi berarti pendidikan yang bersifat terbuka bagi siapa saja yang mau masuk sekolah baik dari kalangan anak normal maupun ABK. Demikian pula lingkungan pendidikan, termasuk ruangan kelas, toilet, halaman bermain, laboratorium, dan lain-lain harus dimodifikasi dan dapat diakses oleh semua anak, termasuk anak-anak berkebutuhan khusus. Pelaksanaan pendidikan inklusi dilatarbelakangi oleh filsafat mainstreaming yang menyatakan bahwa dunia yang normal harus berisi manusia normal dan yang tidak normal. Demikian pula komunitas sekolah yang normal harus ada kebersamaan antara anak normal dan anak yang tidak normal, baik pada saat menerima pelajaran dalam kelas maupun pada saat bersosialisasi di luar kelas. Penyelenggaraan pendidikan inklusi tentu saja memerlukan perencanaan yang matang, sehingga dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan efek yang kurang menguntungkan.
Kebaikan atau kelebihan model ini adalah:
a. Anak akan memperoleh keadilan layanan pendidikan, tidak dibedakan dari anak normal sehingga secara tidak langsung dapat membangkitkan motivasi dan gairah belajar di sekolah;
b. Anak dapat berpartisipasi dalam kehidupan di sekolah tanpa memandang kekurangan yang disandang;
c. Anak merasakan perlakuan dan persamaan hak, harkat dan martabat dalam memperoleh layanan pendidikan tanpa membedakan antara yang cacat dan yang normal; dan
d. Anak dapat bergaul dan berinteraksi secara sehat dengan teman-temannya yang normal, sehingga meningkatkan rasa percaya diri dan motivasi berprestasi dalam belajar.
Kekurangan dan kelemahannya model ini adalah untuk dapat disebut sebagai sekolah inklusi dibutuhkan sarana dan prasarana yang dapat mengakses kebutuhan individual anak yang tidak gampang dipenuhi oleh sekolah yang telah menyatakan diri sebagai sekolah inklusi. Untuk dapat disebut sebagai sekolah inklusi yang sebenarnya juga dibutuhkan tenaga pendidik dan tenaga non pendidik (seperti dokter, psikolog, konselor, dan sebagainya) yang tidak serta-merta dapat dipenuhi oleh sekolah yang memproklamirkan diri sebagai sekolah inklusi. Meskipun disebut sebagai sekolah Inklusi yang secara teoritis bisa menerima semua anak tanpa memandang normal atau tidak normal, namun dalam praktik di lapangan sekolah inklusi biasanya hanya menerima anak cacat yang berkategori ringan, bukan yang berkategori sedang atau berat.
4. Konsep Pelayanan Pendidikan Anak Tuna Grahita
Dalam memberikan pelayanan kepada anak berkebutuhan khusus (ABK) kita harus membuat sebuah konsep tersendiri. Konsep itu antara lain mencakup:
a. Kebutuhan belajar
1) Pengembangan Kemampuan Kognitif
ABK terbelakang mental umumnya memiliki keterlambatan dalam aspek kognitif. Untuk itu, pengembangan kognitif ABK perlu dipertimbangkan (1) the pace of learning, dalam belajar memerlukan waktu lebih banyak dalam mempelajari materi tertentu, (2) levels of learning, ABK terbelakang mental tidak memahami beberapa mata pelajaran sehingga mereka memerlukan dorongan untuk dapat memahami materi tertentu sesuai dengan tingkat kemampuannya, dan (3) levels of comprehention, ABK terbelakang mental mengalami kesulitan dalam mempelajari materi yang bersifat abstrak. Penggunaan media konkrit dalam pembelajaran sangat dibutuhkan oleh anak agar memperoleh pemahaman yang kuat dan tidak verbalistik.
2) Pengembangan Kemampuan Berbahasa
Keterlambatan berbahasa (delayed language) merupakan salah satu ciri anak terbelakang mental. Agar perolehan bahasa anak menjadi lebih memadai diperlukan usaha-usaha bimbingan berbahasa.
Dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa jika anak-anak mendapatkan bimbingan berbahasa secara tepat, maka anak-anak terbelakang mental mampu menyusun ceritera yang menunjukkan suatu tingkatan kreativitas dan kepekaan yang nyata ( Warren, 1999).
Adalah tugas guru-guru di sekolah untuk dapat memberikan pembinaan agar anak memiliki kemampuan berbahasa yang memadai yang dapat dijadikan sebagai bekal dan sarana memahami dunia sekitarnya.
3) Pengembangan Kemampuan Sosial
Masalah utama yang dialami anak penyandang terbelakang mental adalah tiadanya kemampuan sosial (Social disability). Hambatan ini akan berakibat pada ketidakmampuan anak dalam memahami kode atau aturan-aturan sosial di sekolah, di keluarga maupun di masyarakat.
Dalam upaya pengembangan kemampuan sosial diperlukan beberapa kebutuhan anak terbelakang mental yang meliputi: (1) kebutuhan untuk merasa menjadi bagian dari yang lain, (2) kebutuhan untuk menemukan perlindungan dari sikap dan label yang negative, (3) kebutuhan akan dukungan dan kenyamanan sosial, dan (4) kebutuhan untuk menghilangkan kebosanan dan menemukan stimulasi sosial (Turner,1983).
Kebutuhan sosial ini mengarah langsung pada pentingnya daya dorong interaksi sosial yang positif antara siswa dan siswi terbelakang mental dengan teman-teman lainnya di sekolah. Untuk mendukung suasana demikian diperlukan lingkungan inklusif bagi anak-anak terbelakang mental.
b. Strategi Pendampingan Belajar
1) Program Pendidikan Individu (Individualized Education Program/IEP)
IEP merupakan program pendidikan yang memberi kesempatan kepada anak terbelakang mental untuk maju berkelanjutan di bidang akademik sesuai dengan kapasitas kemampuannya. Anak terbelakang mental yang dididik bersama-sama dalam dengan anak normal dengan tingkatan materi yang berbeda.Misalnya, dalam matematika kelas 1 SD, untuk anak normal materinya sudah mencapai penjumlahan bilangan 20 sampai 50, anak terbelakang mental materinya baru mencapai bilangan 5 sampai 10. Dengan demikian, dalam mencapai target akademik anak tidak dipaksa sama dengan anak normal. Strategi pembelajarannya bisa dengan menggunakan model tutor sebaya atau dengan model guru pembimbing khusus yang berkolaborasi dengan guru regular.Anak-anak normal tidak merasa dirugikan karena dapat mengikuti materisesuai dengan waktu yang ditetapkan, sedangkan ABK terbelakang mental dapat dilayani sesuai dengan karakteristik dankebutuhannya.
2) Guru yang Mendidik
Di sekolah inklusi dikenal dengan istilah “guru yang mendidik” yakni guru yang mampu menerapkan pembelajaran yang tidak mementingkan mata pelajaran apa yang diajarkan atau di kelas berapa dia mengajar. Dengan demikian guru yang mendidik adalah guru yang dapat bertindak sebagai guru kelas profesional yang berhadapan dengan semua mata pelajaran dan dapat melayani dan membelajarkan semua siswa tanpa terkecuali. Guru yang mendidik juga ditandai dengan sikap profesional yang selalu belajar dan mempelajari berbagai informasi dasar yang berkaitan dengan hambatan/kelaianan anak dan yang mampu memberikan pengajaran mendidik yang disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan anak.
Wong, Kauffman dan Lloyd (1991) memberikan gambaran tentang guru yang mendidik bagi siswa dan siswi penyandang tunagrahita di sekolah regular/inklusi, diantaranya adalah: (1) mempunyai harapan bahwa siswa dan siswi akan berhasil, (2) fleksibel dalam menangani siswa, (3) mempunyai komitmen dalam memperlakukan tiap anak secara terbuka, (4) melakukan pendekatan tersusun dengan baik dalam pengajaran, (5) bersikap hangat, sabar, humoris kepada siswa, (6) bersikap terbuka dan positif terhadap perbedaan dan kelainan anak, (7) mempunyai kemamuan bekerjasama dengan guru pendidikan khusus dan bersifat responsive membantu orang lain, (8) mampu memberikan penjelasan yang dapat diterima oleh semuia anak dengan menggunakan penalaran logis, (9) mempunyai sikap percaya diri dan kompetensi sebagai seorang guru, dan (10) mampunyai rasa keterlibatan profesional serta pemuasan profesional.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa pelayanan pendidikan baik akademik maupun perilaku sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup penyandang tunagrahita.
Layanan pendidikan merupakan satu kajian penting untuk memenuhi kebutuhan anak-anak berkebutuhan khusus (ABK), yang memiliki keunikan tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya, dan membedakan mereka dari anak-anak normal pada umumnya. Keadaan inilah yang menuntut adanya penyesuaian dalam pemberian layanan pendidikan yang dibutuhkan. Keragaman yang terjadi, memang terkadang menyulitkan guru dalam upaya pemberian layanan pendidikan yang sesuai. Namun apabila guru telah memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai cara memberikan layanan yang baik, maka akan dapat dilakukan secara optimal.
Beberapa upaya pelayanan yang dilakukan pada umumnya seperti :
1. Kelas transisi
2. Pembelajaran terpadu
3. Home Schooling
4. Sekolah inklusi
5. Rumah rehabilitasi, dsb.
Dengan upaya pelayanan diatas diharapkan penyandang tunagrahita mampu belajar secar optimal, mampu hidup mandiri dan sangat penting bagi mereka untuk beradaptasi di lingkungan sekitarnya.
B. Saran-saran
Sejalan dengan simpulan di atas, penulis merumuskan saran sebagai berikut:
1. Sekolah-sekolah umum harus siap menerima penyandang tunagrahita dengan sistem sekolah inklusif di dalamnya;
2. Setiap guru harus memiliki bekal menangani anak-anak yang berkebutuhan khusus;
3. Setiap guru berpartisipasi aktif dalam menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus seperti tuna grahita sehingga bukan hanya guru dari PLB atau Pendidikan Luar Biasa;
4. Pemerintah melalui Departemen Pendidikan harus membekali para guru seperti pelatihan khusus agar dapat mengoptimalkan pengalaman mengajarkan kepada anakpanak berkebebutuhan khusus.
5. Orang tua penyandang tunagrahita atau ABK memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap pendidikan;
6. Sekolah harus bekerja sama dengan orang tua penyandang tunagrahita agar adanya koordinasi dan komunikasi yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Abudin, PGSD. 2010. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Blogspot; [tersedia] http://abudinpgsd.wordpress.com/2011/02/19/pendidikan-anak-berkebutuhan-khusus/
Annesblog. 2010. Penyebab Tunagrahita. Blogspot. [tersedia] http://annesdecha.blogspot.com/2010/03/penyebab-tunagrahita.html.
Asih Mulya, Lara. 2012. Tunagrahita. Website; [tersedia] http://tunagrahita.com/
http://prestasikita.com/index.php?option=com_content&task=view&id=32&Itemid=2
Prestasikita.2008. Mengenal Autis dan Tunagrahita.Website; [tersedia] http://pabk-
Setiawan, Agus. 2010. Hak yang Dimiliki Anak Berkebutuhan Khusus Blogspot; [tersedia] http://donaagussetiawan.blogspot.com/2011/09/hak-yang-dimiliki-anak-berkebutuhan.html
Sumarno, Alim. 2012. Karakteristik Anak Tunagrahita. Blog;[tersedia] http://blog.elearning.unesa.ac.id/alim-sumarno/karakteristik-anak-tunagrahita
Wikipedia. 2012. Tunagrahita. Website; [tersedia] http://id.wikipedia.org/wiki/Tunagrahita
PENGERTIAN TUNADAKSA
Anak tunadaksa sering disebut dengan istilah anak cacat tubuh, cacat fisik, dan cacat ortopedi. Istilah tunadaksa berasal dari kata “tuna yang berarti rugi atau kurang dan daksa yang berarti tubuh“. Tunadaksa adalah anak yang memiliki anggota tubuh tidak sempurna, sedangkan istilah cacat tubuh dan cacat fisik dimaksudkan untuk menyebut anak cacat pada anggota tubuhnya, bukan cacat indranya. Selanjutnya istilah cacat ortopedi terjemahan dari bahasa Inggris orthopedically handicapped. Orthopedic mempunyai arti yang berhubungan dengan otot, tulang, dan persendian. Dengan demikian, cacat ortopedi kelainannya terletak pada aspek otot, tulang dan persendian atau dapat juga merupakan akibat adanya kelainan yang terletak pada pusat pengatur sistem otot, tulang dan persendian.
Anak tunadaksa dapat didefinisikan sebagai penyandang bentuk kelainan atau kecacatan pada sistem otot, tulang dan persendian yang dapat mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan perkembangan keutuhan pribadi.
Salah satu definisi mengenai anak tunadaksa menyatakan bahwa anak tunadaksa adalah anak penyandang cacat jasmani yang terlihat pada kelainan bentuk tulang, otot, sendi maupun saraf-sarafnya. Istilah tunadaksa maksudnya sama dengan istilah yang berkembang, seperti cacat tubuh, tuna tubuh, tuna raga, cacat anggota badan, cacat orthopedic, crippled, dan orthopedically handicapped (Depdikbud, 1986:6).
Selanjutnya, Samuel A Kirk (1986) yang dialihbahasakan oleh Moh. Amin dan Ina Yusuf Kusumah (1991: 3) mengemukakan bahwa seseorang dikatakan anak tunadaksa jika kondisi fisik atau kesehatan mengganggu kemampuan anak untuk berperan aktif dalam kegiatan sehari-hari, sekolah atau rumah.
Sebagai contoh, anak yang mempunyai lengan palsu tetapi ia dapat mengikuti kegiatan sekolah, seperti Pendidikan Jasmani atau ada anak yang minum obat untuk mengendalikan gangguan kesehatannya maka anak-anak jenis itu tidak termasuk penyandang gangguan fisik. Tetapi jika kondisi fisik tidak mampu memegang pena, atau anak sakit-sakitan (mengidap penyakit kronis) sering kambuh sehingga ia tidak dapat bersekolah secara rutin maka anak itu termasuk penyandang gangguan fisik (tunadaksa).
A. Faktor penyebab kelainan Tunadaksa
Ada beberapa macam sebab yang dapat menimbulkan kerusakan pada anak hingga menjadi tunadaksa. Kerusakan tersebuta da yang terletak di jaringan otak, jaringan sumsum tulang belakang, pada sistem musculus skeletal. Adanya keragaman jenis tunadaksa dan masing-masing kerusakan timbulnya berbeda-beda. Dilihat dari saat terjadinya kerusakan otak dapat terjadi pada masa sebelum lahir, saat lahir, dan sesudah lahir.
1. Sebab-sebab SebelumLahir (Fase Prenatal)
Padafase, kerusakan terjadi pada saat bayi masih dalam kandungan, kerusakan di sebabkan oleh:
a. Infeksi atau penyakit yang menyerang ketika ibu mengandung sehingga menyerang otak bayi yang sedang dikandungnya, misalnya infeksi, sypilis, rubela, dan typhus abdominolis.
b. Kelainan kandungan yang menyebabkan peredaran terganggu, tali pusat tertekan, sehingga merusak pembentukan syaraf-syaraf di dalam otak.
c. Bayi dalam kandungan terkena radiasi. Radiasi langsung mempengaruhi sistem syarat pusat sehingga struktur maupun fungsinya terganggu.
d. Ibu yang sedang mengandung mengalami trauma (kecelakaan) yang dapat mengakibatkan terganggunya pembentukan sistem syaraf pusat. Misalnya ibu jatuh dan perutnya membentur yang cukup keras dan secara kebetulan mengganggu kepala bayi maka dapat merusak sistem syaraf pusat.
2. Sebab-sebab pada saat kelahiran (fase natal, peri natal)
Hal-hal yang dapat menimbulkan kerusakan otak bayi pada saat bayi dilahirkan antara lain:
a. Proses kelahiran yang terlalu lama karena tulang pinggang ibu kecil sehingga bayi mengalami kekurangan oksigen, kekurangan oksigen menyebabkan terganggunya sistem metabolism dalam otak bayi, akibatnya jaringan syaraf pusat mengalami kerusakan.
b. Pemakaian alat bantu berupa tang ketika proses kelahiran yang mengalami kesulitan sehingga dapat merusak jaringan syaraf otak pada bayi.
c. Pemakaian anestasi yang melebihi ketentuan. Ibu yang melahirkan karena operasi dan menggunakan anestesi yang melebihi dosis dapat mempengaruhi sistem syaraf otak bayi, sehingga otak mengalami kelainan struktur ataupun fungsinya.
3. Sebab-sebab setelah Proses kelahiran (fase post natal)
Fase setelah kelahiran adalah masa mulai bayi dilahirkan sampai masa perkembangan otak dianggap selesai, yaitu pada usia 5 tahun. Hal-hal yang dapat menyebabkan kecacatan setelah bayi lahir adalah:
a. Kecelakaan/trauma kepala, amputasi.
b. Infeksi penyakit yang menyerang otak.
c. Anoxia/hipoxia.
B. Dampak Terjadinya Kelainan
a. Kesulitan Aktivitas Motorik.
Ada tiga kelainan aktivitas motorik yang biasa dialami oleh anak cerebral palsy :
1) Hiperaktif.
Secara umum anak hiperaktif dikatakan sebagai anak yang tidak kenal diam. Tertarik oelh setiap rangsangan yang ia terima dan perhatiannya sangat mudah beralih dari satuobyek ke obyek yang lain.
Gejala hiperaktif antara lain : gelisah yang tiada henti, kurang perhatian, tidak dapat duduk tenang walau sebentar.
2) Hipoaktif.
Pada anak ini terlihat gejala diam, gerakan lamban dan sangat kurang, tidak dapatmenanggapi rangsangan yan diberikan. Keadaan ini merupakan kebalikan dari anak heperaktif.
3) Gangguan koordinasi motorik.
Ciri gangguan koordinasi gerak adalah ketidakselarasan gerak, baik gerak atas motorik halus (fine motor) maupun gerak kasar ( gross motor).
b. Kesulitan dalam Penyesuaian Diri.
Anak selebral palsy mengalami kesulitan dalam menyesuaikan dengan lingkungannya. Hal ini sebagai akibat dari keterbatasan dan kesulitan gerak fisik. Sempitnya ruang lingkup gerak anak membatasi aktivitas sosialnya. Kesulitan dalam penyesuaian diri dapat disebabkan oleh dua hal terutama oleh keadaan anak cerebral palsy sendiri yang segalanya serba terbatas. Kedua disebabkan oleh respon masyarakat atau lingkungan yang tidak menerima sebabagaimana mestinya.Kesulitan dalam penyesuaian diri berakibat pula pada perkembangan kepribadian, sering memiliki rasa rendah diri, malu, mudah tersinggung dan cepat curiga.
C. Hak – hak yang dimiliki oleh Anak Tunadaksa
Undang-undang Indonesia No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat menjelaskan bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/ atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari (a) penyandang cacat fisik; (b) penyandang cacat mental; dan (c) penyandang cacat fisik dan mental.
Undang-undang No. 4 tahun 1997 menegaskan bahwa penyandang cacat merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama. Mereka juga mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Pada pasal 6 dijelaskan bahwa setiap penyandang cacat berhak memperoleh : (1) pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan; (2) pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai jenis dan derajat kecacatan , pendidikan, dan kemampuannya; (3) perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya; (4) aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya; (5) rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; dan (6) hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
Pemaknaan ‘aksesibilitas’ dalam UU No. 4 tahun 1997 adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
Mereka juga berhak mendapatkan pelayanan medis, psikologis dan fungsional, rehabilitasi medis dan social, pendidikan, pelatihan ketrampilan, konsultasi, penempatan kerja, dan semua jenis pelayanan yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan kapasitas dan ketrampilannya secara maksimal sehingga dapat mempercepat proses reintegrasi dan integrasi social mereka.
D. Klasifikasi Anak Tunadaksa
Agar lebih mudah memberikan layanan terhadap anak tunadaksa, perlu adanya sistem penggolongan (klasifikasi). Penggolongan anak tunadaksa bermacam-macam. Salah satu diantaranya dilihat dari sistem kelainannya yang terdiri dari:
1. kelainan pada sistem cerebral (cerebral system)
Penyandang kelainan pada sistem cerebral, kelainannya terletak pada sistem saraf pusat, seperti cerebral palsy (CP) atau kelumpuhan otak. Cerebral palsy ditandai oleh adanya kelainan gerak, sikap atau bentuk tubuh, gangguan koordinasi, kadang-kadang disertai gangguan psikologis dan sensoris yang disebabkan oleh adanya kerusakan atau kecacatan pada masa perkembangan otak.
Soeharso (1982) mendefinisikan cacat cerebral palsy sebagai suatu cacat yang terdapat pada fungsi otot dan urat saraf dan penyebabnya terletak dalam otak. Kadang-kadang juga terdapat gangguan pada pancaindra, ingatan, dan psikologis (perasaan).
Menurut derajat kecacatannya, cerebral palsy diklasifikasikan menjadi:
1. Ringan: Ciri-cirinya, yaitu dapat berjalan tanpa alat bantu, bicara jelas, dan dapat menolong diri.
2. Sedang: Ciri-cirinya yaitu membutuhkan bantuan untuk latihan berbicara, berjalan, mengurus diri, dan alat-alat khusus, seperti brace
3. Berat: Ciri-cirinya yaitu membutuhkan perawatan tetap dalam ambulasi, bicara, dan menolong diri.
2. kelainan pada sistem otot dan rangka (musculoskeletal system)
Kelainan yang terjadi akibat adanya masalah pada kerangka atau otot. Berikut adalah kelainan yang umum dari kasus tersebut;
• Deuchenne muscular dystrophy
Adalah kelainan genetik yang hanya terjadi pada laki-laki, terjadi apabila protein dystrophin tidak ada atau kurang secara signifikan. Gejala awalnya adalah perkembangannya terlambat dibandingkan dengan teman sebayanya, dan sering berpengaruh pada paru-paru dan jantung. Biasanya umurnya hanya bertahan hingga 10-20 tahun.
• Juvenile rheumatodoid arthitis
Arthitis adalah persendian yang mudah sakit, JSA biasanya terjadi pada anak dibawah usia enam belas tahun. Gejalanya adalah memerah, membengkak dan sakit pada persendian. Terkadang memiliki keterbatasan gerak dan rasa sakit pada mata.
Berikut identifikasi anak yang mengalami kelainan anggota tubuh tubuh/ gerak tubuh:
1. Anggota gerak tubuh kaku/lemah/lumpuh,
2. Kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna, tidak lentur/tidak terkendali),
3. Terdapat bagian anggota gerak yang tidak lengkap/tidak sempurna/lebih kecil dari biasa,
4. Terdapat cacat pada alat gerak,
5. Jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam,
6. Kesulitan pada saat berdiri/berjalan/duduk, dan menunjukkan sikap tubuh tidak normal,
7. Hiperaktif/tidak dapat tenang.
E. Karakteristik Anak Tunadaksa
Karakteristik anak tunadaksa ditinjau dari beberapa segi, antara lain :
a. Karakteristik Akademis
Karakteristik akademis anak tudanadaksa meliputi ciri khas kecerdasan, kemampuan kognisi, persepsi dan simblisasi mengalami kelainan karena terganggunya sisitem cerebral sehingga mengalami hambatan dalam belajar, dan mengurus diri. Anak tundaksa karena kelainan pada sistem otot dan rangka tidak terganggu sehingga dapat belajar, seperti anak normal.
b. Karakteristik sosial/emosional
Karakteristik sosial/emosional anak tunadaksa menunjukkan bahwa konsep diri dan respons serta sikap masyarakat yang negatif terhadap anak tunadaksa mengakibatkan anak tunadaksa merasa tidak mampu, tidak berguna dan menjadi rendah diri.
Akibatnya, kepercayan dirinya hilang dan akhirnya tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Mereka juga menunjukkan sikap mudah tersinggung, mudah marah, lekas putus asa, rendah diri, kurang dapat bergaul, malu dan suka menyendiri, serta frustasi berat.
c. Karakteristik Fisik
Karakteristik fisik/kesehatan anak tunadaksa biasanya selain mengalami cacat tubuh, juga mengalami gangguan lain, seperti sakit gigi, berkurangnya daya pendenganran, penglihatan, gangguan bicara, dan gangguan motorik.
F. Pengertian Layanan
Fred luthans dalam bukunya Moenir (1955;16) menjelaskan pelayanan adalah sebuah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain yang menyangkut segala usaha yang diperlukan orang lain dalam rangka mencapai tujuannya.
Maka dapat kita simpulkan pengertian layanan ABK khususnya tunadaksa adalah layanan yang dilakukan oleh individu lain baik perseorangan maupun pemerintah dalam memenuhi kebutuhan yang menunjang aktivitas penyandang tunadaksa.
Layanan Anak TunadaksaØ
Layanan pendidikan yang spesifik bagi anak tunadaksa adalah pada bina gerak. Untuk memberikan layanan bina gerak yang tepat diperlukan dukungan terapi, khususnya fisioterapi untuk memulihkan kondisi otot dan tulang anak agar tidak semakin menurun kemampuannnya. Selain itu dukungan untuk bina diri diperlukan terapi okupasi dan bermain. Menurut Frieda Mangunsong, dkk (1998) layanan pendidikan bagi anak tunadaksa perlu memperhatikan tiga hal, yaitu :
a. Pendekatan multidisipliner dalam program rehabilitasi anak tunadaksa
Pendekatan multidisipliner merupakan layanan pendidikan yang melibatkan berbagai ahli terkait secara terpadu dalam rangka mengoptimalkan memampuan yang dimiliki oleh anak. Beberapa ahli terkait memberikan layanan rehabilitasi adalah ahli medis (dokter), dokter tulang, dokter syaraf, ahli pendidikan, psikolog, pekerja sosial, konselor, ahli fisioterapi, ahli terapi okupasi, ahli pendidikan khusus. Dalam program rehabilitasi dikenal empat stadium, yaitu pertama, stadium akut antara 0 – 6 sejak menderita. Pada stadium ini merupakan stadium “survival”, berjuang untuk bertahan hidup. Kedua, stadium sub acut: 6 – 12 minggu, merupakan stadium perawatan rutin, pemberian fisioterapi dan terapi okupasi agar perkembangan otot dapat pulih dan tumbuh walaupun minimal. Ketiga, stadium mandiri; pada stadium ini anak lebih diarahkan untuk memperoleh keterampilan kerja untuk kehidupan mendatang. Keempat, stadium “after care”; pada stadium ini anak dipersiapkan kembali ke rumah atau ke sekolah untuk mengikuti program pendidikan selanjutnya.
b. Program pendidikan sekolah
Program pendidikan sekolah bagai mereka yang tidak mengalami kelainan mental relatif sama dengan anak normal, hanya bina gerak masih terus dikembangkan melalui fisioterapi dan terapi okupasi, utamanya untuk perbaikan motoriknya. Orientasi pembelajaran juga lebih bersifat individu, walaupun dapat juga secara klasikal. Bagi anak cerebral palcy, binagerak masih terus diupayakan agar anak memperoleh perkembangan yang optimal.
c. Layanan bimbingan dan konseling
Layanan bimbingan dan konseling diarahkan untuk mengembangkan “self-respect” (menghargai diri sendiri).
Sunarya Kartadinata, (1998/1999) menyatakan bahwa anak tunadaksa perlu mengembangkan self-respect, yaitu menghargai diri sendiri dengan cara menerima diri sesuai dengan apa adanya, sehingga anak merasa bahwa dirinya adalah sebagai seorang pribadi yang berharga.
Model Layanan Anak TunadaksaØ
Sistem layanan pendidikan segregasi adalah sistem pendidikan yang terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Pendidikan anak berkebutuhan khusus melalui sistem segregasi maksudnya adalah penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan secara khusus, dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak normal. Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus diberikan layanan pendidikan pada lembaga pendidikan khusus untuk anak berkebutuhan khusus, seperti Sekolah Luar Biasa atau Sekolah Dasar Luar Biasa, Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, Sekolah Menangah Atas Luar Biasa.
Sistem pendidikan segregasi merupakan sistem pendidikan yang paling tua. Pada awal pelaksanaan, sistem ini diselenggarakan karena adanya kekhawatiran atau keraguan terhadap kemampuan anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama dengan anak normal. Selain itu, adanya kelainan fungsi tertentu pada anak berkebutuhan khusus memerlukan layanan pendidikan dengan menggunakan metode yang sesuai dengan kebutuhan khusus mereka. Misalnya, untuk anak tunanetra, mereka memerlukan layanan khusus berupa braille, orientasi mobilitas. Anak tunarungu memerlukan komunikasi total, bina persepsi bunyi; anak tunadaksa memerlukan layanan mobilisasi dan aksesibilitas, dan layanan terapi untuk mendukung fungsi fisiknya.
Ada empat bentuk penyelenggaraan pendidikan dengan sistem segregasi, yaitu:
1) Sekolah Luar Biasa (SLB)
Bentuk Sekolah Luar Biasa merupakan bentuk sekolah yang paling tua. Bentuk SLB merupakan bentuk unit pendidikan. Artinya, penyelenggaraan sekolah mulai dari tingkat persiapan sampai dengan tingkat lanjutan diselenggarakan dalam satu unit sekolah dengan satu kepala sekolah. Pada awalnya penyelenggaraan sekolah dalam bentuk unit ini berkembang sesuai dengan kelainan yang ada (satu kelainan saja), sehingga ada SLB untuk tunanetra (SLB-A), SLB untuk tunarungu (SLB-B), SLB untuk tunagrahita (SLB-C), SLB untuk tunadaksa (SLB-D), dan SLB untuk tunalaras (SLB-E). Di setiap SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut. Sistem pengajarannya lebih mengarah ke sistem individualisasi.
Selain, ada SLB yang hanya mendidik satu kelainan saja, ada pula SLB yang mendidik lebih dari satu kelainan, sehingga muncul SLB-BC yaitu SLB untuk anak tunarungu dan tunagrahita; SLB-ABCD, yaitu SLB untuk anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa. Hal ini terjadi karena jumlah anak yang ada di unit tersebut sedikit dan fasilitas sekolah terbatas.
2) Sekolah Luar Biasa Berasrama
Sekolah Luar Biasa Berasrama merupakan bentuk sekolah luar biasa yang dilengkapi dengan fasilitas asrama. Peserta didik SLB berasrama tinggal diasrama. Pengelolaan asrama menjadi satu kesatuan dengan pengelolaan sekolah, sehingga di SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut, serta unit asrama. Bentuk satuan pendidikannyapun juga sama dengan bentuk SLB.
Pada SLB berasrama, terdapat kesinambungan program pembelajaran antara yang ada di sekolah dengan di asrama, sehingga asrama merupakan tempat pembinaan setelah anak di sekolah.
3) Kelas jauh/Kelas Kunjung
Kelas jauh atau kelas kunjung adalah lembaga yang disediakan untuk memberi pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang tinggal jauh dari SLB atau SDLB. Pengelenggaraan kelasjauh/kelas kunjung merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka menuntaskan wajib belajar serta pemerataan kesempatan belajar.
Dalam penyelenggaraan kelas jauh/kelas kunjung menjadi tanggung jawab SLB terdekatnya. Tenaga guru yang bertugas di kelas tersebut berasal dari guru SLB-SLB di dekatnya. Mereka berfungsi sebagai guru kunjung (itenerant teacher).
4) Sekolah Dasar Luar Biasa
SDLB merupakan unit sekolah yang terdiri dari berbagai kelainan yang dididik dalam satu atap. Dalam SDLB terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa.
Tenaga kependidikan di SDLB terdiri dari kepala sekolah, guru untuk anak tunanetra, guru untuk anak tunarungu, guru untuk anak tunagrahita, guru untuk anak tunadaksa, guru agama, dan guru olahraga. Selain tenaga kependidikan, di SDLB dilengkapai dengan tenaga ahli yang berkaitan dengan kelainan mereka antara lain dokter umum, dokter spesialis, fisiotherapis, psikolog, speech therapist, audiolog. Selain itu ada tenaga administrasi dan penjaga sekolah.
Kurikulum yang digunakan di SDLB adalah kurikulum yang digunakan di SLB untuk tingkat dasar yang disesuikan dengan kekhususannya. Kegiatan belajar dilakukan secara individual, kelompok, dan klasikal sesuai dengan ketunaan masing-masing. Pendekatan yang dipakai juga lebih ke pendekatan individualisasi. Lama pendidikan di SDLB sama dengan lama pendidikan di SLB konvensional untuk tingkat dasar, yaitu anak tunanetra, tunagrahita, dan tunadaksa selama 6 tahun, dan untuk anak tunarungu 8 tahun.
Sejalan dengan perbaikan sistem perundangan di RI, yaitu UU RI No. 2 tahun 1989 dan PP No. 72 tahun 1991, dalam pasal 4 PP No. 72 tahun 1991 satuan pendidikan luar biasa terdiri dari:
a) Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) dengan lama pendidikan minimal 6 tahun
b) Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB) minimal 3 tahun
c) Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB) minimal 3 tahun.
Selain itu, pada pasal 6 PP No. 72 tahun 1991 juga dimungkinkan pengelenggaraan Taman Kanak-kanak Luar Biasa (TKLB) dengan lama pendidikan satu sampai tiga tahun.
G. Implementasi Pemberian Layanan Pendidikan Bagi Anak Tuna Daksa
a. Strategi Layanan
Strategi yang biasa diterapkan bagi anak tunadaksa yaitu melalui pengorganisasian tempat pendidikan, sebagai berikut:
1. Pendidikan integrasi (terpadu)
2. Pendidikan segresi (terpisah)
3. Penataan lingkungan belajar.
b. Metode Pelayanan
Metode yang biasa diterapkan bagi anak tunadaksa adalah bagaimana kita memiliki strategi yang paling efektif. Berikut adalah beberapa metode pelayanan dalam bidang pengajaran untuk anak tunadaksa
1. Communication
Kemampuan seseorang dalam menggunakan bahasa untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Proses ini dapat berupa keterampilan verbal, non verbal ataupun simbol.
2. Task analisis
Task analisis adalah prosedur dimana tugas-tugas dipecah kedalam rangkaian komponen langkah atau bagian kecil satu tujuan akhir, agar mampu mengenali apakah anak tunadaksa telah mampu mencapai tujuan yang diharapkan.
3. Direct instruction
Metode ini menggunakan pendekatan step by step yang terstruktur dan memberikan pengalaman belajar yang positif untuk meningkatkan kepercayaan diri dan memotivasi siswa untuk berkembang dan memberikan umpan balik untuk mengoreksi dan melatih keterampilan tersebut.
4. Prompt
Prompt adalah pemberian informasi tambahan atau bantuan untuk menjalankan intensitas. Jenis-jenis prompt adalah;
Verbal promptØ
Informasi verbal yang memberikan tambahan pada instruksi tugas dan bagaimana mengatasi suatu permasalahan yang dihadapi.
ModelingØ
Mendemonstrasikan anak bagaimana cara melakukan sesuatu.
Gestural promptØ
Bantuan dalam bentuk layanan dapat mencakup tangan, muka, atau gerakan tubuh lainnya untuk mengkomunikasikan informasi visual special specifik.
Phsycal promptØ
Phsycal prompt menggunakan kontak fisik, oleh karena itu metode ini seharusnya digunakan hanya bila prompt lain tidak memberikan informasi yang cukup jelas kepada anak.
Peer tutorialØ
Peer tutorial adalah dimana siswa yang mampu dipasangkan dengan siswa yang mengalami kesulitan. Siswa yang mampu dianggap sebagai tutor. Peeer tutorial merupakan strategi yang memberikan waktu akurat dengan keterlibatan siswa yang tinggi.
BAB III
KESIMPULAN
1. Kesimpulan
Setiap manusia di dunia ini memiliki hak-hak yang sama, tidak memandang perbedaan status sosial, perbedaan fisik dan lain sebagainya. Semua manusia berhak mendapatkan pendidikan yang sama baik yang normal maupun yang berkebutuhan khusus. Anak normal maupun yang berkebutuhan khusus sama-sama harus membangun potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
Dan tugas seorang guru untuk bagaimana membimbing mereka menggunakan strategi-strategi pembelajaran, model pembelajaran ,layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak didiknya untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan di sekolah sehingga kelak anak didiknya menjadi murid-murid berprestasi, berakhlak mulia dan berguna bagi bangsa dan negaranya.
DAFTAR PUSTAKA
Rahardja, Djadja. (2006). Pendidikan Luar Biasa Introduction to Special Education.
Setawan, Atang, dkk. (2006). Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus.
http://pabk-4you.blogspot.com/2011/08/2011/faktor-penyebab-terjadinya-tunadaksa.html
http://pabk-4you.blogspot.com/2011/09/bagaimana-model-layanan-pendidikan-bagi.html
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/194808011974032-ASTATI/Karakteristik_Pend_ATD-ATL.pdf
PENGETRIAN ANAK TUNALARAS
Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Definisi anak tunalaras atau emotionally handicapped atau behavioral disorder lebih terarah berdasarkan definisi dari Eli M Bower (1981) yang menyatakan bahwa anak dengan hambatan emosional atau kelainan perilaku, apabila menujukkan adanya satu atau lebih dari lima komponen berikut ini : tidak mampu belajar bukan disebabkan karena faktor intelektual; sensori atau kesehatan; tidak mampu untuk melakukan hubungan baik dengan teman-teman dan guru-guru; bertingkah laku atau berperasaan tidak pada tempatnya; secara umum mereka selalu dalam keadaan tidak gembira atau depresi; dan bertendensi ke arah simptom fisik seperti merasa sakit atau ketakutan yang berkaitan dengan orang atau permasalahan di sekolah (Delphie, 2006).
Individu tunalaras biasanya menunjukan perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku di sekitarnya. Tunalaras dapat disebabkan karena faktor internal dan faktor eksternal yaitu pengaruh dari lingkungan sekitar.
Tunalaras merupakan gangguan, hambatan, atau kelainan tingkah laku sehingga pelaku kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat (Mangunsong, 1998).
Anak tuna laras sering disebut juga dengan anak tuna sosial karena tingkah laku anak tuna laras menunjukkan penentangan yang terus-menerus terhadap norma-norma masyarakat yang berwujud seperti mencuri, mengganggu dan menyakiti orang lain (Somantri, 2006).
Di dalam dunia PLB dikenal dengan nama anak tunalaras (behavioral disorder). Kelainan tingkah laku ditetapkan bila mengandung unsur :
1. Tingkah laku anak menyimpang dari standar yang diterima umum.
2. Derajat penyimpangan tingkah laku dari standar umum sudah ekstrim.
3. Lamanya waktu pola tingkah laku itu dilakukan.
Definisi tunalaras juga beraneka ragam. Dalam UURI No. 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan luar biasa, dinyatakan bahwa tunalaras adalah gangguan atau kelainan tingkah laku sehingga kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
H. Karakteristik Anak Tunalaras
Penggolongan anak tunalaras secara umum dapat ditinjau dari segi gangguan atau hambatan dan kualifikasi berat ringannya kenakalan, dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Menurut jenis gangguan atau hambatan
a. Gangguan Emosi
Anak tunalaras yang mengalami hambatan atau gangguan emosi terwujud dalam tiga jenis perbuatan, yaitu: senang-sedih, lambat cepat marah, dan releks-tertekan. Secara umum emosinya menunjukkan sedih, cepat tersinggung atau marah, rasa tertekan dan merasa cemas. Gangguan atau hambatan terutama tertuju pada keadaan dalam dirinya. Macam-macam gejala hambatan emosi, yaitu:
• Gentar, yaitu suatu reaksi terhadap suatu ancaman yang tidak disadari, misalnya ketakutan yang kurang jelas obyeknya.
• Takut, yaitu rekasi kurang senang terhadap macam benda, mahluk, keadaan atau waktu tertentu. Pada umumnya anak merasa takut terhadap hantu, monyet, tengkorak, dan sebagainya.
• Gugup nervous, yaitu rasa cemas yang tampak dalam perbuatan-perbuatan aneh. Gerakan pada mulut seperti meyedot jari, gigit jari dan menjulurkan lidah. Gerakan aneh sekitar hidung, seperti mencukil hidung, mengusap-usap atau menghisutkan hidung. Gerakan sekitar jari seperti mencukil kuku, melilit-lilit tangan atau mengepalkan jari. Gerakan sekitar rambut seperti, mengusap-usap rambut, mencabuti atau mencakar rambut. Demikian pula gerakan-gerakan seperti menggosok-menggosok, mengedip-ngedip mata dan mengrinyitkan muka, dan sebagainya.
• Sikap iri hati yang selalu merasa kurang senang apabila orang lain memperoleh keuntungan dan kebahagiaan.
• Perusak, yaitu memperlakukan bedan-benda di sekitarnya menjadi hancur dan tidak berfungsi.
• Malu, yaitu sikap yang kurang matang dalam menghadapi tuntunan kehidupan. Mereka kurang berang menghadapi kenyataan pergaulan.
• Rendah diri, yaitu sering minder yang mengakibatkan tindakannya melanggar hukum karena perasaan tertekan.
b. Gangguan Sosial
Anak ini mengalami gangguan atau merasa kurang senang menghadapi pergaulan. Mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan hidup bergaul. Gejala-gejala perbuatan itu adalah seperti sikap bermusuhan, agresip, bercakap kasar, menyakiti hati orang lain, keras kepala, menentang menghina orang lain, berkelahi, merusak milik orang lain dan sebagainya. Perbuatan mereka terutama sangat mengganggu ketenteraman dan kebahagiaan orang lain. Beberapa data tentang anak tunalaras dengan gangguan sosial antara lain adalah:
• Mereka datang dari keluarga pecah (broken home) atau yang sering kena marah karena kurang diterima oleh keluarganya.
• Biasa dari kelas sosial rendah berdasarkan kelas-kelas sosial.
• Anak yang mengalami konflik kebudayaan yaitu, perbedaan pandangan hidup antara kehidupan sekolah dan kebiasaan pada keluarga.
• Anak berkecerdasan rendah atau yang kurang dapat mengikuti kemajuan pelajaran sekolah.
• Pengaruh dari kawan sekelompok yang tingkah lakunya tercela dalam masyarakat.
• Dari keluarga miskin.
• Dari keluarga yang kurang harmonis sehingga hubungan kasih sayang dan batin umumnya bersifat perkara.
Salah satu contoh, kita sering mendengar anak delinkwensi. Sebenarnya anak delinkwensi merupakan salah satu bagian anak tunalaras dengan gangguan karena social perbuatannya menimbulkan kegocangan ketidak bahagiaan/ketidak tentraman bagi masyarakat. Perbuatannya termasuk pelanggaran hukum seperti perbuatan mencuri, menipu, menganiaya, membunuh, mengeroyok, menodong, mengisap ganja, anak kecanduan narkotika, dan sebagainya.
2. Klasifikasi berat-ringannya kenakalan
Ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan pedoman untuk menetapkan berat ringan kriteria itu adalah:
a. Besar kecilnya gangguan emosi, artinya semikin tinggi memiliki perasaan negative terhadap orang lain. Makin dalam rasa negative semakin berat tingkat kenakalan anak tersebut.
b. Frekwensi tindakan, artinya frekwensi tindakan semakin sering dan tidak menunjukkan penyesalan terhadap perbuatan yang kurang baik semakin berat kenakalannya.
c. Berat ringannya pelanggaran/kejahatan yang dilakukan dapat diketahui dari sanksi hukum.
d. Tempat/situasi kenalakan yang dilakukan artinya Anak berani berbuat kenakalan di masyarakat sudah menunjukkan berat, dibandingkan dengan apabila di rumah.
e. Mudah sukarnya dipengaruhi untk bertingkah laku baik. Para pendidikan atau orang tua dapat mengetahui sejauh mana dengan segala cara memperbaiki anak. Anak “bandel” dan “keras kepala” sukar mengikuti petunjuk termasuk kelompok berat.
f. Tunggal atau ganda ketunaan yang dialami. Apabila seorang anak tunalaras juga mempunyai ketunaan lain maka dia termasuk golongan berat dalam pembinaannya. Maka kriteria ini dapat menjadi pedoman pelaksanaan penetapan berat-ringan kenakalan untuk dipisah dalam pendidikannya.
Karakteristik yang dikemukakan Hallahan dan kauffman (1986) berdasarkan dimensi tingkah laku anak tuna laras adalah sebagai berikut :
1. Anak yang mengalami gangguan perilaku
a. Berkelahi, memukul menyerang
b. Pemarah
c. Pembangkang
d. Suka merusak
e. Kurang ajar, tidak sopan
f. Penentang, tidak mau bekerjasama
g. Suka menggangu
h. Suka ribut, pembolos
i. Mudah marah, Suka pamer
j. Hiperaktif, pembohong
k. Iri hati, pembantah
l. Ceroboh, pengacau
m. Suka menyalahkan orang lain
n. Mementingkan diri sendiri
2. Anak yang mengalami kecemasan dan menyendiri
a. Cemas
b. Tegang
c. Tidak punya teman
d. Tertekan
e. Sensitif
f. Rendah diri
g. Mudah frustasi
h. Pendiam
i. Mudah bimbang
3. Anak yang kurang dewasa
a. Pelamun
b. Kaku
c. Pasif
d. Mudah dipengaruhi
e. Pengantuk
f. Pembosan
4. Anak yang agresif bersosialisasi
a. Mempunyai komplotan jahat
b. Berbuat onar bersama komplotannya
c. Membuat genk
d. Suka diluar rumah sampai larut
e. Bolos sekolah
f. Pergi dari rumah
Selain karakteristik diatas, berikut ini karakteristik yang berkaitan dengan segi akademik, sosial / emosional dan fisik / kesehatan anak tuna laras.
1. Karakteristik Akademik
Kelainan perilaku mengakibatkan penyesuaian sosial dan sekolah yang buruk. Akibatnya, dalam belajarnya memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut :
a. Hasil belajar dibawah rata-rata
b. Sering berurusan dengan guru BK
c. Tidak naik kelas
d. Sering membolos
e. Sering melakukan pelanggaran, baik disekolah maupun dimasyarakat, dll
2. Karakteristik Sosial / Emosional
Karakteristik social / emosional tuna laras dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Karakteristik Sosial
Masalah yang menimbulkan gangguan bagi orang lain :
1) Perilaku itu tidak diterima masyarakat, biasanya melanggar norma budaya
2) Perilaku itu bersifat menggangu, dan dapat dikenai sanksi oleh kelompok social
3) Perilaku itu ditandai dengan tindakan agresif yaitu:
• Tidak mengikuti aturan
• Bersifat mengganggu
• Bersifat membangkang dan menentang
4) Tidak dapat bekerjasama
5) Melakukan tindakan yang melanggar hukum dan kejahatan remaja
b. Karakteristik Emosional
Hal-hal yang menimbulkan penderitaan bagi anak, misalnya tekanan batin dan rasa cemas yang ditandai dengan rasa gelisah, rasa malu, rendah diri, ketakutan dan sifat perasa / sensitive
c. Karakteristik Fisik / Kesehatan
Pada anak tuna laras umumnya masalah fisik/ kesehatan yang dialami berupa gangguan makan, gangguan tidur atau gangguan gerakan. Umumnya mereka merasa ada yang tidak beres dengan jasmaninya, ia mudah mengalami kecelakaan, merasa cemas pada kesehatannya, seolah-olah merasa sakit, dll. Kelainan lain yang berupa fisik yaitu gagap, buang air tidak terkontrol, sering mengompol, dll.
I. Klasifikasi Anak Tunalaras
Secara garis besar anak tunalaras dapat diklasifikasikan menjadi anak yang mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan anak yang mengalami gangguan emosi. Sehubungan dengan itu, William M.C (1975) mengemukakan kedua klasifikasi tersebut antara lain sebagai berikut :
1. Anak yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan social :
a. The Semi-socialize child
Anak yang termasuk dalam kelompok ini dapat mengadakan hubungan sosial tetapi terbatas pada lingkungan tertentu. Misalnya: keluarga dan kelompoknya. Keadaan seperti ini datang dari lingkungan yang menganut norma-norma tersendiri, yang mana norma tersebut bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat. Dengan demikian anak selalu merasakan ada suatu masalah dengan lingkungan di luar kelompoknya.
b. Children arrested at a primitive level of socialization
Anak pada kelompok ini dalam perkembangan sosialnya, berhenti pada level atau tingkatan yang rendah. Mereka adalah anak yang tidak pernah mendapat bimbingan kearah sikap sosial yang benar dan terlantar dari pendidikan, sehingga ia melakukan apa saja yang dikehendakinya. Hal ini disebabkan karena tidak adanya perhatian dari orang tua yang mengakibatkan perilaku anak di kelompok ini cenderung dikuasai oleh dorongan nafsu saja. Meskipun demikian mereka masih dapat memberikan respon pada perlakuan yang ramah.
c. Children with minimum socialization capacity
Anak kelompok ini tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk belajar sikap-sikap sosial. Ini disebabkan oleh pembawaan/kelainan atau anak tidak pernah mengenal hubungan kasih sayang sehingga anak pada golongan ini banyak bersikap apatis dan egois.
2. Anak yang mengalami gangguan emosi, terdiri dari :
a. Neurotic behavior
Anak pada kelompok ini masih bisa bergaul dengan orang lain akan tetapi mereka mempunyai masalah pribadi yang tidak mampu diselesaikannya. Mereka sering dan mudah dihinggapi perasaan sakit hati, perasaan cemas, marah, agresif dan perasaan bersalah. Di samping itu kadang mereka melakukan tindakan lain seperti mencuri dan bermusuhan. Anak seperti ini biasanya dapat dibantu dengan terapi seorang konselor. Keadaan neurotik ini biasanya disebabkan oleh sikap keluarga yang menolak atau sebaliknya, terlalu memanjakan anak serta pengaruh pendidikan yaitu karena kesalahan pengajaran atau juga adanya kesulitan belajar yang berat.
b. Children with psychotic processes
Anak pada kelompok ini mengalami gangguan yang paling berat sehingga memerlukan penanganan yang lebih khusus. Mereka sudah menyimpang dari kehidupan yang nyata, sudah tidak memiliki kesadaran diri serta tidak memiliki identitas diri. Adanya ketidaksadaran ini disebabkan oleh gangguan pada sistem syaraf sebagai akibat dari keracunan, misalnya minuman keras dan obat-obatan
J. Layanan Pendidikan Bagi Anak Tunalaras
Jenis pendidikan yang diadakan bagi peserta didik yang berkelianan disebut Pendidikan Luar Biasa. Saat ini satu unit di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, yaitu Direktorat Pendidikan Luar Biasa memikul tanggung jawab atas pelayanan pendidikan bagi peserta didik penyandang kelainan untuk tingkat nasional. Untuk tingkat daerah, unit yang bertanggung jawab atas Pendidikan Luar Biasa adalah Subdin PLB / Subdin yang menangani PLB pada Dinas Pendidikan Propinsi. Lembaga Pendidikan Luar Biasa yang ada sekarang ini adalah Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu.
Berikut ini adalah beberapa landasan atau dasar-dasar hukum Indonesia yang melindungi anak-anak tuna laras untuk mendapatkan pengajaran yang layak pada satu wadah pendidikan :
1. Undang-Undang Dasar 1945.
2. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
3. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar.
4. Peraturan Pemerinta No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah.
5. Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1990 tentang Pendidikan Luar Biasa.
6. Keputusan Mendikbud No. 002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu bagi Anak Cacat.
7. Keputusan Mendikbud No. 0491/U/1992 tentang Pendidikan Luar Biasa.
Tujuan diselenggarakannya layanan pendidikan bagi anak tunalaras adalah untuk membantu anak didik penyandang perilaku sosial dan emosi, agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam menggalakkan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan selanjutnya.
Anak tuna laras sering disebut juga dengan anak tuna sosial karena tingkah laku anak tunalaras menunjukkan penentangan yang terus-menerus terhadap norma-norma masyarakat yang berwujud seperti mencuri, mengganggu dan menyakiti orang lain. Sehingga dibutuhkan pembelajaran pendidikan jasmani khusus yang harus diterapkan pada mereka para tuna laras.
Kebutuhan pembelajaran bagi anak tunalaras yang harus diperhatikan guru antara lain adalah:
1. Perlu adanya penataan lingkungan yang kondusif (menyenangkan) bagi setiap anak.
2. Kurikulum hendaknya disesuaikan dengan hambatan dan masalah yang dihadapi oleh setiap anak.
3. Adanya kegiatan yang bersifat kompensatoris sesuai dengan bakat dan minat anak.
4. Perlu adanya pengembangan akhlak atau mental melalui kegiatan sehari-hari, dan contoh dari lingkungan.
Penanggulangan anak tunalaras ini dapat dilakukan melalui pendekatan pada lingkungan terdekat, sedikitnya dengan cara sebagai berikut.
1. Pada Lingkungan Keluarga
Keluarga adalah lingkungan pertama yang dapat menjadi penyebab dari ketunalarasan pada seorang anak, dan dalam lingkungan keluarga ini ada beberapa kiat yang dapat dilakukan dalam menanggulangi anak yang mengalami ketunalarasan, hal yang dapat dilakukan yaitu mengelola dan mengenalkan emosi pada anak tunalaras yang tujuannya agar anak tersebut mampu mengelola emosi pada dirinya.
Strategi pencapaian yang digunakan adalah strategi menurut Bill Roger, yakni:
a. Pada saat tiba-tiba saja terjadi konflik
Beri waktu untuk mendinginkan suasana.-
Bahas perilaku yang telah diperbuat anak tanpa menyerangnya.-
Jelaskan perasaan tanpa menyangkal perasaan anak.-
b. Pada saat anak tidak terjadi konflik :
Mengenalkan anak pada buku harian, khususnya buku harian yang didalamnya ada gambar berupa ekspresi wajah-
Memberikan anak nasihat yang berhubungan dengan emosi dan cara mengatur emosi-
Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan secara personal kepada anak, baik pendekatan emosinya dan pendekatan jati dirinya. Contohnya dengan memuji, memenuhi keinginannya, memahami karakternya dengan tidak memberikan hukuman terlebih dahulu. Berusaha memandang sesuatu dari sudut pandang anak.
Prosedur yang diperlukan adalah bertahap dan kontinyu. Karena untuk membantu pemulihan prilaku dan emosi anak tidak akan bisa dilakukan secara instan. Tekniknya berupa pendekatan secara langsung ke anak atau pun secara tidak langsung melalui teman sebaya anak.
Bentuk latihan yang dapat digunakan dalam menanggulangi anak tunalaras yaitu bentuk latihan yang mendidik anak mengenal emosi melatih kontrol diri anak, dan mengajarkan anak berprilaku asertif (ketrampilan dimana anak mengungkapkan emosi – dengan simpati atau pun empati/ cara menyampaikan hak dengan tidak melanggar hak orang lain.
Adanya 2 kemungkinan, bisa berhasil dan bisa belum berhasil. Kendala yang mungkin akan terjadi adalah ketika anak berupaya menolak kita, bersikap introvet atau tertutup. Kondisi lingkungan yang tidak bisa dikondisikan. Teman sebaya malah menjadi model dan stimulus yang buruk.
Namun, untuk kendala seperti ini dapat diantisipasi dengan mengikuti alur anak terlebih dahulu, misalnya dengan memberikan apa yang dia senangi, mudah-mudahan bisa membawanya ke situasi yang menyenangkan. Ciptakan lingkungan yang aman , yang menghormati hak bagi bagi semua anak, yaitu lingkungan yang meningkatkan kesempatan untuk bisa berhasil meraih prestasi dan mengoptimalkan potensi.
2. Pada Lingkungan Sekolah :
Lingkungan sekolah adalah tempat kedua yang dapat membantu dalam menyelesaikan permasalahan tunalaras ini. Beberapa macam-macam bentuk penyelenggaraan pendidikan bagi anak tuna laras adalah sebagai berikut :
a. Penyelenggaraan bimbingan dan penyuluhan di sekolah reguler.
Jika diantara murid di sekolah tersebut ada anak yang menunjukan gejala kenakalan ringan segera para pembimbing memperbaiki mereka. Mereka masih tinggal bersama-sama kawannya di kelas, hanya mereka mendapat perhatian dan layanan khusus.
b. Kelas Khusus
Apabila anak tuna laras perlu belajar terpisah dari teman pada satu kelas. Kemudian gejala-gejala kelainan baik emosinya maupun kelainan tingkah lakunya dipelajari. Diagnosa itu diperlukan sebagai dasar penyembuhan. Kelas khusus itu ada pada tiap sekolah dan masih merupakan bagian dari sekolah yang bersangkutan.
c. Sekolah Luar Biasa bagian Tuna laras tanpa asrama
Bagi Anak Tuna laras yang perlu dipisah belajarnya dengan kata kawan yang lain karena kenakalannya cukup berat atau merugikan kawan sebayanya.
d. Sekolah dengan asrama
Bagi mereka yang kenakalannya berat, sehingga harus terpisah dengan kawan maupun dengan orangtuanya, maka mereka dikirim ke asrama. Hal ini juga dimaksudkan agar anak secara kontinyu dapat terus dibimbing dan dibina. Adanya asrama adalah untuk keperluan penyuluhan
Yang menjadi sasaran pokok dalam pengembangan selanjutnya adalah usaha pemerataan dan perluasan kesempatan belajar dalam rangka penuntasan wajib belajar pendidikan dasar. Biasanya anak tuna laras itu segera saja dikeluarkan dari sekolah karena dianggap membahayakan. Dengan usaha pengembangan sekolah bagi anak tuna laras ini berarti kita memberi wadah seluas-luasnya atau tempat mereka memperoleh perbaikan bagi kepribadiannya.
Dengan adanya sekolah bagi anak tuna laras berarti membantu para orangtua anak yang sudah kewalahan mendidik puteranya, membantu para guru yang selalu diganggu apabila sedang mengajar dan mengamankan kawan-kawannya terhadap gangguan anak nakal.
Bentuk satuan dan Lama Pendidikan
1. Bentuk satuan Pendidikan Luar Biasa Tunalaras terdiri dari :
a. Sekolah Dasar Luar Biasa selanjunya disebut SDLB, merupakan bentuk satuan pendidikan yang menyiapkan siswanya untuk dapat mengikuti pendidikan pada jenjang SLTPLB (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) baik melalui pendidikan terpadu atau kelas khusus.
b. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB) merupakan bentuk satuan pendidikan yang menyiapkan siswanya dalam kehidupan bemasyarakat dan memberi kemungkinan untuk mengikuti pendidikan pada SMLB atau Sekolah Menengah (SMU/SMK) reguler melalui Pendidikan Terpadu dan atau kelas khusus.
c. Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB) merupakan bentuk satuan pendidikan yang menyiapkan siswanya agar memiliki keterampilan yang dapat menjadi sumber mata pencaharian sehingga dapat hidup mandiri di masyarakat atau mengikuti pendidikan di Perguruan Tinggi.
2. Lama Pendidikan
Lama pendidikan setiap satuan Pendidikan Luar Biasa tunalaras adalah sebagai berikut :
a. SDLB, berlangsung selama sekurang-kurangnya 6 (enam) tahun.
b. SLTPLB, berlangsung sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun.
c. SMLB, berlangsung selama sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun.
3. Peserta Didik
Calon peserta didik yang dapat diterima pada satuan Pendidikan Luar Biasa tunalaras adalah sebagai berikut :
a. Sekurang-kurangnya berusia 6 (enam) tahun untuk SDLB.
b. Telah tamat dan lulus dari SDLB atau satuan pendidikan yang sederajat atau setara, untuk SLTPLB dan atau SLTP reguler.
c. Telah tamat dan lulus dari SLTPLB atau satuan pendidikan yang sederajat atau setara, untuk SMLB dan atau SMU/SMK reguler.
4. Tenaga Kependidikan
Tenaga kependidikan pada satuan Pendidikan Luar Biasa tunalaras terdiri atas kepala sekolah, w kil kepala sekolah, guru yang berlatar belakang Pendidikan Luar Biasa khususnya tunalaras serta anggota masyarakat yang tidak dididik khusus sebagai guru Pendidikan Luar Biasa tetapi mempunyai keahlian dan kemampuan tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh peserta didik dalam kegiatan belajar.
5. Program Pengajaran
a. Kurikulum SDLB meliputi :
1) Program Umum. Isi program umum Kurikulum SDLB disesuaikan dengan kurikulum Sekolah Dasar dengan memperhatikan keterbatasan kemampuan belajar para siswa yang bersangkutan.
2) Program Khusus. Isi program khusus kurikulum SDLB disesuaikan dengan jenis kelainan siswa.
3) Program Muatan Lokal. Program muatan lokal kurilukum SDLB disesuaikan dengan keadaan serta kebutuhan lingkungan, yang ditetapkan oleh Kantor Dinas Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional setempat.
b. Kurikulum SLTPLB meliputi :
1) Program Umum. Isi program umum Kurikulum SLTPLB disesuaikan dengan kurikulum Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dengan memperhatikan keterbatasan kemampuan belajar para siswa yang bersangkutan.
2) Program Khusus. Isi program khusus kurikulum SLTPLB disesuaikan dengan jenis kelainan siswa.
3) Program Muatan Lokal
4) Program muatan lokal kurilukum SLTPLB disesuaikan dengan keadaan serta kebutuhan lingkungan, yang ditetapkan oleh Kantor Dinas Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional setempat.
5) Program Pilihan
6) Isi program pilihan kurikulum SLTPLB berupa paket-paket keterampilan yang dapat dipilih siswa dan diarahkan pada penguasaan satu jenis keterampilan atau lebih yang dapat menjadi bekal hidup di masyarakat.
c. Kurikulum SMLB meliputi :
1) Program Umum. Isi program umum Kurikulum SMLB disesuaikan dengan kurikulum Sekolah Menengah dengan memperhatikan keterbatasan kemampuan belajar para siswa yang bersangkutan.
2) Program Pilihan. Isi program pilihan kurikulum SMLB berupa paket-paket keterampilan yang dapat dipilih siswa dan diarahkan pada penguasaan satu jenis keterampilan atau lebih yang dapat menjadi bekal hidup di masyarakat.
6. Bimbingan dan Rehabilitas
Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada peserta didik dalam upaya menemukan pribadi, menguasai masalah yang disebabkan oleh kelainan yang disandang, mengenali lingkungan dan merencanakan masa depan. Bimbingan diberikan oleh guru pembimbing.
Rehabilitasi merupakan upaya bentuan medik, sosial, dan keterampilan yang diberikan kepada peserta didik agar mampu mengikuti pendidikan. Bimbingan dan rehabilitasi melibatkan para ahli terapi fisik, ahli terapi bicara, dokter umum, dokter spesialis, ahli psikologi, ahli pendidikan luar biasa, perawat dan pekerja sosial.
7. Pola Penyelenggaraan
Untuk menjamin kesesuaian program pendidikan luar biasa tunalaras dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan, kemampuan peserta didik tunalaras serta efektivitas dan efesiensi, penyelenggaraan pendidikan luar biasa tunalaras dapat memilih pola-pola berikut :
a. Pendidikan Luar Biasa tunalaras merupakan gabungan semua satuan pendidikan. Menurut pola ini, hanya terdapat satu bentuk yang menyelenggarakan semua satuan pendidikan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan.
b. Pendidikan Luar Biasa tunalaras dibagi menurut satuan pendidikan. menurut pola ini terdapat 3 (tiga) bentuk yaitu SDLB, SLTPLB dan SMLB yang masing-masing disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan. Penyelenggaraan pendidikan bagi peserta didik tunalaras yang memiliki kecerdasan normal dapat dilaksanakan bersama dengan anak normal melalui pendidikan terpadu dan atau kelas khusus.
PROGRAM PEMBINAAN SEKOLAH
1. Program Bidang Pengajaran
Isi program bidang pengajaran pada prinsipnya sama dengan sekolah reguler. Mengingat kondisi anak tunalaras pada umumnya malas untuk belajar, maka sifat pengajaran kepada mereka juga bersifat penyuluhan atau yang disebut remedial teaching. Remedial teaching maksudnya membantu murid dalam kesulitan belajar. Sistem pengajaran bersifat klasikal. Ada kemungkinan dalam satu kelas terdiri dari beberapa anak yang mengikuti program pengajaran secara berbeda-beda. Jumlah murid tiap-tiap kelas sekurang-kurangnya tiga orang dan sebanyak-banyaknya 12 orang.
Banyak sedikitnya jumlah murid tiap kelas ditentukan oleh:
a. Faktor kecakapan guru melayani individu.
b. Makin muda usia makin kecil jumlahnya.
c. Ambang perbedaan umur tidak besar.
d. Fasilitas ruangan.
Para guru di sekolah bagi anak tunalaras perlu memahami teknik diagnosik kesulitan belajar, kemudian cara membimbing disesuaikan dengan bakat dan kemampuan tiap-tiap murid.
2. Program Bimbingan Penyuluhan
Program-program ditawarkan dalam bimbingan dan penyuluhan antara lain :
a. Program bimbingan penyuluhan suasana hidup keagamaan di asrama.
b. Program keterampilan.
c. Program belajar di sekolah reguler (terpadu dan atau kelas khusus).
d. Program bimbingan kesenian.
e. Program kembali ke orangtua.
f. Program kembali ke masyarakat.
g. Program bimbingan kepramukaan.
K. Implementasi pemberian layanan pendidikan di sekolah dasar bagi ABK
Pendidikan kebutuhan khusus berpijak pada hambatan belajar dan kebutuhan anak. Oleh karena itu misi pendidikan yang paling penting adalah meminimalkan hambatan belajar dan memenuhi kebutuhan belajar anak. Setiap anak dihargai eksistensinya, ditumbuhkan harga dirinya, dikembangkan motivasinya dan diterima sebagaimana adanya, sehingga setiap anak akan berkembang optimal sejalan dengan potensi masing-masing. Pendidikan dipandang sebagai upaya memberdayakan individu yang memiliki keragaman. Anak tidak lagi dibeda-bedakan berdasarkan label atau karakteristik tertentu dan tidak ada diskriminasi antara anak yang satu dengan lainnya. Semua anak berada dalam satu sistem pendidikan yang sama. Pendidikan seperti inilah yang dimaksud dengan pendidikan inklusif.
Secara lebih kongkrit UNESCO (1994), memberikan gambaran bahwa pendidikan inklusif berarti bahwa sekolah harus mengakomodasi semua anak, tanpa kecauali ada perbedaaan secara fisik, intelektual, sosial, emosional, bahasa, atau kondisi lain, termasuk anak penyandang cacatat dan anak berbakat, anak jalanan, anak yang bekerja, anak dari etnis, budaya, bahasa minoritas dan kelompok anak-anak yang tidak beruntung dan terpinggirkan. Inilah yang dimaksud dengan one school for all.
Pendidikan inklusif merupakan idiologi atau cita-cita yang ingin kita raih. Sebagai idiologi dan cita-cita, pendidikan inklusif harus menjadi arah dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan secara keseluruhan. Oleh karena itu pendidikan inklusif tidak diartikan sebagai model pendidikan atau pendekatan pendidikan yang memasukkan anak penyandang cacat ke sekolah regular semata-mata.
Sebagai konsekuensi dari pandangan bahwa pendidikan inklusif itu sebagai idiologi dan cita-cita, dan bukan sebagai model, maka akan terjadi keragaman dalam implimentasinya, antara negara yang satu dengan yang lainnya, antara daerah yang satu dengan yang lainnya atau bahkan antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lainnya. Proses menuju pendidikan inklusif akan sangat tergantung kepada sumberdaya yang dimiliki oleh masing-masing negara, daerah atau sekolah. Meskipun terjadi keragaman dalam implementasinya, tidak ada perbedaan filosofi dan konsep yang digunakannya, karena berangkat dari sumber yang sama.
Dalam rangka memperkenalkan pendidikan inkusif menuju pendidikan yang berkualitas, diperlukan adanya perubahan opini, pemahaman dan sikap para penyelenggara pendidikan (guru, kepala sekolah, administrator/pengambil kebijakan pendidikan, orang tua dan masyarakat pada umumnya), terhadap anak dan pendidikannya, sejalan dengan pendirian pendidikan kebutuhan khusus dan pendidikan inklusif. Dalam mengkampanyekan konsep pendidikan inklusif kepada masyarakat, diperlukan strategi dan metode yang tepat dan sistematik agar tidak terjadi resistensi dan kesalahfahaman. Sebagai langkah awal dalam mewujudkan pendidikan inklusif, dapat ditempuh dengan mulai memperkenalkan konsep sekolah yang ramah dan terbuka (welcoming school), sebagai sekolah masa depan dan guru yang ramah (welcoming teachers) kepada penyelenggara dan pengambil kebijakan pendidikan.
1) Sekolah yang Ramah dan Terbuka (Welcoming School)
Pendidikan inklusif saat ini sedang diperkenalkan kepada masyarakat, namun ada kesan bahwa para penganjur pendidikan inkusif (termasuk pakar dari perguruan tinggi dan pemerintah) bertindak terlalu cepat, dan tidak sabar ingin segera mengimplementasikan pendidikan inklussif secara luas. Sebagai contoh Dinas Pendidikan Nasional Jawa Barat pada tahun 2003-2004 mulai mengimlementasikan pendidikan inklusif di 75 Sekolah Dasar (Budi Hermawan, 2003). Tindakan yang terlalu cepat seperti ini, mempunyai peluang cukup tinggi untuk gagal, karena secara konsep belum difahami dengan utuh oleh semua pihak, sehingga konsep pendidikan inklusif difahami secara tidak tepat dan belum tumbuh sikap positif para penyelenggara pendidikan di lapangan terhadap anak berkebutuhan khusus.
Dalam rangka memperkenalkan pendidikan inklusif, sering kali dilakukan seminar dan lokakarya yang melibatkan para penyelenggara pendidikan di lapangan dalam jumlah besar. Akan tetapi sering ada keluhan dari para peserta bahwa setelah mengikuti seminar/lokakarya itu, mereka tetap belum mendapatkan informasi yang jelas bahkan kadang-kadang terjadi kesimpangsiuran dalam memahami konsepnya, sehingga terjadi penolakan dari para guru di lapangan, mungkin karena para guru salah dalam memahami konsepnya atau boleh jadi ada kekuranglengkapan informasi dari nara sumber dalam menyampaikan informasinya. Sebagai contoh, seorang guru Sekolah Dasar mengatakan "Mengajar 40 orang anak normal sudah repot, apalagi harus menerima anak cacat, tidak mungkin bisa dilakukan." Contoh lain, para Guru SLB merasa tidak nyaman dan merasa terancam apabila konsep pendidikan inklusif diimplementasikan. Mereka beranggapan SLB akan dibubarkan dan mereka akan kehilanag pekerjaan.
Disadari bahwa sesungguhnya kita semua saat ini sedang belajar tentang anak berkebutuhan khusus, pendidikan kebutuhan khusus dan pendidikan inklusif secara komprehensif dan mendalam. Akan tetapi kadang-kadang kita tidak sabar, ingin segera menyampaikannya kembali kepada orang lain, padahal sesungguhnya kita belum memahaminya dengan benar. Bisa terjadi, ketika kita menjelaskan kembali konsep pendidikan inklusif kurang lengkap, sehingga difahami oleh orang lain secara tidak lengkap pula.
Keadaan seperti itu sungguh mengkhawatirkan dan akan mengganggu jalannya proses menuju pendidikan inklusif. Oleh sebab itu harus ada perubahan strategi dalam mengkampanyekan pendidikan inklusif dengan tidak langsung menyampaikan konsep pendidikan inklusif, akan tetapi dimulai dengan memperkenalkan konsep sekolah yang ramah dan guru yang ramah.
Secara empirik, hampir di sekolah regular di banyak tempat (terutama di Sekolah Dasar), ditemukan anak berkebutuhan khusus temporer. Akan tetapi kadang-kadang para guru tidak menyadarinya. Keadaan seperti ini merupakan potensi yang dapat dikembangkan untuk membangkitkan kesadaran para guru bahwa mereka sesungguhnya sudah mulai menerima anak berkebutuhan khusus di sekolahnya. Apabila titik tolak pembicaraan mengenai pendidikan inklusif dimulai dari apa yang sudah mereka miliki dan sudah mereka lakukan di sekolah, akan sangat mudah bagi para guru untuk menerimanya dibanding dengan sesuatu yang sama sekali asing bagi mereka.
Diskusi dengan guru sekolah regular dalam jumlah kecil akan lebih efektif jika dibandingakan dengan seminar/lokakarya. Hal-hal yang perlu didiskusikan dengan para guru di sekolah regular adalah tentang sekolah yang ramah dan terbuka yang antara lain ditandai oleh: (1) Tidak diskriminatif (2) Pengakuan dan penghargaan terhadap keragaman individu anak (3) Fasilitas belajar dan lingkungan memberi kemudahan dan rasa aman kepada setiap anak (aksesibitas) (4) Guru bekerja dalam tim (5) Keterlibatan orang tua dan masyarakat terhadap sekolah.
(1) Tidak Diskriminatif
Setiap sekolah (terutama Sekolah Dasar), memiliki potensi yang cukup untuk dikembangkan menjadi sekolah yang dapat menerima kehadiran setiap anak tanpa kecuali. Hal ini dapat dibuktikan bahwa hampir di setiap sekolah secara tidak sengaja sudah menerima anak berkebutuhan khusus (temporer). Ini berarti bahwa sekolah mulai memiliki perhatian dan pengakuan terhadap adanya keragaman dan perbedaan. Langkah selanjutnya adalah secara terus menerus mengajak para guru/kepala sekolah untuk memahami bahwa pendidikan itu untuk semua (education for all), tanpa harus membeda-bedakan keadaan setiap anak. Setiap anak mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Apabila kesadaran seperti ini muncul pada setiap guru di sekolah, maka tidak ada alasan bagi sekolah untuk tidak menerima kehadiran seorang anak bagaimanapun keadaannya.
Sekolah yang ramah dan terbuka adalah sekolah yang para gurunya dapat mengatakan selamat datang kepada semua anak, di sinilah tempat kalian belajar, dan di sini tempat yang nyaman dan menyenangkan bagi kalian. Betapa bahagianya anak-anak dan orangtuanya apabila semua diperlakukan seperti ini. Apabila keadaan ini dapat dicapai, maka ada harapan bahwa sumua anak akan mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan.
(2) Pengakuan dan Penghargaan Terhadap Keragaman Anak
Apabila sekolah sudah mulai terbuka dan tidak diskriminatif (membeda-bedakan) setiap anak, maka langkah berikutnya adalah para guru dan kepala sekolah mulai diajak memahami bahwa setiap anak memiliki kebutuhan belajar dan hambatan belajar yang berbeda-beda. Oleh sebab itu setiap anak perlu memperoleh perhatian yang sesuai dengan kebutuhan dan hambatan belajarnya.
Sesungguhnya para guru di lapangan sudah ada yang memahami bahwa setiap anak memiliki perbedaan, akan tetapi mereka mengalami kesulitan dalam melayaninya. Ini mungkin disebabkan oleh adanya kendala teknis yang berhubungan dengan aturan dan budaya sekolah yang belum terbiasa melihat anak sebagi individu yang khas. Guru biasanya lebih melihat anak dalam kelompok yang homogen. Oleh sebab itu para guru dan kepala sekolah hendaknya terus dibantu dan dibangkitkan kesadarannya bahwa setiap anak itu memiliki kebutuhan dan hambatan belajr yang berbeda.
Wujud nyata dari adanya pengakuan dan penghargaan terhadap keragaman anak adalah adanya proses pembelajaran yang fleksibel. Fleksibilitas dapat diwujudkan dalam bentuk penyesuaian antara kurikulum dengan kebutuhan anak dan pembelajaran dilakukan dengan pendekatan belajar kooperataif (cooperative learning). Hal ini memang tidak mudah untuk dilakukan karena memerlukan keterampilan yang cukup dari seorang guru. Tetapi jika dapat diwujudkan akan sangat menguntungkan bagi perkembangan anak.Anak yang belajar lebih cepat dapat dilayani sejalan dengan kecepatannya, anak yang rata-rata juga dapat terlayani dan anak-anak yang memiliki hambatan dapat pula belajar sesuai kebutuhannya.
Cara seperti ini disebut multi level curriculum, yaitu guru membagi siswa ke dalam kelompok, setiap kelompok belajar hal yang sama tetapi mungkin pada level yang berbeda. (Phil Foreman, 2001). Dengan demikian perhatian guru bisa terfokus pada kelompok dan setiap anggota kelompok akan terlayani kebutuhannya.
Bentuk lain dari adanya penghargaan dan pengakuan terhadap keragaman anak adalah dengan menciptakan atmosfir kelas yang merefleksikan adanya toleransi, penghargaan dan penerimaan antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa yang di dalamnya tidak ada paksaan dan celaan. Manakala atmosfir ini dapat diwujudkan maka diharapkan akan berkembang pada diri anak sikap percaya diri, motivasi belajar, dan penghargaan terhadap orang lain yang berbeda. Belajar bagi anak akan merupakan seuatu yang menyenangkan.
(3) Aksesibilitas Lingkungan dan Fasilitas
Aksesibilitas adalah kemudahan lingkungan dan fasilitas di sekolah yang seharusnya tersedia bagi semua anak, terutama bagi anak-anak kebutuhan khusus. Misalnya jika di sekolah ada seorang anak yang tidak bisa berjalan, maka diperlukan jalan masuk ke sekolah yang bisa dilalui oleh anak tersebut dengan mudah. Atau anak dapat keluar masuk kelas menggunakan kursi roda dengan mudah.
Di sekolah-sekolah kita pada umunya memiliki aksesibilitas yang kurang baik. Masalah aksesibilitas merupakan hal yang sulit untuk dikembangkan, karena selalu berkaitan dengan dana. Aksesibilitas yang ideal tentu saja sangat sulit untuk diwujudkan. Akan tetapi kita bisa memulainya dengan hal-hal kecil yang bisa dilakukan di sekolah. Prinsip yang perlu diperhatikan oleh guru, kepala sekolah dan orang tua dalam mengembangkan aksesibilitas lingkungan adalah aman, nyaman dan memberi kemudahan kepada setiap orang untuk menggunakannya.
Oleh karena itu, langkah pertama yang sangat penting dalam mengembangkan aksesibilitas adalah menciptakan lingkungan yang aman bagi keselamatan setiap anak. Kepala sekolah dan guru bisa memulainya dengan melihat kembali apakah lingkungan sekolah dan fasilitas yang ada aman bagi semua anak. Sebagai contoh apakah konstruksi jendela ketika dibuka dapat mengganggu dan menghambat keleluasaan anak untuk bergerak? Jika ya, maka konsstruksinya perlu diperbaiki, agar menjadi aman. Apakah lantai kelas posisinya rata dengan teras? Jika tidak, maka perlu dibuat jalan miring di depan pintu , agar anak bisa keluar masuk kelas dengan leluasa, bahkan jika ada anak yang menggunakan kursi roda bisa menggunakannya. Apakah lantai kamar mandi licin? kalau ya, maka perlu diubah menjadi lantai yang lebih kasar, sehingga anak terhindar dari kemungkinan jatuh.
Langkah kedua adalah membuat lingkungan sekolah menjadi nyaman. Kenyaman berkaitan dengan kebersihan dan kesehatan. Lingkungan sekolah yang bersih dan sehat akan berpengaruh positif terhadap individu yang ada di dalamya. Sekolah tidak boleh menjadi penyebab terjadinya gangguan kesehatan pada anak. Menciptakan lingkungan sekolah yang nyaman (bersih dan sehat), bukan sesuatu yang terlalu sulit untuk diwujudkan. Hal ini sangat bergantung kepada inisiatif kepala seolah dan para guru untuk mewujudkannya.
Langkah ketiga adalah menciptakan lingkungan yang dapat memberi kemudahan-kemudahan kepada setiap anak (termasuk anak berkebutuhan khusus) untuk beraktifitas. Langkah inilah yang mungkin paling sulit untuk diwujudkan karena harus membuat sesuatu yang baru. Sebagai contoh, apabila gedung sekolah berlantai dua atau lebih, dan ada anak yang tidak bisa berjalan, maka diperlukan akses bagi anak tersebut agar dapat bergerak dari lantai satu ke lantai dua.
Apabila sekolah, paling tidak bisa menciptakan aksesibilitas pada langkah pertama dan kedua, sudah merupakan prestasi yang cukup baik dalam menciptakan sekolah yang ramah dan terbuka.
(4) Guru Bekerja Dalam Tim
Dalam melayani siswa yang memiki keragaman dalam hambatan belajar dan kebutuhan, guru akan sangat efektif jika bekerja secara tim. Akan sangat sulit bagi guru dalam mengembangkan keahlian jika bekerja sendirian. Kerja tim (team work), menjadi kebutuhan dan sekaligus merupakan ciri khas dari pekerja profesional
Bekerja dalam tim memerlukan komitmen, kesamaan faham dalam memandang persoalan, toleransi dan saling terikat satu sama lain. Oleh karena itu bekerja dalam tim, pada tahap-tahap awal tidak mudah untuk dilaksanakan. Para guru di sekolah-sekolah kita belum terbiasa bekerja secara tim. Mereka lebih banyak bekerja secara perseorangan. Oleh sebab itu perlu terus ditumbuhkan kebiasaan para guru bekerja dalam tim.(team work). Guru yang sudah terbiasa bekerja dalam tim, secara tidak langsung akan mempengaruhi sikapnya terhadap terhadap anak.
(5) Keterlibatan Orang Tua
Kerjasama yang erat antara orang tua dan guru dapat menghasilkan solusi terbaik dalam melayani kebutuhan belajar anak di sekolah (Kremer, 1991). Keterlibatan orang tua secara aktif terhadap pendidikan anak di sekolah, sangat penting dalam kaitannya dengan negosiasi dalam mencari solusi berkenaan dengan pendidikan anak baik di sekolah maupun di rumah.
Keterlibatan orang tua dalam pendidikan, biasanya terbatas hanya pada urusan biaya. Oleh karena itu keterlibatan orang tua hendaknya dikembangkan kepada persoalan pendidikan yang lebih luas. Apabila akses orang tua ke sekolah cukup terbuka, maka setiap masalah yang dihadapi anak akan segera dapat ditanggulangi bersama.
2) Sistem Pendukung (Support System)
(a) Pusat Sumber (Resource Center)
Apabila sekolah yang ramah (welcoming school) dan guru yang ramah (welcoming teacher) dapat diwujudkan, maka langkah menuju pendidikan inklusif akan semakin mulus. Sekolah yang ramah dan guru yang ramah merupakan kondisi yang harus dipersiapkan sebelum pendidikan inklusif diimplementasikan.
Secara teknis pendidikan inklusif memerlukan sistem pendukung, yang berfungsi sebagai lembaga yang akan memberikan bantuan teknis kepada sekolah yang di dalamnya terdapat anak berkebutuhan khusus. Dalam terminologi pendidikan inklusif, sistem pendukung itu disebut pusat sumber (resource center).
Salah satu fungsi dan tugas pokok pusat sumber adalah menyediakan guru pendidikan kebutuhan khusus yang profesional yang disebut guru kunjung (iteneran teachers). Guru kunjung akan membantu guru sekolah regular dalam memberikan layanan pendidikan kepada anak berkebutuhan khusus. Di samping itu, pusat sumber juga mempunyai tugas dalam menyediakan alat/media belajar yang diperlukan anak berkebutuhan khusus, seperti penyediaan buku-buku teks braile bagi tunanetra, dan memberikan pelatihan tertentu bagi guru sekolah regular, orang tua maupun anak berkebutuhan khusus sendiri. Pusat sumber merupakan tempat berkumpulnya para profesional.
Sehubungan dengan itu, sekurang-kurangnya diperlukan satu atau dua pusat sumber untuk setiap kabupaten/kota, yang akan memberikan dukungan kepada sekolah regular dalam implementasi pendidikan inklusif. Dapat dibayangkan berapa banyak pusat sumber dan berapa banyak tenaga guru kunjung yang dibutuhkan dalam implementasi pendidikan inklusi di Indonesia. Tanpa kehadiran pusat sumber, pendidikan inklusif tidak mungkin untuk dilaksanakan.
(b) Perluasan Peran dan Tugas SLB
Dalam perspektif pendikan kebutuhan khusus dan pendidikan inklusif, peran dan tugas SLB bisa dikembangkan menjadi pusat sumber, di samping tetap menjalankan tugasnya sebagai sekolah. Oleh sebab itu SLB yang kita miliki saat ini merupakan potensi yang sangat penting untuk dikembangkan menjadi sistem pendukung pendidikian inklusif.
Di setiap kabupaten di Jawa Barat, rata-rata memiliki 3 sampai 4 SLB. Apabila di setiap kabupaten, pada tahap awal dikembangkan satu SLB menjadi pusat sumber, maka Jawa Barat akan memiliki 24 pusat sumber yang akan mendukung pendidikan inklusif.
SLB sesungguhnya menghadapi tantangan yang lebih besar dan lebih berat, oleh karena itu diperlukan kompetensi lebih tinggi dan keahlian yang lebih spesifik dari para guru SLB dalam menghadapi perluasan peran dan tugas pokok SLB menjadi pusat sumber. Oleh sebab itu tidak benar adanya anggapan bahwa dengan pendidikan inklusif, SLB akan dihapus dan guru-gurunya akan kehilangan pekerjaan. Yang benar adalah guru-guru SLB akan mempunyai peran yang lebih luas dan penting dalam konteks pendidikan secara umum.
b. Kurikulum Pendidikan Guru
Konsep pendidikan kebutuhan khusus dan pendidikan inklusif, mengalir ibarat aliran sungai dari hulu ke muara. Tidak pernah dan tidak mungkin terjadi air yang sudah sampai ke muara kembali lagi ke hulu. Analogi tersebut digunakan untuk menggambarkan bahwa pendidikan inklusif akan terus bergulir ibarat mengalirnya air. Menyongsong bergulirnya pendidikan inklusif sebagai cita-cita, maka harus dipersiapkan guru yang memiliki pemahaman tentang pendidikan inklusif. Berbicara tentang guru masa depan, berarti berbicara tentang sistem pendidikan guru di LPTK.
Ada dua kelompok pendidikan guru yang harus direorientasikan, yaitu : Pertama, pendidikan guru Pendidikan Kebutuhan khusus (Jurusan PLB), sebagai soko guru pendidikan inklusif. Kurikulum jurusan PLB yang berlaku saat ini dirancang berdasarkan konsep Special Education. Pembagian spesialisai berdasakan kategori kecacatan sangat dominan. Apabila kita sepakat, bahwa konsep Special Needs Education diterima sebagai sesuatu harus direspon, maka kurrikulum jurusan PLB hendaknya dirancang kembali dengan menggunakan konsep Special Needs Education.
Kedua, konsep pendidikan kebutuhan khusus dan pendidikan inklusif harus menjadi bagian dari materi Mata Kuliah Dasar-Dasar Kependidikan (MKDK), sehingga semua mahasiswa calon guru mengenal pendidik inklusif. Pada saatnya nanti manakala mereka bekerja menjadi guru, diharapkan mereka menjadi guru yang ramah (welcoming teachers). Hal ini tidak mudah untuk dilakukan karena menyangkut kepentingan banyak orang. Oleh karena itu diperlukan kemampuan negosiasi para pakar dalam meyakinkan pihak lain, bahwa pendidikan kebutuhan khusus dan pendidikan inklusif itu penting bagi peningkatan mutu pendidikan.
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan uraian bab sebelumnya penulis dapat mengemukakan simpulan tunalaras atau emotionally handicapped atau behavioral disorder pengertiannya lebih terarah berdasarkan definisi dari Eli M Bower (1981) yang menyatakan bahwa anak dengan hambatan emosional atau kelainan perilaku, apabila menujukkan adanya satu atau lebih dari lima komponen berikut ini : tidak mampu belajar bukan disebabkan karena faktor intelektual; sensori atau kesehatan; tidak mampu untuk melakukan hubungan baik dengan teman-teman dan guru-guru; bertingkah laku atau berperasaan tidak pada tempatnya; secara umum mereka selalu dalam keadaan tidak gembira atau depresi; dan bertendensi ke arah simptom fisik seperti merasa sakit atau ketakutan yang berkaitan dengan orang atau permasalahan di sekolah (Delphie, 2006).
Penggolongan anak tunalaras secara umum dapat ditinjau dari segi gangguan atau hambatan dan kualifikasi berat ringannya kenakalan. Dalam segi gangguan atau hambatan terdapat gangguan emosi dan gangguan social. Gangguan emosi terwujud dalam tiga jenis perbuatan, yaitu : senang-sedih, lambat cepat marah, dan releks-tertekan. Gangguan Sosial terlihat dalam perbuatan seperti sikap bermusuhan, agresip, bercakap kasar, menyakiti hati orang lain, keras kepala, menentang menghina orang lain, berkelahi, merusak milik orang lain dan sebagainya. Klasifikasi berat-ringannya kenakalan memiliki beberapa kriteria yaitu : besar kecilnya gangguan emosi; frekwensi tindakan; berat ringannya pelanggaran / kejahatan yang dilakukan; tempat / situasi kenalakan yang dilakukan; mudah sukarnya dipengaruhi untuk bertingkah laku baik; dan tunggal atau ganda ketunaan yang dialami.
Secara garis besar anak tunalaras dapat diklasifikasikan menjadi anak yang mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan anak yang mengalami gangguan emosi.
Penyelenggaraan pendidikan bagi tunalaras memiliki tujuan yaitu untuk membantu anak didik penyandang perilaku sosial dan emosi, agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam menggalakkan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan selanjutnya.
Penanggulangan anak tunalaras bisa dilakukan mulai dari ruang lingkup paling kecil yaitu lingkungan keluarga dan juga bisa ditanggulangi lebih lanjut di lingkungan sekolah dengan diikuti di sekolah yang memiliki kurikulum khusus dalam menangani anak tunalaras.
B. Saran
Sejalan dengan simpulan di atas, penulis merumuskan saran sebagai berikut.
1. Guru hendaknya dapat lebih memahami karakteristik dari seorang anak tunalaras sehingga dapat memberikan pendidikan yang baik dan maksimal bagi anak tersebut.
2. Sebaiknya dalam pembelajaran guru dapat memahami kebutuhan-kebutuhan khusus anak tunalaras.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Chaerul. (2010) Anak Tunalaras. [Online]. Tersedia : http://chairulanwar06.blogspot.com/2010/05/anak-tuna-laras.html [1 Oktober 2012].
Pujambi. (2010) Mengenal dan Memahami Anak Tunalaras. [Online]. Tersedia : http://lembarkeling.blog.com/2010/01/14/mengenal-dan-memahami-anak-tunalaras/ [1 Oktober 2012]
Dieza. (2012) Penanggulangan Anak Tunalaras. [Online]. Tersedia : http://www.dieza.web.id/2012/01/penanggulangan-anak-tunalaras.html [30 September 2012]
Puspita. (2010) Anak Berkelainan Perilaku Tunalaras. [Online]. Tersedia : http://pembelajarsmknikertosono.blogspot.com/2010/09/anak-berkelainan-perilaku-tunalaras-1.html [2 Oktober 2012]
Anonim. (2012) Anak Berkebutuhan Khusus Tunalaras. Tersedia : http://iduladhamudaceria.blogspot.com/p/abk-tunalaras.html [2 Oktober 2012]
Fedelis, Rudi. (2012) Pengertian Klasifikasi dan Karakteristik Anak Tunalaras. Tersedia : http://fedelisrudi.blogspot.com/2012/04/pengertian-klasifikasi-dan.html [2 Oktober 2012]
Astiamatunisa. (2010) Pendidikan Anak Bagi Tunalaras. Tersedia : http://gakuseishinsetsu.wordpress.com/2010/01/09/pendidiakan-bagi-anak-tunalaras/ [ 11 Oktober 2012]
PENGERTIAN ANAK GIFTID
Anak gifted diartikan sebagai anak berbakat khusus. Istilah mengenai gifted atau berbakat ini memang sudah sering kita dengar, hanya saja klasifikasi atau kategori dari seorang anak yang dapat dikatakan sebagai anak gifted ini yang perlu kita cermati lebih mendalam. Di tataran publik istilah gifted pertama kali diperkenalkan oleh Sir Francis Galton pada tahun 1869. Gifted dalam pengertian yang diperkenalkan oleh Galton pada masa itu merujuk pada suatu bakat istimewa yang tidak lazim dimiliki oleh manusia biasa yang ditunjukkan oleh seorang individu dewasa. Titik tekan konsepsi keberbakatan istimewa menurut Galton ada pada berbagai bidang. Ia memberi contoh seperti ahli kimia Madame Curie sebagai gifted chemist (ahli kimia dengan bakat luar biasa atau istimewa).
Menurut Galton keberbakatan istimewa ini adalah sesuatu yang sifatnya diwariskan. Artinya keberbakatan istimewa adalah sesuatu potensi yang menurun (genetically herediter). Anak-anak yang menunjukkan suatu bentuk bakat yang istimewa ini kemudian lazim disebut sebagai gifted children.
Keberbakatan yang berdasarkan sekolah biasanya melihat kemampuan relative. Anak diidentifikasikan berdasarkan penampilannya membandingkan dengan teman sekelasnya.
Anak dengan ranking 5-10% ditingkat atas memerlukan kurikulum yang lebih menantang dibandingkan dengan kurikulum regular. Definisi keberbakatan secara ini akan membingungkan orangtua, karena anak yang berbakat, ternyata disekolah lain dinyatakan tidak berbakat.
Hollingworth mendefinisikan keberbakatan sebagai potensi anak yang harus digali sehingga saat dewasa akan lebih berkembang. Linda Silverman menambahkan bahwa pada anak berbakat didapatkan perkembangan yang tidak sinkron. Jadi tidak hanya IQ dan kemampuan, tapi juga emosi dan hipersensitifitas.
Perkembangan yang tidak sinkron dimaksud adalah perkembangan intelektual, fisik dan emosi tidak berjalan dengan kecepatan yang sama. Kemampuan intelektual selalu berkembang lebih cepat. Dengan adanya perkembangan yang tidak sinkron ini diperlukan modifikasi dalam hal pengasuhan baik oleh orangtua, guru maupun konselor agar anak dapat berkembang optimal.
Gifted adalah istilah yang dipakai pada individu yang memiliki kemampuan superior dalam berurusan dengan fakta-fakta, dan ide-ide. Tidak jarang, kecerdasan yang dimiliki anak dapat memunculkan masalah dan tantangan beragam. Kecerdasan yang tidak dikembangkan terkadang memberikan ketidakbahagiaan personal pada individu yang bersangkutan. Ketidaksesuaian arah dalam membimbing individu yang memiliki kecerdasan tinggi juga dapat memunculkan ketidakbahagiaan dan masalah, baik bagi individu maupun lingkungan. Bisa jadi karena tidak dimengerti oleh orang tua, pertanyaan-pertanyaan, minat-minat, kreativitas dan perilaku lain dari anak cerdas dapat menimbulkan kekhawatiran pada orang tua yang bersangkutan. Sekolah juga merupakan latar yang menjadi perhatian khusus bagi anak cerdas. Guru mungkin akan kesulitan dalam berhadapan dengan anak cerdas. Murid dengan kelebihan seperti ini mungkin akan mudah bosan dan tidak senang terhadap kesulitan guru tersebut.
Keberbakatan itu sendiri sangatlah kompleks, bukan hanya ditentukan oleh Nilai IQ-nya saja, akan tetapi merupakan faktor multidimensi dan dinamis (van Tiel). Carpenter (2001) & Lyth (2003), Membagi anak berbakat atas:
a Ringan (mild) IQ = 115-129
b Sedang (moderate) IQ = 130-144
c Tinggi (high) IQ = 145-159
d Kekecualian (exceptional ) IQ = 160-179;
e Amat sangat (Profound) IQ = 180 +. IQ normal berkisar antara 85-115, dengan normal absolute 100. Makin besar jaraknya dari nilai normal, makin membutuhkan modifikasi sarana pendidikan Terdapat 3 kelompok anak berbakat:
1. Berbakat global: yaitu anak berbakat pada semua atau hampir semua area, biasanya matematika dan verbal
2. Berbakat matematika: anak dengan kemampuan matematika yang tinggi. Anak ini akan baik dibidang spasial, sebab-sebab nonverbal, daya ingat.
3. Berbakat verbal: anak dengan kemampuan bahasa yang kuat. Anak ini mampu berbahasa yang lebih bila dibandingkan dengan anak seusianya. Penampilan verbalnya lebih baik.
Umumnya pada anak berbakat, prestasi belajarnya juga tinggi. Tapi dapat pula ditemukan anak berbakat yang prestasinyanya tidak optimal bahkan sering kali bermasalah. Prestasi yang kurang ini sering dianggap karena faktor motivasi dan psikologis. Anak sering dianggap malas dan tidak bersungguh sungguh, dan sering kali orangtua disalahkan karena tidak menerapkan disiplin. Banyak penelitian menyebutkan, diantara anak berbakat tidak berprestasi karena mengalami kesulitan yang terselubung (Silverman 2002). Anak berbakat, walau dengan atau tanpa berada dikelas akselerasi, tetapi mempunyai potensi untuk berkembang. Mereka termotivasi secara internal. Dengan adanya minat /ketertarikan dan kesempatan, anak akan termotivasi. Jadi bila anak tertarik akan sesuatu dan terdapat kesempatan atau tantangan yang sesuai, maka dia akan dapat berprestasi (Brody 1997).
B. Karateristik Anak Gifted
1. Karakteristik Fisik
a Perkembangan fisik yang rata – rata lebih besar dibanding anak – anak lainnya pada saat dilahirkan
b Perkembangan fisik yang lebih cepat atau lebih matang
c Kepekaan panca indra
d Kekuatan fisik
e Koordinasi alat gerak tubuh.
2. Karakteristik emosional / Persepsi
a Sangat peka perasaannya.
b Menunjukkan gaya bercanda atau humor yang tidak lazim (sinis, tepat sasaran dalam menertawakan sesuatu hal tapi tanpa terasa dapat menyakiti perasaan orang lain).
c Sangat perseptif dengan beragam bentuk emosi orang lain (peka dengan sesuatu yang tidak dirasakan oleh orang-orang lain).
d Memiliki perasaan yang dalam atas sesuatu.
e Peka dengan adanya perubahan kecil dalam lingkungan sekitar (suara, aroma, cahaya).
f Pada umumnya introvert.
g Memandang suatu persoalan dari berbagai macam sudut pandang.
h Sangat terbuka dengan pengalaman atau hal-hal baru
i Alaminya memiliki ketulusan hati yang lebih dalam dibanding anak lain
3. Karakteristik intelektual / akademik
a Menunjukkan atau memiliki ide-ide yang orisinal, gagasan-gagasan yang tidak lazim, pikiran-pikiran kreatif.
b Mampu menghubungkan ide-ide yang nampak tidak berkaitan menjadi suatu konsep yang utuh.
c Menunjukkan kemampuan bernalar yang sangat tinggi.
d Mampu menggeneralisir suatu masalah yang rumit menjadi suatu hal yang sederhana dan mudah dipahami.
e Memiliki kecepatan yang sangat tinggi dalam memecahkan masalah.
f Menunjukkan daya imajinasi yang luar biasa.
g Memiliki perbendaharaan kosakata yang sangat kaya dan mampu mengartikulasikannya dengan baik.
h Biasanya fasih dalam berkomunikasi lisan, senang bermain atau merangkai kata-kata.
i Sangat cepat dalam memahami pembicaraan atau pelajaran yang diberikan.
j Memiliki daya ingat jangka panjang (long term memory) yang kuat.
k Mampu menangkap ide-ide abstrak dalam konsep matematika dan/atau sains.
l Memiliki kemampuan membaca yang sangat cepat.
m Banyak gagasan dan mampu menginspirasi orang lain.
n Memikirkan sesuatu secara kompleks, abstrak, dan dalam.
o Mampu memikirkan tentang beragam gagasan atau persoalan dalam waktu yang bersamaan dan cepat mengaitkan satu dengan yang lainnya.
4. Karakteristik Motivasi dan Nilai – Nilai Hidup
a Menuntut kesempurnaan dalam melakukan sesuatu (perfectionistic).
b Memiliki dan menetapkan standar yang sangat tinggi bagi diri sendiri dan orang lain.
c Memiliki rasa ingin tahu dan kepenasaran yang sangat tinggi.
d Sangat mandiri, sering merasa tidak perlu bantuan orang lain, tidak terpengaruh oleh hadiah atau pujian dari luar untuk melakukan sesuatu (self driven).
e Selalu berusaha mencari kebenaran, mempertanyakan dogma, mencari makna hidup.
f Melakukan sesuatu atas dasar nilai-nilai filsafat yang seringkali sulit dipahami orang lain.
g Senang menghadapi tantangan, pengambil risiko, menunjukkan perilaku yang dianggap “nyerempet-nyerempet bahaya” .
h Sangat peduli dengan moralitas dan nilai-nilai keadilan, kejujuran, integritas.
i Memiliki minat yang beragam dan terentang luas.
5. Karakteristik Aktivitas
a Punya energi yang seolah tak pernah habis, selalu aktif beraktifitas dari satu hal ke hal lain tanpa terlihat lelah.
b Sulit memulai tidur tapi cepat terbangun, waktu tidur yang lebih sedikit dibanding anak normal.
c Sangat waspada.
d Rentang perhatian yang panjang, mampu berkonsentrasi pada satu persoalan dalam waktu yang sangat lama.
e Tekun, gigih, pantang menyerah.
f Cepat bosan dengan situasi rutin, pikiran yang tidak pernah diam, selalu memunculkan hal-hal baru untuk dilakukan.
g Spontanitas yang tinggi.
6. Karakteristik Relasi Sosial
a Umumnya senang mempertanyakan atau menggugat sesuatu yang telah mapan.
b Sulit melakukan kompromi dengan pendapat umum.
c Merasa diri berbeda, lebih maju dibanding orang lain, merasa sendirian dalam berpikir atau pada saat merasakan suatu bentuk emosi.
d Sangat mudah jatuh iba, empatik, senang membantu.
e Lebih senang dan merasa nyaman untuk berteman atau berdiskusi dengan orang-orang yang usianya jauh lebih tua.
C. Faktor Penyebab Anak Gifted
Peneliti setuju bahwa faktor keturunan memainkan peran yang dominan dalam bakat. Orang tua cerdas adalah seperti lebih mungkin untuk memiliki anak cerdas daripada rata-rata atau dibawah rata-rata orang tua. Dalam jangka panjang studi lebih dari 1.500 individu cerdas, Terman menemukan bahwa rakyatnya juga memiliki anak-anak yang jauh di atas rata-rata. Namun, tidak ada hubungan keturunan yang tepat. Beberapa orang tua rata-rata telah dikenal untuk memiliki anak dengan kecerdasan superior, sementara beberapa orang tua memiliki anak cerdas dengan hanya kemampuan biasa-biasa saja.
Pengalaman hidup awal dapat mempengaruhi kinerja anak pada tes kecerdasan. Lingkungan yang merangsang, misalnya, dapat memungkinkan seseorang untuk mengungkapkan bakatnya. Orang yang memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya kemungkinan untuk mencetak agak lebih tinggi pada tes kecerdasan daripada yang lain yang memiliki kemampuan asli sama tetapi yang memiliki sedikit pendidikan.
D. Gelaja Perkembangan Anak Gifted
1. Periode Bayi
Pada perkembangan nol hingga 2,5 tahun, masih terlalu dini untuk memberi label sebagai anak gifted, namun kepadanya diberi label lain yaitu anak dengan lompatan perkembangan (kinderen met ontwikkeling voorsprong). Pada anak tersebut terdapat beberapa gejala yang dapat menunjukkan bahwa kelak anak tersebut akan berkembang menjadi anak gifted. Gejala- gejala ini umumnya akan dikenal kembali oleh orang tuanya jika melihat kembali masa-masa lalunya.
Gejala pada anak – anak gifted :
a Lebih besar dan lebih berat dari rata-rata anak yang lahir
b Tak sabaran
c Cepat dalam perkembangan membalas senyuman dan melihat ke sekililing
d Waktu tidur yang sedikit
e Sangat alert (waspada)
f Sangat sensitive
g Perkembangannya cepat
h Mempunyai pola yang tetap dan teratur
i Seringkali sangat tergantung, seringkali menuntut perhatian lebih
j Mempunyai daya ingat yang kuat.
Tidak semua anak gifted mempunyai gejala yang lengkap sebagaimana di atas, namun secara umum mempunyai gejala-gejala yang banyak dari daftar di atas. Anak-anak yang lahir premature dapat saja berkemungkinan kelaknya ternyata adalah anak-anak gifted. Perilaku overaktif nampak sebagai akibat dari perkembangan sistem neuromuskularnya, yang telah diketahui bahwa perkembangan sistem persyarafan anak-anak gifted akan memakan waktu lebih lama daripada rata-rata anak. Karenanya juga anak-anak ini mempunyai sistem pancaindera yang sangat sensitif, misalnya terhadap ransang raba, cahaya, dan suara. Disamping itu ketahanan tubuhnya juga sangat sensitif dan menjadi rentan. Yang perlu dijelaskan juga adalah bahwa sangat banyak anak-anak gifted yang
mengalami alergi misalnya terhadap bahan pewarna dan penambah rasa.
2. Usia 1- 4 Tahun
Balita usia 2,5 – 4 tahun dengan lompatan perkembangan biasanya tidak terlalu banyak masalah bila dibandingkan dengan masa-masa bayinya. Anak-anak ini belajar segala sesuatu sangat cepat. Mereka menuntut jawab bagi banyak pertanyaannya untuk mendapatkan informasi, dan mereka juga mengerjakan sesuatu yang berbeda-beda. Dalam upaya eksplorasinya yang antusias itu umumnya ia melihat peralatan atau alat-alat mainnya secara cepat sekali, sehingga sebagai orang tua harus terus menerus berupaya mencari sesuatu yang baru dan menantang. Seringkali juga menyulitkan.
a Gejala pada anak – anak gifted :
b Mempunyai keterikatan pada pola yang sama
c Mandiri
d Mempunyai loncatan perkembangan kognitif
e Motorik halus
f Tidak bisa bermain dengan teman sebaya, namun lebih menyukai dengan yang lebih tua
g Konsentrasi terhadap tugas
h Perfeksionisme
i Seringkali belajar membaca dan berhitung sendiri
j Berkemampuan logik dan analisa yang baik
k Mempunyai perhatian yang luas dengan apa yang terjadi di sekitarnya
Dalam melihat gejala-gejala tidak selalu semua gejala akan dipenuhi, namun seringkali terjadi yang terbanyak adalah mempunyai gejala-gejala di atas.
E. Permasalahan anak gifted
Karena perkembangan fisik, perkembangan intelektual, dan perkembangan emosional yang jauh lebih cepat atau mengalami lonjakan dibanding anak seusianya, anak – anak gifted memiliki permasalahan atau dampak yang terjadi dalam hidupnya. Yaitu :
1. Perkembangan Sosial
a Si anak mengalami kesulitan bila harus melakukan kontak dengan anak-anak lainnya
b Diajuhi oleh teman-temannya
c Mengganggu permainan atau pekerjaan teman lain
d Banyak terlibat dalam perkelahian dan konflik
e Sulit diajak bekerjasama
f Sulit berbagi dengan teman lain
g Sulit menerima pendapat orang lain
h Suka mengolok
i Sulit menerima kekalahan
j Kurang mengambil inisiatif untuk kontak sosial
2. Perkembangan emosional
a Anak menjadi pendiam dan menarik diri
b Takut menunjukkan dirinya
c Takut bertanya dan takut menjelaskan sesuatu
d Kurang percaya diri dan merasa tidak yakin
e Menuntut banyak perhatian dari guru dan teman-temannya
f Seringkali menjadi agresif terhadap anak-anak lain
g Sulit turut dalam aturan permainan/peraturan dalam kelompok
h Sedikit mengeluarkan perasaannya
i Bereaksi secara ekstrim dalam kontak fisik
j Tidak menikmati sekolah
k Selalu bermasalah jika harus berangkat tidur
l Kebiasaan yang khas yang selalu muncul (menggigit kuku, keras kepala tidak mau
m diberitahu)
n Menjadi brutal dan agresif
o Hiperaktif dan banyak gerak
p Pelamun
q Tegang
F. Solusi Anak Gifted
1. Pengembangan sekolah inklusi
Sekolah inklusi memang masih baru di Indonesia, namun diharapkan mampu mengatasi masalah terutama bagi anak-anak yang mempunyai inteligensia normal ke atas tetapi mempunyai hambatan dalam pembelajaran. Jika saja orang tua mendapatkan informasi yang berbeda-beda, akan bisa dimaklumi. Karena bentuk sekolah inklusi pun mempunyai keragaman juga. Orang tua bisa saja mendapatkan informasi bahwa yang masuk sekolah inklusi hanyalah anak-anak berkebutuhan khusus saja dengan berbagai masalahnya, atau dapat saja orang tua mendapatkan info bahwa arti inklusi adalah sekolah reguler/umum yang dapat menerima juga anak berkebutuhan khusus dengan inteligensia normal ke atas. Atau mendapat info bahwa anak berkebutuhan khusus apapun diagnosanya dengan inteligensia di bawah normal pun dapat turut belajar di kelas reguler. Ini memang cukup membingungkan bagi orang tua.
Pada dasarnya sekolah inklusi adalah sekolah yang menghargai individu dengan keunikannya dan menerima tawaran pendidikan yang adaptif. Dengan begitu tujuan inti pendidikan yang ditetapkan sampai seberapa jauh pendidikan yang harus dicapai, menjadi fleksibel. Fleksibilitas ini disebabkan karena pendidikan di dalam kelas menjadi multilevel. Setiap anak akan berada dalam levelnya yang disebut kompetensinya. Karena itu pendidikan dalam kelas inklusi bukan lagi berdasarkan konten (Content based curriculum) sebagaimana yang biasa diberikan dalam kelas reguler konvensional, namun pendidikan dalam kelas inklusi diberikan berdasarkan kompetensi (Competence based curriculum). Dalam menempuh pelajarannya seorang anak akan menempuh jalur pendidikannya dalam levelnya berdasarkan kompetensinya, dan dengan metoda pembelajaran yang sesuai dengan kondisinya (Crealock & Kronick, 1993).
Kita ambilkan contoh seorang anak gifted yang mempunyai kekuatan dalam perkembangan kognitif tinggi (higher order thinking) yaitu pemahaman, analisa, sintesa, dan kemampuan memecahkan masalah yang didukung oleh kreativitasnya yang tinggi. Maka kepada anak-anak gifted ini tugas-tugas perlu diberikan dalam bentuk tugas yang mengutamakan kemampuan kognitif tinggi ini, serta tidak dilakukan pengulangan-pengulangan yang hanya akan memunculkan kefrutrasian karena seorang anak gifted sangat tidak tahan terhadap bentuk pengulangan dan drilling. Sementara itu karena kelemahan seorang anak gifted umumnya dalam kemampuan kognitif rendah (lower order thinking) seperti menghapal, maka kepadanya untuk kemampuan menghapal perlu diberi ekstra perhatian dengan menggunakan metoda permainan agar ia merasa fun dan tidak membebaninya. Sebaliknya seorang anak penyandang autisme, adalah anak-anak yang mempunyai keterbatasan dalam kemampuan analisa-sintesa, pemecahan masalah, dan kreativitas. Cara berpikir seorang anak penyandang autisme adalah sangat harafiah, dalam bentuk fragmen-fragmen atau potongan-potongan kejadian. Karena itu metoda pengajaran yang paling tepat baginya adalah bimbingan tahap pertahap dan sekuensial yang memerlukan pengulangan-pengulangan. Metoda yang diberikan ini adalah metoda yang sangat berlawanan dengan anak-anak gifted.
Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam bentuk sekolah seperti ini dibutuhkan deteksi, diagnosa psiko-pedagogi, dan skrining yang baik. Sekolah inklusi dengan diferensiasi metoda dan materi di dalam kelas, juga menuntut keikut sertaan orang tua dalam mensukseskan pendidikan. Dalam hal ini orang tua beserta lingkungan perlu dilibatkan secara aktif.
2. Kerjasama antar departemen
Bagaimanapun, membangun pendidikan anak-anak Indonesia yang berslogan Education For All, tidak bisa hanya dengan setumpuk teori dan peraturan, tetapi memerlukan perjuangan mewujudkan tiang-tiang penyangga pendidikan yang menghormati hak azasi anak untuk mendapatkan pendidikan yang sebaik-baiknya, menghargai keunikan masing-masing dan mengutamakan perhatian ekstra dan pendidikan pada anak-anak terutama anak-anak yang mempunyai resiko, sebagaimana Deklarasi Dakar tahun 2000.
Tiang penyangga bagi tawaran pendidikan yang adaptif bagi anak didik adalah asesmen yang jelas yang dikerjakan oleh sejumlah profesi secara multidisiplin dalam sebuah lembaga bantuan pedagogi dan psikologi. Hal ini untuk menentukan bentuk pendidikan yang bagaimana yang dibutuhkannya, dan metoda apa yang diperlukan.
Lembaga bantuan pedagogi dan psikologi (psychoeducational assessment center) ini adalah lembaga yang paling dekat dengan guru kelas, murid, dan orang tua. Di lembaga inilah diagnosa dokter diterjemahkan menjadi sebuah diagnose pedagogi dan psikologi yang berbagai advisnya berupa metoda pengajaran bias dilaksanakan oleh guru di dalam kelas saat mengajar membaca, berhitung, dan menulis, serta membina perkembangan sosial emosional murid. Lembaga ini selain memberikan bimbingan pada guru, tetapi juga kepada murid dan orang tua.
Apabila oleh lembaga asesmen pedagogi psikologi ini diperlukan diagnosa fisik dan neurology, maka ia memerlukan bantuan dari pusat-pusat layanan kesehatan yang memahami masalah kesehatan yang berkaitan dengan pendidikan. Misalnya masalah gangguan belajar (learning disabilities) berupa disleksia, disgrafia, dan diskalkulia, yang merupakan gangguan neurologis dan long live disabilities.
Sayangnya alat ukur untuk menentukan bahwa seorang anak mengalami gangguan belajar bentuk ini belum dipunyai oleh Indonesia. Begitu pula berbagai terapi perilaku, emosi, sosial, dan remedi yang membutuhkan ilmu kedokteran dan kesehatan lainnya memerlukan bantuan dari sektor kesehatan.
Dengan begitu sedikitnya ada tiga sektor atau departemen yang memerlukan kerjasama yaitu: Departemen Pendidikan, Departemen Kesehatan, dan Departemen Sosial.
3. Hindari diagnosa yang spekulatif
Diagnosa yang spekulatif bagi anak-anak dengan kekhususan perkembangan ini, sangat marak ditemukan di lapangan. Umumnya terhadap anak-anak balita, saat mana berbagai symptom bermacam gangguan masih saling menutupi. Misalkan symptom gangguan perkembangan autisme sebetulnya adalah diagnose pembanding gangguan perkembangan bahasa dan bicara ekspresif (reseptifnya baik). Gangguan perkembangan bahasa dan bicara ekspresif ini tidak pernah diikuti dengan gangguan autisme (Nyiokiktjien, 2005). Termasuk didalam gangguan bahasa dan bicara ekspresif ini adalah anak-anak gifted yang pada dasarnya mempunyai inteligensia tinggi kreatif dan sangat visual spatial learner. Seringkali terjadi, kedua kelompok anak-anak ini tidak dipisahkan, dan dimasukkan ke dalam diagnose autisme.
Diagnosa yang spekulatif ini terjadi karena tatalaksana diagnosa anak bergangguan perkembangan di Indonesia umumnya menggunakan tatalaksana yang:
a Tidak multidisiplin
b Tidak melalui observasi jangka panjang berkesinambungan
c Tidak mengikut sertakan orang tua
d Tidak ada catatan berkesinambungan
Seringkali ditemukan pula diagnosa tidak dalam bentuk laporan tertulis yang berisi hasil observasi dan pengukuran, hanya diucapkan oleh penegak diagnosa, sehingga orang tua kesulitan untuk meneruskan temuan ini ke pihak-pihak lain yang berkepentingan.
Kadang terjadi diagnosa yang spekulatif ini menuju kepentingan lain bukan kepada kepentingan anak. Disamping itu sudah banyak pengalaman diantara para orang tua, anak-anak ini kemudian hanya difokuskan pada perbaikan-perbaikan dengan harapan menjadi normal (yang tidak mungkin bagi penyandang autisme), sementara itu pada anak- anak gifted yang menerima diagnosa autisme maka giftednessnya sama sekali tidak mendapatkan perhatian, yang justru memunculkan masalah baru yang lebih membuat rumit.
Guna menghindari diagnosa atau pelabelan yang spekulatif yang banyak terjadi ini, maka mau tidak mau semua profesi yang terlibat dalam tumbuh kembang anak, pendidikan, dan terapi bermacam gangguan, juga mempelajari personalitas dan pola alamiah tumbuh kembang anak-anak gifted. Bila penegakan diagnosa masih juga meragukan, yang dapat dilakukan adalah menghindari pelabelan, kepada anak hanya dijabarkan deskripsi berbagai gangguan, atau faktor lemah dan faktor kuat yang dimiliki anak – ini semua dimaksudkan dalam rangka intervensi, pengasuhan, dan pendidikannya. Kepada anak diberi intervensi sambil diobservasi secara mendalam, secara berkala dilakukan evaluasi dan updating intervensi.
4. Hindari psedo-ilmiah
Psedo-ilmiah atau pseudoscience ini kini banyak kita temui di pasaran bebas dengan mengatasnamakan pengasuhan (parenting) dan pendidikan. Umumnya berbahasa ilmiah tetapi menggunakan dasar pijakan yang mengesampingkan faktor bawaan atau genetik yang merupakan blue print dari perkembangan seorang anak. Dengan berkembangnya teknologi penciteraan otak dan penelitian perkembangan otak yang berkaitan dengan perkembangan inteligensia dan pendidikan, dunia pendidikan kini lebih menekankan pada pendekatan nature + nurture. Prestasi seorang anak akan senantiasa ditentukan oleh bagaimana nature biologisnya plus bagaimana nurture atau pengasuhan dan pendidikan dengan metoda yang tepat baginya. Semakin hari kini, kesadaran dunia pendidikan dalam upaya-upaya prevensi terhadap masalah kesulitan belajar menjadi semakin baik. Dunia pendidikan kini semakin pula menekankan pada school readiness (kesiapan bersekolah) dengan cara-cara menelusuri bagaimana tumbuh kembang seorang anak dan jika ternyata diketemukan seorang anak mengalami ketidak selarasan perkembangannya, segera diupayakan berbagai tindakan prevensi agar anak tersebut tidak mengalami kesulitan saat masuk ke sekolah dasar. Namun sebaliknya upaya-upaya prevensi ini seringkali dipopulerkan secara berlebihan melalui berbagai kegiatan yang tujuannya adalah menjadikan anak kita sebagai anak cerdas maupun jenius, tanpa memperhatikan lagi faktor kondisi bawaan seorang anak (Zigler dkk, 2002).
Bentuk psedo-ilmiah ini bukan saja ramai dalam dunia pendidikan, tetapi juga dalam dunia kesehatan dengan menggunakan pendekatan pengobatan biomedical (megadosis vitamin, food supplement, dan berbagai mineral) untuk merubah biochemical dan smart drugs yang plasebo yang diharapkan dapat merubah struktur otak dengan maksud terjadi perbaikan inteligensia seorang anak. Diharapkan sekali pihak-pihak professional justru turut memerangi hal ini, serta membantu dan membimbing orang tua.
5. Meningkatkan peranan guru dan orang tua
Orang tua dan guru adalah figur-figur terdekat dari anak-anaknya atau muridmuridnya. Namun kedua figur ini mempunyai peranan yang sangat jauh berbeda sejak beberapa tahun belakangan ini. Hal ini seiring dengan perubahan pemahaman filosofi pengasuhan dan pendidikan anak. Jika dahulu kita mengenal bahwa anak lahir adalah sebuah kertas putih (tabula rasa) yang siap untuk ditulisi, maka pemahaman seperti ini sudah dinyatakan ketinggalan jaman. Pemahaman tabula rasa lebih menekankan pada faktor nurturing (pengasuhan dan pendidikan) dalam membesarkan anak-anaknya. Anak-anak dianggap sebagai kertas putih yang siap ditulisi, anak-anak bisa dicetak sebagaimana keinginan sistem pendidikan dan citacita orang tua. Namun pendekatan seperti ini kini sudah dianggap kurang manusiawi, karena bisa berdampak pada penekanan, pemeleteran bahkan pengkarbitan anak sejak masih dini sekali. Berbagai kegiatan mencerdaskan anak secara berlebihan hingga kita tidak tahu lagi kapan harus berhenti, yang bisa jadi justru menyebabkan tindakan yang abusing bagi anak.
Kini orang tua dan guru dihadapkan pada model pengasuhan dan pendidikan yang menghargai keunikan dan tumbuh kembang anak. Karena itu mendidikan anak-anak masa kini bukanlah lomba balap agar anak menjadi super. Dalam menyikapi tuntutan pendekatan masa kini, orang tua dan guru dituntut mampu mendampingi tahapan tumbuh kembang anak yang unik, baik secara fisik, emosional, sosial, dan kognitif. Guru dan orang tua dituntut menciptakan lingkungan yang aman (lahir dan bathin, rasa cinta, dan relasi yang hangat) agar anak mampu tumbuh secara sehat.
Guru dan orang tua dituntut agar mampu berjabat erat saling mendukung, agar antara pengasuhan dan pendidikan di sekolah merupakan bentuk kegiatan yang simultan, yang kesemuanya ditujukan bagi keharmonisan tumbuh kembang anak. Jalinan komunikasi dan pemahaman bersama ini tak kan mungkin bisa tercapai jika guru dan orang tak mempunyai pemahaman yang sama dan baik terhadap anakanak atau muridnya.
Kerjasama yang baik antara guru dan orang tua, adalah andai kedua kelompok mampu mehamami karakteristik anak-anaknya dalam faktor-faktor:
a tumbuh kembang
b personalitas
c keberbakatan/berkecerdasan istimewa (giftedness)
G. Hak-hak yang Dimiliki oleh Anak Gifted
Anak-anak gifted memiliki hak-hak yang sama dengan semua anak berkebutuhan khusus. Pemerintah menuliskan hak-hak anak berkebutuhan khusus berdasarkan landasan yuridis formal, yaitu pada Ayat (2) yang berbunyi: Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
1. UU no. 20/ 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional :
a Pasal 3, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemamouan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, betujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”
b Pasal 5 ayat 4 “ warga negara yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa berhak memoeroleh pendidikan khusus.”
c Pasal 32 ayat 1 “pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”
2. UU no. 23/ 2002 tentang Perlingdungan Anak pasal 52, “anak yang memiliki keunggulan diberikan kesemparan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan khusus”
3. PP No. 72/ 1991, tentang Pendidikan Luar Biasa
H. Layanan khusus untuk anak gifted
1. Pendahuluan
UU no. 20/ 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 5 ayat 4 menyebutkan bahwa warga negara yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. Perlunya perhatian khusus bagi peserta diidk yang memiliki kecerdasan istimewa melalui sekolah – sekolah yang didirikan untuk dapat dianggap selaras dengan fungsi utama pendidikan, yaitu mengembangkan potensi peserta didik secara utuh dan optimal.
Strategi pendidikan yang ditempuh selama ini bersifat masal memberikan perlakukan standar/ rata – rata kepada semua peserta didik sehingga kurang memperhatikan perbedaan antar peserta didik dalam kecakapan, keminatan, dan bakatnya. Dengan strategi semacam ini keunggulan akan muncul secara acak dan sangat tergantung kepada motivasi belajar peserta didik serta lingkungan belajar dan mengajarnya. Oleh karena itu perlu dikembangkan keunggulan yang dimiliki oleh peserta didik agar potensi yang dimiliki menjadi prestasi yang unggul.
Perhatian khusus kepada peserta didik yang berpotensi cerdas dan atau bakat istimewa selaras dengan fungsi utama pendidikan yaitu mengembangkan potensi peserta didik secara utuh dan optimal. Pengembangan potensi tersebut memerlukan strategi yang sistematis dan terarah. Tanpa layanan pembinaan yang sistematis terhadap peserta didik yang berpotensi cerdas dan bakat istimewa, bangsa Indonesia yang tidak terukur nilainya. Perhatian khusus tidak dimaksudkan melakukan diskriminasi, tetapi pemberian perhatian sesuai dengan kebutuhan dan kondisi peserta didik. Melalui penyelenggaraan pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa, diharapkan potensi – potensi yang selama ini belum dikembangkan secara optimal, akan tumbuh dan menunjukan kinerja yang baik. Kondisi ini pada gilirannya akan dapat memberi kontribusi terhadap kehormatan dan nama baik bangsa Indonesia diantara bangsa – bangsa lain di dunia.
2. Konsep Dasar
a. Landasan Teoritis
Penggunaan istilah potensi kecerdasan dan bakat istimewa berkaitan erat dengan latar belakang teroritis yang digunakan. Potensi kecerdasan berhubungan dengan kemampuan intelektual, sedangkan bakat tidak hanya terbatas pada kemampuan intelektual. Pendapat ini mula – mula dikemukakan oleh United States Office of Education (Feldhusen, 1994) bahwa anak berbakat adalah anak yang diidentifikasikan oleh orang dengan kualifikasi profesional. Anak – anak yang telah mampu menunjukan prestasinya dan atau berupa potensi kemampuan pada beberapa bidang seperti : (1) kemampuan inteligensi umum; (2) kemampuan akademik khusus (spesific academic aptitude); (3) berpikir produktif atau kreatif; (4) kemampuan kepemimpinan; (5) kemampuan dibidang seni; (6) kemampuan psikomotorik.
Proses mengidentifikasi peserta didik cerdas istimewa dilakukan dengan menggunakan pendekatan multidimensional. Artinya kriteria yang digunakan lebih dari satu (bukan sekedar intelligensi). Batasan yang digunakan adalah peserta didik yang memiiliki dimensi kemampuan umum pada taraf cerdas ditetapkan skor IQ 130 ke aras dengan pengukuran menggunakan skala Wechsler, dimensi kreativitas tinggi ( ditetapkan skor CQ) dan pengukatan diri (task commitment) terhadap tugas baik (ditetapkan skor TC).
Konsepsi tiga cincin dari Renzulli (1978, 2005) banyak digunakan dalam menyusun oendidikan untuk anak cerdas istimewa, dan merupakan teori yang mendasari pengembangan pendidikan anak istimewa dan berbakat istimewa (gifted dan talented children). Konsepsi tiga cincin kerbakatan daru Renzulli menentukan giftedness sebagai saling keterkatitan anatara tiga komponen yang penting yaitu :
1) Kemampuan umum (kapasitas intelektual) dan atau kemampuan khusus diatas rata – rata
2) Kreativitas yang tinggi
3) Komitmen terhadap tugas tinggi.
Konsep The Triadich dari Renzulli-Monks yang merupakan pengembangan dari konsepsi tiga cincin kerebakatan dari renzulli. Model renzulli Monks ini disebut sebagai model multifaktor. Dalan model multifaktornya Monks mengatakan bahwa potensi kecerdasan istimewa yang dikemukakan oleh Renzulli itu tidak akan terwujud jika tidak mendapatkan dukungan yang baik dari sekolah, keluarga, dan lingkungan dimana si anak tinggal (Monks dan Ypenburg, 1995)
Dengan model multifaktor maka pendidikan anak cerdas istimewa tidak dapat dilepaskan dari peran orangtua dan lingkungan dalam menanggapi gejala- gejala kecerdasan istimewa, toleran terhadap karakteristik yang ditampilkannya baik yang positif maupun berbagai gangguan tumbuh kembangnya yang menjadi penyulit baginya, serta dalam mengupayakan layanan pendidikannya. Lebih lanjut model pendekatan ini menuntut keterlbiatan pihak orangtua dalam pengasuhan dirumah agar partisipasi secara penuh dan simultan dengan layanan pendidikan terhadap anak disekolah. Secara grafis pengaruh tersebut dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar1. The Multi Factors Model
b. Landasan Filosofis
Penyelenggaran pendidikan khusus bagi PDCI/BI salah satu bentuk atau model layanannya adalah program percepatan (akselarasi) belajar dan didasari filosofis yang berkenaaan dengan: (1) hakekat manusia, (2) hakekat pembangunan nasional, (3) tujuan pendidikan, dan (4) usaha untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut (Depdikbud, 1994)
c. Landasan Historis
Upaya pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan khusus bagi PDCI.BI telah dilakukan sejak tahum 1974 dalam beberapa bentuk layanan dengan model : (1) PPSP dengan pendekatan maju berkelanjutan dan belajar tuntas, (2) kelas – kelas khusus dan unggulan, (3) sekolah – sekolah unggulan di sejumlah provinsi, (4) sekolah – sekolah swasta dengan kurikulum plusnya, (5) pondok pesantren modern dengan pola asrama, (6) pemberian beasiswa kepada peserta cerdas dan sebagainya. Secara historis kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan layanan pendidikan bagi peserta didik cerdas istimewa dapat dilihat pada tabel berikut.
Tahun Bnetuk Kebijakan/ Program
1974 Pemberian beasiswa bagi peserta didik Sekolah Dasar (SD) Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah kejuruan (SMK) yang berbakat dan berprestasi tinggi tetapi lemah kemampuan ekonomi
1982 Balitbang Dikbud membentuk kelompok Kerja Pengembangan Pendidikan Anak Berbakat (KKPAB). Kelompok ini terdiri individu – individu ysng mewakili unsur – unsur struktural serta unsur – unsur keahlian seperti Balibang Dikbud, Ditjen Dikdasem, Ditjen Dikti, Perguruan Tinggi, serta unsur keahlian dibidang sains, matematika, teknologi
(elektronika, otomotif, dan pertanian), bahasa, dan humaniora serta psikologi
1984 Balitbang dikbud menylenggarakan perintisan pelayanan pendidikan anak berbakat dari tingkat SD, SMP, SMA di satu daerah perkotaan (Jakarta) dan satu daerah pedesaan (Kabupaten Cianjur). Program pelayanan yang diberikan berupa pengayaan (enrichment) dalam bidang sains (Fisika, kimia, biologi, dan Ilmu pengetahuan Bumi dan Antariksa), matematika, teknologi (elektronika, otomotif, dan pertanian), bahasa (Inggris dan Indonesia), humaniora, serta keterampilan membaca, menulis, dan meneliti. Pelayanan pendidikan dilakukan di kelas khusus di luar program kelas reguler pada waktu – waktu tertentu.
Perintisan pelayanan pendidikan bagi anak berbakat ini pada tahun 1986 dihentikan seiring dengan pergantian pimpinan dan kebijakan di jajaran depdikbud.
1989 Didalam UU no. 2tahun 1989 tentang UU Sistem Pendidikan Nasional pasal 8 ayat 2 dikemukakan bahwa negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa berhak memperoleh perhatian khusus.
Pasal 24, setiap peserta didik pada satuan pendidikan mempunyai hak – hak sebagai berikut : (1) mendapat perlakuan yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya, (2) menyelesaikan program pendidikan lebih awal dari waktu yang telah ditentukan.
1993 Departemen pendidikan dan kebudayaan menerbitkan kebijakan tentang Sistem Penyelenggaraab Sekolah Unggul (School of Excellence) dan membukanya di seluruh provinsi sebagai langkah awal kembali untuk menyediakan program pelayanan khusus bagi peserta didik dengan cara mengembangkan aneka bakat dan kreativitas siswa
1994 Depdikbud mengeluarkan dokumen tentang “Pengembangan Sekolah Plus” yang menjadi naskah induk tentang “Sistem Penyelenggaran Sekolah Menengah Umum Unggul“
1998/ 1999 Dua sekolah swasta di DKI Jakarta dan stu sekolah swasta di Jawa Barat melakukan uji coba pelayanan pendidikan bagi anak berpotensi kecerdasan dan bakat istimewa dalam bentuk program percepatan belajar (akselerasi), yang mendapat arahan dari Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah
2000 Progran percepatan belajar dicanangkan oleh Menteri Pendidikan Nasional pada Rakernas Depdiknas menjadi Program Pendidikan Nasional.
Dirjen Dikdasem menyampaikan Surat Keputusan (SK) Mendiknas tentang penetapan Sekolah Penyelenggara Program Percepatan Belajar kepada 11 sekolah terdiri dari 1 SD, 5 SMP, dan 5SMA di DKI Jakarta dan Jawa Barat
2001/ 2002 Diputuskan penetapan kebijakan diseminasi program percepatan belajar pada beberapa sekolah di beberapa provinsi di Indonesia
2003 UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 5 ayat 4 menyebutkan warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
Pasal 32 ayat 1 Pendidikan khusus merupakanpendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan memiliki potensi kecerdasan dan bakal istimewa.
2006 Diterbitkan Permendiknas no. 34/ 2006 tentang Pembinaan Prestasi Peserta Didik yang memiliki Potensi Kecerdasan dan atau Bakat Istimewa.
Rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, pasal 115 sampai dengan pasal 118 tentang pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi dan atau bakat istimewa.
d. Karakteristik Pendidikan Khusus bagi PDCI/BI
Pendidikan khusus bagi PDCI/BI diselenggarakan dalam upaya mengoptimalkan pengembangan potensi kecerdasan istimewa peserta didik sehingga menghasilkan keluaran (output) yang unggul. Untuk mencapai keunggulan tersebut, maka masukan seperti: peserta didik, guru, layanan pendidikan, sarana penunjang, manajemen serta proses pendidikan diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut.
3. Model Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Bagi PDCI/BI
a. Bentuk penyelenggaraan pendidikan khusus bagi PDCI/BI
Penyelenggaraan program pendidikan khusus bagi PDCI/BI dapat dilakukan dalam bentuk kelas khusus, kelas inklusi, dan satuan pendidikan khusus.
1) Kelas khusus adalah kelas yang dibuat untuk kelompok peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan istimewa dalam satuan pendidikan reguler pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Mata pelajaran yang diberikan pada saat peserta didik CI/BI di kelas khusus adalah mata – mata pelajaran yang termasuk dalam rumpun matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
2) Kelas inklusif adalah kelas yang memberikan layanan kepada peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan istimewa dalam proses pembelajaran bergabung dengan peserta didik program reguler. Mata pelajaran yang diberikan pada saat peserta didik CI/BI dikelas khusus adalah mata – mata pelajaran lain di luar rumpun matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
3) Satuan pendidikan khusus adalah lembaga pendidikan formal pada jenjang pendidikan dasar (SD/MI, SMP/MTs) menengah (SMA. MA, SMK/ MAK) yang semua peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan istimewa dan atau bakat istimewa.
b. Bentuk Program pendidikan khusus bagi PDCI/ BI
Layanan pendidikan untuk perserta didik cerdas istinewa dapat berupa program pengayaan (enrichment) dan gabungan program percepatan dengan pengayaan (acceleration- enrichment).
Program pengayaan adalah pemberian pelayanan pendidikan kepada peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa yang dimiliki, dengan penyediaan kesempatan dan fasilitas belajar tambahan yang bersifat perluasan/ pendalaman, setelah yang bersangkutan menyelesaikan tugas – tugas yang diprogramkan untuk peserta didik lainnya. Program ini cocok untuk peserta didik yang bertipe “enriched learner”.
Bentuk layanan ini antara lain dengan memperkaya materi melalui kegiatan – kegiatan penelitian dan sebagainya. Di samping itu, ada kemungkinan juga peserta didik tersebut mendapatkan pengayaan dengan pendalaman, terutama bila ia akan mengikuti kejuaraan atau olimpiade untuk mata pelajaraan tertentu. Penekanan (fokus) layanan untuk kelompok ini adalah pada perluasan/ pendalaman materi yang dipelajari dan bukan pada kecepatan waktu belajar di kelas. Artinya siswa kelompok tetap menyelesaikan pendidikan di SD/ MI dalam jangka waktu 6 tahun atau SMP/ MTs dan SMA/ MA dalam waktu 3 tahun.
Sementara gabungan program percepatan dan pengayaan (acceleration - enrichment) adalah pemberian pelayanan pendidikan peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk dapat menyelesaikan program reguler dalam jangka waktu yang lebih singkat dibanding teman – temannya yang tidak mengambil program tersebut. Artinya peserta didik kelompok ini dapat menyelesaikan pendidikan di SD/ MI dalam jangka waktu 5 tahun, di SMP/ MTs atau SMA/ MA dalam waktu 2 tahun.
Dalam program ini, peserta didik tidak semata – mata memperoleh percepatan waktu penyelesaian studi di sekolah tetapi sekaligus memperoleh eskalasi atau pengayaan materi dengan penyediaan kesempatan dan fasilitas belajat yambahan yang bersifat perluasan/ pendalaman. Pemberian layanan akselerasi tanpa melakukan eskalasi atau pengayaan materi pada dasarnya sangat merugikan peserta didik (Stanley dalam Senuawan, C. 1997)
4. Kurikulum
Kurikulum pendidikan khusus bagi PDCI/ BI adalah kurikulum tingkat satuan pendidikan, yang berdeferensiasi dan dimodifikasi serta dikembangkan melalui sistem pembelajaran yang dapat memacu dan mewadahi integrasi antara pengembangan spiritual, logika, nilai – nilai, etika, dan estetika, serta dapat mengembangkan kemampuan berpikir holistik, kreatif, sistematik dan sistematis, linear, dan konvergen, untuk memenuhi tuntutan masa kini dan masa mendatang.
Diferensiasi kurikulum hendaknya dikembangkan dengan berfokus pada :
a Kecepatan belajar yang dipercepat dengan pengulangan (repetisi) minimal
b Penguasaan kurikulum nasional dalam waktu lebih singkat
c Materi lebih abstrak, lebih kompleks, lebih mendalam
d Penggunaan keterampilan belajar dan menerapkan strategi pemecahan masalah
e Berorientasi pada peserta didik
f Belajar berkelanjutan serta menerapkan keterampilan penelitian
g Bekerja secara mandiri
h Adanya interaksi dengan pakar
Diferensiasi kurikulum pendidikan khusus bagi PDCI/ BI dapat dilakukan melalui tiga jalur : enrichment (pengayaan) yaitu kegiatan belajar yang memungkinkan perluasan materi kurikulum, extension (pendalaman) yaitu kegiatan belajar yang memungkinkan investigasi bidang studi secara lebih mendalam, dam acceleration (percepatan) yaitu materi kegiatan belajar yang memungkinkan untuk menyelesaikan materi belajar dalam waktu yang lebih singkat (Davis dan Rimm, 1998)
I. Contoh Anak Gifted
a. Kim Ung-Yong, manusia Ber-IQ Tertinggi di Dunia
Lahir pada tahun 1962, Anak dari Korea ini dinobatkan sebagai manusia jenius di seluruh dunia. Bayangkan Pada unur 4 tahun, dia sudah bisa membaca huruf Jepang, Korea, Jerman, Inggris. Pada umur 5 tahun ia mampu memacahkan masalah pada soal kalkulus. ia mencatatkan dirinya pada Guinness Book of World Records dengan "Highest IQ" 210.
b. Gregory Smith, mendapatkan Penghargaan Nobel Pada Usia 12
Lahir pada tahun 1990, Gregory Smith mencatatkan namanya pada nobel perdamaian. berkat usahanya dalam mendirikan International Youth Advocates. Perkumpulan Orang muda seluruh dunia.
c. Akrit Jaswal, dokter Bedah usia 7 tahun
Julukan "anak terpandai di dunia" telah melekat pada Akrit Jaswal, seoarang anak dari India. Ia mengejutkan Publik, ketika pada umur 7 tahun melakukan pembedahan pada seorang gadis lokal di tempatnya. Gadis itu menderita luka bakar di tangannya, hingga tangannya tidak dapat dibuka, dan jaswal pun melakukan pembedahan hingga jemari gadis itu bisa terbuka seperti sediakala. Ia tercatat sebagai dokter paling muda di dunia, ia diterima di Universitas pada usia 11 tahun.
d. Aelita Andre, pelukis di usia 2 tahun
Anak kelahiran Australia ini, baru berumur dua tahun sudah menunjukkan kualitasnya sebagai jenius, ia memiliki sebuah gedung pertunjukkan untuk karya-karya abstraknya. Pada mulanya Mark Jamieson, direktur dari Brunswick Street Gallery di Melbourne's Fitzroy. Tertarik melihat sebuah poto lukisan dari Aelita Andre. dan dia menginginkannya bergabung dalam grupnya karena bakat lukisannya itu. Ketika undangan telah dibuat, ia baru saja menyadari bahwa Aelita adalah anak yang masih berumur 22 bulan. Namun ia tetap melanjutkan pertunjukannya itu.
e. Michael Kevin Keaulus, kuliah pada umur 10 tahun
Kaerny, lahir tahun 1984, ia menyelesaikan kuliah pada umur 10 tahun.
dan tercatat sebagai sarjana termuda. ia mengajar universitas pada usia 17 tahun.
f. Elaina Smith, penyiar Usia 7 tahun
Dalam usianya yang 7 tahun Elaina telah menjadi penyiar radio dengan pendengar yang melebihi umurnya. Elaina banyak memberikan solusi tentang percintaan kepada para pendengarnya. Bagaimana caranya memutuskan pacar, Bagaimana caranya untuk membina hubungan yang harmonis.
g. March Boediharjo, mahasiswa termuda di universitas baptish di hongkong
Dia akan memiliki gelar sarjana sains ilmu matematika sekaligus master filosofi matematika. Karena keistimewaannya itu, perguruan tinggi tersebut menyusun kurikulum khusus untuknya dengan jangka waktu penyelesaian lima tahun (dari 2007).
h. Gelar anak paling pintar sedunia sudah dimiliki oleh Ainan Cawley, yang lahir pada 23 November 1999. Dia mampu menguasai kimia dan fisika saat berusia tujuh tahun. Dalam standar normal, kemampuan itu baru bisa dicapai ketika usia 16 tahun. Saat ini, di usia sepuluh tahun, Ainan melanjutkan studinya di Universitas Help di Malaysia.
Laboratorium kimia kampus Help menjadi lahan bagi Ainan dalam menuntaskan studinya meraih gelar sarjana. Meski memiliki kemampuan luar biasa, Ainan Celesty Cawley tetap seperti anak-anak kebanyakan. Ia juga hobi bermain game dan berkumpul bersama dua saudaranya. Ainan sedang merancang mobil olah raga berkecepatan tinggi. Kemampuannya yang luar biasa pada kimia sudah ditunjukkan saat ia masih berusia tujuh tahun dengan lulus ujian kimia yang diberikan kepadanya. Namun, mesti juga ada catatan bahwa sering kali tekanan dan lingkungan yang tidak tepat menjadi kendala bagi perkembangan psikologi si anak. Dan Ainan, di usia belianya, masih perlu waktu untuk menyesuaikan diri. IQ anak ini 200 lebih tinggi dari pada albert einstein.
BAB III
KESIMPULAN
Berikut beberapa simpulan dari bahasan mengenai gifted ( yang telah dipaparkan diatas) yaitu :
1. Gifted adalah istilah yang dipakai pada individu yang memiliki kemampuan superior dengan kemampuan berfikir atau prestasi akademik, memiliki keunggulan pada segi biologis, psikologim dan sosial.
2. Karakteristik akademik, sosial, dan psikologis anak – anak gifted diatas rata – rata atau memiliki keunggulan dibandingkan perkembangan karakteristik pada anak – anak normal.
3. Kebanyakan faktor hereditas atau keturunan yang menimbulkan atau membentuk anak – anak gifted. Tetapi dibarengi dengan faktor lingkungan yang mendukung mereka (anak – anak gifted) untuk mengembangkan potensi besar yang ada dalam dirinya masing – masing.
4. Bagi anak gifted yang tidak mendapatkan layanan atau perhatian dari orang dewasa, lingkungan yang tidak mendukung justru akan menimbulkan masalah. Seperti kesulitan dalam bergaul dikehidupan sosial, sulit menerima pelajaran karena kebingungan membangun konsep, kesulitan dalam mengelola emosi.
5. Layanan khusus bagi anak – anak gifted (peserta didik cerdas istimewa dan atau bakat istimewa) adalah berupa program pengayaan (enrichment), atau gabungan program pengayaan dan percepatan (acceleration - enrichment)
DAFTAR PUSTAKA
Coleman, Laurence J. 1985. Schooling The Gifted. Canada : Addison- Wesley Publishing Company.
Departemen Pendidikan Nasional. (2007) Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan untuk peserta didik Berkecerdasan Istimewa. Jakarta : Direktorat Pembinaan Pendidikan Luar Biasa
Ichrom, Moch Sholeh Y. A. 1988. Perpektif Pendidikan Anak Gifted. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
digilib.sunan-ampel.ac.id/ ricows.wordpress.com/
staff.uny.ac.id
cugenanggiftedschool.sch.id
edukasi.kompasiana.com
gifted-disinkroni.com
tksenaputra.blogspot.com/
cae-indonesia.com/perbedaan-perilaku-anak-adhd-dengan-anak-gifted/
episentrum.com/search/contoh-anak-gifted-di-indonesia.html
sites.google.com/site/tantataba/anak-gifted
bintang-badal.blogspot.com/.../bakat-anak-gifted-talented-genius.html
www.anakku.net/mengenali-anak-berbakat.html
http://kelas-inklusi.blogspot.com/
http://gifted-disinkroni.blogspot.com/2008/04/athenium-sekolah-khusus-gifted-and.html
http://giftedindonesia.wordpress.com/2008/04/17/setiap-anak-adalah-anak-gifted-berbakat-istimewa-benarkah/ [30 September 2012]
Indonesia, gifted. 2008. Karakteristik anak istimewa (Gifted Child). Tersedia
http://giftedindonesia.wordpress.com/2008/04/23/karakteristik-anak-berbakat-istimewa-gifted-child/ [30 September 2012]
pancuran-air.blogspot.com/2011/04/10-anak-terpintar-di-dunia.html
www.hai-online.com
PENGERTIAN ANAK BERKESULITAN BELAJAR
Kesulitan belajar atau gangguan belajar (learning disorder, LD) adalah gangguan belajar pada anak yang ditandai dengan adanya kesenjangan yang signifikan antara taraf intelegensi dengan kemampuan akademik yang seharusnya dicapai. Anak berkesulitan belajar, adalah salah satu dari mereka yang berada dalam kelompok anak berkebutuhan khusus (children with special needs). Mereka adalah anak yang memiliki disfungsi minimum otak (DMO), sehingga menyebabkan tercampur aduknya sinyal-sinyal di antara indera otaknya atau terjadi gangguan di dalam sistem sataf pusat otak (neurobiologist) yang menimbulkan gangguan berbagai perkembangan, misalnya gangguan berbicara, berbahasa serta kemampuan akademiknya.
B. Faktor Penyebab Anak Berkesulitan Belajar
Penyebab hambatan perkembangan belajar lebih bersifat intrinsik, bukan karena faktor eksternal (dari luar) seperti lingkungan atau sistem pendidikan, melainkan karena faktor dari dalam individu itu sendiri, dan diperkirakan karena disfungsi sistem syaraf pusat. Hambatan tersebut dapat juga terjadi bersamaan dengan hambatan/gangguan lainnya (misal hambatan penginderaan atau tunarungu atau tunanetra, terbelakang mental, hambatan sosial dan emosi) atau pengaruh lingkungan (misal perbedaan kultur, pengajaran yang tidak cukup atau tidak sesuai, faktor psikogenik). Pada prinsipnya hambatan yang terjadi ini bukanlah akibat langsung dari gangguan atau hambatan karena faktor-faktor eksternal tersebut.
Kemungkinan yang paling tinggi sebagai penyebab terjadinya hambatan perkembangan belajar ini adalah karena hambatan perkembangan otak (sistem syaraf pusat) pada masa prenatal, perinatal, dan selama usia satu tahun pertama. Hambatan-hambatan tersebut biasanya dapat berupa pendarahan di otak, mengalami sesak napas pada saat komplikasi kelahiran sehingga sel-sel otak kekurangan oksigen. Selain itu juga ada beberapa risiko selama kehamilan yang dapat menyebabkan seorang individu mengalami kesulitan belajar ketika sudah masuk usia sekolah, seperti: infeksi rubella, malnutrisi (kekurangan protein dan vitamin yang dibutuhkan tubuh selama dalam kandungan), atau stress yang terus menerus yang dialami oleh ibu yang sedang hamil, dan beberapa faktor instrinsik lainnya.
Sedangkan Hambatan Belajar Spesifik (Specific Learning Disabilities), faktor penyebabnya bukan karena adanya gangguan-gangguan perseptual, kerusakan otak (brain- injury), disfungsi minimal otak (minimal brain dysfunction), kesulitan membaca (dyslexia), dan perkembangan aphasia, tetapi faktor penyebab hambatan belajar spesifik dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu: medikal, psikologis, dan edukasi. Pada aspek medical, hambatan belajar dapat diidentifikasi dari fakta adanya gangguan psikis/anatomis. Berdasarkan dimensi psikologis, hambatan belajar spesifik disebabkan oleh disfungsi proses komunikasi/belajar. Dikaji dari aspek pendidikan, hambatan belajar spesifik disebabkan karena kegagalan untuk mencapai prestasi akademik atau tingkah laku yang diharapkan.
Kesulitan belajar tidak hanya dialami oleh siswa yang berkemampuan di bawah rata-rata (learning difficulties), tetapi dapat dialami oleh siswa dengan tingkat kemampuan manapun dengan sumber kesulitan yang beragam. Mengutip Brueckner dan Bond, Cooney, Davis, dan Henderson (1975) sumber kesulitan itu dikelompokkan menjadi lima faktor, yaitu: (1) Faktor Phisiologis, (2) Faktor Sosial, (3) Faktor Emosional, (4) Faktor Intelektual, dan (5) Faktor Pedagogis.
a. Faktor Fisiologis
Cooney dkk. (1975) berpendapat bahwa ada hubungan antara faktor phisiologis dengan kesulitan belajar siswa. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh kenyataan bahwa persentase kesulitan belajar siswa yang mempunyai gangguan penglihatan lebih banyak dari pada yang tidak mengalaminya. Demikian pula terjadi pada siswa yang mempunyai gangguan pendengaran dibandingkan dengan yang tidak mengalaminya. Hal yang serupa juga terjadi pada siswa yang mempunyai gangguan neurologis (sistem syaraf). Sistem koordinasi sistem syaraf yang terganggu menyebabkan kendala dalam siswa belajar sesuatu. Dalam hubungannya dengan faktor-faktor di atas, guru, umumnya tidak memiliki kemampuan atau kompetensi yang memadai untuk mengatasinya, yang dapat dilakukan guru hanyalah memberikan kesempatan kepada siswa yang memiliki gangguan dalam penglihatan atau pendengaran tersebut untuk duduk lebih dekat ke meja guru. Selebihnya, hambatan belajar tersebut hendaknya diatasi melalui kerjasama dengan pihak yang memiliki kompetensi sehingga dapat menanganinya lebih baik.
b. Faktor Sosial
Jika sepulang dari sekolah seorang siswa senantiasa ditanya ibunya tentang keadaan kegiatan belajarnya di sekolah, dan ibu itu memberikan dorongan positif atas kekurangberhasilan atau keberhasilan anaknya, maka perhatian ibu itu akan dapat mendorong siswa untuk senantiasa berusaha belajar. Hubungan orang tua dengan anaknya, dan tingkat kepedulian orang tua tentang masalah belajarnya di sekolah, merupakan faktor yang dapat memberikan kemudahan, atau sebaliknya menjadi faktor kendala bahkan penambah kesulitan belajar siswa. Hal yang dapat memberikan kemudahan antara lain: kasih sayang, pengertian, dan perhatian atau kepedulian (misalnya “menyertai” anaknya belajar, dan tersedianya tempat belajar yang kondusif. Di samping itu faktor ekonomi pun merupakan faktor, baik positif maupun negatif. Siswa yang mengalami masalah sosial di rumahnya biasanya dari kalangan keluarga yang kurang menaruh perhatian pada perkembangan anaknya. Hal ini mungkin dari kepedulian yang rendah terhadap belajar anaknya, yang dapat terjadi dari kalangan yang ekonominya lemah maupun kuat.
Keluarga yang mempunyai kemudahan dalam memberikan mainan dan bacaan edukatif kepada anaknya yang masih belajar di tingkat pendidikan dasar, akan memberikan kesempatan lebih baik bagi anak-anaknya untuk berkembang dan mengatasi kesulitan mereka di kelas. Usaha-usaha yang dilakukan melalui permainan manipulatif bangun datar, bangun ruang dan permainan manipulatif lainnya memberikan tantangan yang dapat mengembangkan alternatif dalam mengatasi kesulitan belajar. Ini berpengaruh untuk mereka di tingkat menengah atas. Faktor sosial di dalam dan di luar kelas dalam lingkungan sekolah juga berpengaruh terhadap kelancaran atau kesulitan belajar siswa. Siswa yang kurang dapat bergaul atau menyesuaikan dengan situasi kelas oleh berbagai sebab, yang menyebabkan ia merasa terpencil, terhina atau senantiasa menjadi bahan ejekan atau olokan, merupakan faktor penghambat, meskipun bagi sedikit siswa yang biasa mengatasi masalah hal itu dapat digunakannya sebagai pemacu untuk menunjukkan eksistensinya.
Interaksi antar siswa yang kurang dibiasakan dalam kegiatan di kelas dapat menyebabkan masalah sosial: anak yang merasa kurang semakin menyendiri, sebaliknya dengan kebiasaan lainnya di rumah ia dapat mengalihkannya dengan minta perhatian guru. Secara umum siswa yang terlalu tertutup atau terlalu terbuka mungkin adalah siswa yang mengalami masalah sosial di rumah atau tekanan dari teman atau mungkin orang tuanya. Jadi lingkungan belajar di sekolah juga merupakan salah satu faktor sosial kesulitan belajar siswa. Masalahnya perlu dikaji, dan penyelesaiannya mungkin memerlukan bantuan wali kelas, guru bimbingan atau pihak luar yang lebih memahami masalah siswa tersebut.
c. Faktor Emosional
Masalah siswa yang termasuk dalam faktor emosional dapat disebabkan oleh:
a. Obat-obatan tertentu, seperti obat penenang, ekstasi, dan lain-lain yang sejenis.
b. Kurang tidur.
c. Diet yang tidak tepat.
d. Hubungan yang renggang dengan teman terdekat.
e. Masalah tekanan dari situasi keluarganya di rumah.
Mengutip Teaching About Drug Abuse (1972:22-26), Cooney dkk (1975) menyatakan bahwa siswa yang menelan pil ekstasi kemalasannya naik luar biasa, sekonyong-konyong menunjukkan perangai yang tidak rasional, depresi, tak sadar, atau sebaliknya: tertawa-tawa. Tampilannya berubah tiba-tiba, kesehatan menurun. Hal-hal demikian jelas merupakan sumber kesulitan dalam menerima pelajaran, apalagi dalam belajar matematika. Akibatnya siswa akan kurang menaruh perhatian terhadap pelajaran, atau mudah mengalami depresi mental, emosional, kurang ada minta membaca buku maupun menyelesaikan pekerjaan rumah. Siswa yang terkena narkoba biasanya daya ingatnya menurun. Penanganan kesulitan belajar yang disebabkan oleh hal-hal di atas sebaiknya dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi, baik psikologis maupun higienis.
d. Faktor Intelektual
Siswa yang mengalami kesulitan belajar disebabkan oleh faktor intelektual, biasanya selalu tidak berhasil paling tidak dalam menguasai konsep, prinsip, atau algoritma, walaupun telah berusaha mempelajarinya. Siswa yang mengalami kesulitan mengabstraksi, menggeneralisasi, mendeduksi dan mengingat konsep-konsep maupun prinsip-prinsip biasanya akan selalu merasa bahwa matematika itu sulit. Siswa demikian biasanya juga mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah terapan atau soal ceritera. Ada juga siswa yang kesulitannya terbatas dalam materi tertentu, tetapi merasa mudah dalam materi lain.
e. Faktor Pedagogis
Di antara penyebab kesulitan belajar siswa, faktor kurang tepatnya guru mengelola pembelajaran dan menerapkan metodologi merupakan faktor yang sering terjadi. Misalnya guru masih kurang memperhatikan kemampuan awal yang dimiliki siswa. Tanpa memperhatikan pengetahuan dasar yang diperlukan dalam suatu pengembangan materi, guru langsung masuk ke materi baru. Ketika terbentur kesulitan siswa memahaminya, guru mengulang pengetahuan dasar yang diperlukan. Kemudian melanjutkan lagi materi baru yang pembelajarannya terpenggal. Jika ini berlangsung dan bahkan tidak hanya sekali dalam suatu pertemuan, maka kesulitan umum muncul: kebingungan karena tidak terstrukturnya bahan ajar yang mendukung tercapainya suatu kompetensi. Dengan kata lain, struktur pengajaran yang tertata secara baik akan memudahkan siswa, paling tidak mengurangi kesulitan belajar siswa.
Kesulitan itu dapat terjadi karena guru kurang memberikan latihan yang cukup di kelas dan memberikan bantuan kepada yang memerlukan, meskipun ia sudah berusaha dengan jelas menerangkan materinya. Secara umum, cara guru memilih metode, pendekatan, dan strategi dalam pembelajaran akan berpengaruh terhadap kemudahan atau kesulitan siswa dalam belajar siswa. Dengan belum mantapnya lembaga pendidikan secara umum. Guru yang selalu meremehkan siswa, guru yang tidak bisa memotivasi siswa untuk belajar lebih giat, guru yang membiarkan siswanya melakukan hal-hal yang salah, guru yang tidak pernah memeriksa pekerjaan siswa, sekolah yang membiarkan para siswa bolos tanpa ada sanksi tertentu, adalah contoh dari faktor-faktor penyebab kesulitan dan pada akhirnya akan menyebabkan ketidakberhasilan siswa tersebut.
C. Identifikasi Awal Anak Berkesulitan Belajar
Identifikasi (pengenalan) dini pada perkembangan anak merupakan suatu proses yang penting untuk memahami potensi dan kebutuhan mereka. Semakin dini proses ini dilakukan, maka upaya pengembangan potensi anak juga semakin efektif. Identifikasi dini pada masa sekolah sangat menentukan perkembangan anak-anak di masa mendatang. Apabila di usia sekolah itu kita salah dalam memahami dan memperlakukan anak, maka perkembangan anak-anak di usia sekolah menjadi terhambat.
Pandangan dan perlakuan yang salah itu antara lain:
1. Masa kanak-kanak dianggap sebagai penembus masa kedewasaan, dimana semua kebutuhan anak ditentukan secara sepihak oleh orang dewasa.
2. Sifat-sifat moral baik diajarkan, pola berpikir dididik, dan kekayaan budaya ditanamkan dengan model orang dewasa memahaminya.
3. Anak harus bekerja sebagaimana orang dewasa bekerja.
4. Keteraturan internal anak didektekan dari luar atau atas kehendak orang dewasa. Dengan pandangan dan perlakuan yang salah terhadap anak mengakibatkan perkembangan anak diatur orang dewasa, kebebasan anak yang sesuai dengan dunianya hilang, kepatuhan dan disiplin anak tercipta karena otoritas orang dewasa, dan anak menjadi objek pendidikan dan pengajaran orang dewasa.
Jadi pada prinsipnya dunia anak itu tidak sama dengan dunia orang dewasa. Anak dan orang dewasa merupakan dua makhluk yang sangat berbeda yang hidup dalam satu kebersamaan yang dapat menimbulkan pertikaian. Orang dewasa adalah manusia yang mempunyai kemauan dan berkuasa, sedangkan anak kecil adalah manusia yang tidak tahu apa-apa, dan tanpa daya mempercayakan dirinya dalam perlindungan orang dewasa. Di samping itu orang dewasa menciptakan lingkungan sesuai dengan kebutuhannya, sehingga dalam lingkungan ini anak bagaikan bukan makhluk sosial, tetapi bagaikan orang asing di dalam sistem sosial orang dewasa, dan anak merasakan bahwa ”tempatku bukan ini“. Dengan demikian semakin jelas bahwa irama kerja anak tidak sama dengan irama kerja orang dewasa.
Untuk mengetahui apakah seorang anak memiliki kecenderungan berkesulitan belajar diperlukan pendeteksian yang cermat. Namun, secara umum bisa dilakukan hal-hal seperti di bawah ini:
Pada Usia Pra-sekolah
1. Terlambat bicara dibanding dengan anak seusianya.
2. Memiliki kesulitan dalam pengucapan beberapa kata
3. Dibanding anak seusianya, penguasaan jumlah katanya lebih sedikit (terbatas)
4. Sering tidak mampu menemukan kata yang sesuai untuk satu kalimat yang akan dikemukakan
5. Sulit mempelajari dan mengenali angka, huruf dan nama-nama hari
6. Sulit merangkai kata untuk menjadi sebuah kalimat
7. Sering gelisah yang berlebihan
8. Mudah terganggu konsentrasinya
9. Sulit berinteraksi dengan teman seusianya
10. Sulit mengikuti instruksi yang diberikan untuknya
11. Sulit mengikuti rutinitas tertentu
12. Menghindari tugas-tugas tertentu, misalnya menggunting dan menggambar
Pada Usia Sekolah
1. Daya ingatnya terbatas (relatif kurang baik)
2. Sering melakukan kesalahan yang konsisten dalam mengeja dan membaca, Misalnya atau biasanya, huruf d dibaca b (misalnya duku dibaca buku atau sebaliknya buku dibaca duku), w dibaca m (misalnya waru dibaca baru atau sebaliknya baru dibaca waru), p dibaca q , w dibaca m dan lain sebagainya. Bila ini yang terjadi mereka termasuk dalam kelompok berkesulitan belajar disleksia.
3. Lambat untuk mempelajari hubungan antara huruf dengan bunyi pengucapannya.
4. Bingung dengan operasionalisasi tanda-tanda dalam pelajaran matematika. Misalnya, tak dapat membedakan arti dari simbol – (minus) dengan simbol + (plus), simbol + dengan simbol x (kali) dan lain sebagainya.
5. Sulit dalam mempelajari keterampilan baru, terutama yang membutuhkan kemampuan daya ingatnya.
6. Sangat aktif dan tidak mampu menyelesaikan tugas atau kegiatan tertentu dengan tuntas. Kalau ini yang terjadi mereka termasuk dalam kelompok berkesulitan belajar hiperaktif atau GPPH (gangguan pemusatan pemikiran dan hiperaktifitas).
7. Impulsif (bertindak tanpa dipikir terlebih dahulu)
8. Sulit berkonsentrasi
9. Sering melanggar aturan yang ada, baik di rumah maupun di sekolah
10. Tidak mampu berdisiplin (sulit merencanakan kegiatan sehari-harinya)
11. Emosional (sering menyendiri), pemurung, mudah tersinggung, cuek terhadap lingkungannya
12. Menolak bersekolah
13. Tidak stabil dalam memegang alat-alat tulis.
D. Klasifikasi Anak Berkesulitan Belajar
Kesulitan belajar dapat dibagi menjadi 3 kategori yaitu:
1) Kesulitan dalam berbicara dan berbahasa
2) Permasalahan dalam hal kemampuan akademik
3) Kesulitan lainnya, yang mencakup kesulitan dalam mengoordinasikan gerakan anggota tubuh serta permasalahan belajar yang belum dicakup oleh kedua kategori diatas.
1) Kesulitan Dalam Berbicara Dan Berbahasa
Kesulitan dalam berbicara dan berbahasa dapat menjadi indikasi awal bagi kesulitan belajar yang dialami seorang anak. Berikut ini adalah ciri-ciri spesifik anak yang mengalami gangguan dalam berbicara dan berbahasa :
a) Keterlambatan dalam hal pengucapan bunyi bahasa.
Anak-anak yang mengalami gangguan ini biasanya mengalami masalah dalam mengucapkan sesuatu dengan tepat. Hampir 10 % anak dibawah usia 8 tahun mengalami kesulitan ini. Hal ini dapat diantisipasi dengan terus diadakannya terapi bicara agar dilatih terus-menerus dalam berbicara dan mengenal bahasa.
b) Keterlambatan dalam hal mengekspresikan pikiran atau gagasannya melalui bahasa yang baik dan benar.
c) Keterlambatan dalam hal pemahaman bahasa.
2) Gangguan Kemampuan Akademik
Seorang anak dapat didiagnosis mengalami gangguan ini apabila mengalami :
a) Keterlambatan dalam hal membaca
Tipe gangguan ini disebut juga dengan disleksia. Pada kenyataannya, kesulitan membaca dialami oleh 2-8 persen anak usia sekolah dasar. Para ahli berpendapat bahwa penderita disleksia mengalami ketidakmampuan dalam membedakan dan memisahkan bunyi dari kata-kata yang diucapkan.
b) Keterlambatan dalam hal menulis
Menulis juga memerlukan koordinasi berbagai bagian dan fungsi otak. Bagian-bagian yang mengatur perbendaharaan kata, tata bahasa, gerakan tangan dan ingatan harus berada dalam kondisi serta koordinasi yang baik. Permasalahan dalam hal ini dapat mengakibatkan gangguan dalam kemampuan meuis seseorang.
c) Keterlambatan dalam hal berhitung
Berhitung melibatkan pengenalan angka-angka, pemahaman berbagai simbolis matematis, mengingat berbagai fakta seperti table perkalian dan pemahaman konsep-konsep abstrak seperti nilai tempat serta pecahan. Hal seperti ini mungkin terasa begitu sulit bagi anak-anak penderita kesulitan berhitung. Masalah dengan angka-angka atau konsep dasar sepertinya datang sejak awal. Sedangkan masalah yang berkaitan dengan matematika yang baru terjadi pada kelas-kelas terakhir lebih sering berkaitan dengan logika.
3) Gangguan Belajar Lainnya
Hampir 4 juta anak sekolah menderita kesulitan belajar. Berdasarkan data yang ada, 20 % dari mereka mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian. Jka mengamati keseluruhan penderita ADHD (Attention Deficit Hiperactivity Disorder = Gangguan Hiperaktif Memusatkan Perhatian) pada diri anak-anak, yang sebagian besar diderita anak laki-laki, gangguan perhatian sering diikuti dengan sikap yang hiperaktif. Kesulitan dalam memusatkan perhatian, baik yang disertai sikap hiperaktif ataupun tidak, tidak dianggap sebagai kesulitan belajar. Namun, kesulitan dalam memusatkan perhatian dapat memengaruhi akademis seseorang secara serius.
E. Implementasi Pemberian Layanan (Pendidikan) Pada Anak Berkesulitan Belajar
Di dalam memberikan layanan pendidikan kepada anak-anak yang mengalami hambatan perkembangan belajar, seorang guru tidak dapat bekerja sendiri. Mengingat keterbatasan pada setiap orang. Dengan bekerja sendiri seorang guru tidak dapat memperoleh spektrum pengetahuan dan keterampilan yang luas dan tidak mempunyai waktu yang cukup untuk menangani sendiri. Untuk melakukan diagnosis dan evaluasi dengan tepat sesuatu kasus ini dibutuhkan pengetahuan yang spesifik, seperti: Neurologi, Pedagogi, Psikologi, Terapi bicara, Fisioterapi dan lain-lain. Pengetahuan ini dapat diperoleh melalui kerjasama dengan para ahli lainnya.
Hambatan perkembangan belajar yang banyak dialami oleh siswa Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah itu disebabkan oleh faktor internal pada diri anak yang tentu saja berimplikasi kepada kesulitan belajar membaca, menulis, dan berhitung. Sehingga dalam memecahkan permasalahan belajar anak seperti ini, kita harus mulai dari kondisi dalam diri (internal) anak seperti persepsi penglihatan, pendengaran, taktile (perabaan), dan motorik-kinestetik (gerakan otot dan tulang), yang merupakan akar dan dasar dari munculnya kesulitan tersebut, bukan diawali dari produk belajarnya yang berupa kesulitan akademis (membaca, menulis, atau matematika).
Misal dalam kesulitan menulis, ada dua kemampuan dasar yang diperlukan anak-anak sekolah untuk mengembangkan keterampilan menulisnya, yaitu kemampuan keterampilan tangan dan kemampuan intelektual. Kemampuan keterampilan tangan, seperti: kemampuan menggerakkan pergelangan tangan secara fleksibel, jari-jari menulis harus dapat memgang pinsil dengan benar, gerakan mencoret harus dapat membuat suatu bentuk dalam satu bidang, sehingga dapat memperlancar gerakan menulis, dan anak harus dapat menggambar sendiri suatu bentuk sampai kemapuan motorik dan penginderaannya berkembang agar mereka mampu membedakan berbagai bentuk. Sedangkan kemampuan intelektual meliputi: berpikir logis, misalnya: ketepatan artikulasi dalam bicara, perbendaharaan kata cukup dan dapat ditangkap dalam pikirannya, mengenal simbol-simbol huruf dan lafalnya yang sesuai, dan kemampuan menganalisa lafal huruf dalam kata, menyatukan kembali dengan benar lafal-lafal huruf tadi menjadi kata (sintesa).
Adapun kegiatan yang perlu diajarkan mencakup: kegiatan sehari-hari yang menuntut keterampilan koordinasi motorik dan kontrol gerakan otot yang teratur dan terarah, serta menggerakkan pergelangan tangan dengan lentur dan lancar serta melatih kepekaan ujung-ujung jari menulis. Di samping itu juga perlu ditunjang dengan kegiatan tingkat lanjut, seperti: menelusuri bentuk-bentuk geometri dengan menggunakan pinsil dan mengarsir bentuk yang sudah tergambar, mengucapkan lafal-lafal huruf, menelusuri huruf-huruf dari kertas ampelas. Menyusun potongan-potongan huruf menjadi kata, dan menuliskan kata yang dibentuknya serta membacakannya untuk orang lain.
Kemampuan dasar lain yang diperlukan untuk pengembangan kemampuan dasar akademik pada siswa SD dan SMP adalah kemampuan sensorimotor (penginderaan). Pada tahap awal yang perlu diajarkan adalah: kemampuan membedakan macam-macam bunyi, kepekaan membedakan macam-macam bunyi dan irama, kepekaan terhadap bunyi-bunyi pada gerakan benda atau manusia, ketajamanan pengamatan dalam membedakan berbagai ukuran, kemampuan membedakan ukuran pada bentuk berdimensi tiga, kemampuan membedakan macam-macam bentuk geometri bidang datar, dan kemampuan membedakan bentuk-bentuk dan lafal-lafal huruf dari ampelas. Jika kemampuan dasar tersebut telah dikuasai, maka bisa dilanjutkan pada pengembangan kemampuan membaca kata yang tidak mengandung sisipan dan akhiran, membaca nama-nama benda yang telah dikenal dengan menyajikan bendanya dalam ukuran kecil (miniatur), dan membaca nama-nama benda yang ada di sekitarnya dari kata yang telah ditulis pada sepotong kertas, serta menulis huruf besar yang disambung dengan huruf kecil juga bisa mulai diperkenalkan.
Setelah kemampuan tersebut dikuasai, bisa dilanjutkan membaca kata atau kalimat yang mengandung sisipan dan akhiran, yang meliputi: membaca klasifikasi dari kartu bergambar, membaca kalimat tugas yang ditulis pada sepotong kertas, dan membaca buku bacaan kecil yang memuat gambar dan kalimat-kalimat pendek yang sesuai. Dengan melalui penguasaan kemampuan dasar membaca itu, maka kemampuan anak-anak bisa ditingkatkan kepada kemampuan membaca definisi suatu benda dengan menggunakan kartu bergambar dan kartu kata; serta menganalisis kalimat untuk mencapai pengertian membaca lanjut (total).
F. Peran Orang Tua dan Guru Terhadap Anak Berkesulitan Belajar
a. Peran Guru
Guru untuk menangani anak berkesulitan belajar sebaiknya memperoleh pendidikan khusus dalam bidang tersebut pada jurusan atau program pendidikan luar biasa di lembaga pendidikan tenaga kependidikan. Atau sekurang-kurangnya mereka mendapatkan pelatihan khusus yang memadai tentang pendidikan bagi anak berkesulitan belajar.
b. Peran Orang Tua
Ada 3 reaksi orangtua terhadap anaknya yang berkesulitan belajar yaitu: sikap menolak atau tidak dapat menerima kenyataan, reaksi kompensasi yang berlebihan dan sikap menerima anak sebagaimana adanya. Adapun program bimbingan dan latihan bagi orangtua anak berkesulitan belajar, yaitu:
1. Program bimbingan bagi orangtua
Ada dua macam pendekatan dalam memberikan bimbingan bagi orangtua: 1) pendekatan informasional dan (2) pendekatan psikoteraputik. Pendekatan informasional, menekankan pada pemberian informasi atau pengetahuan tentang anak berkesulitan belajar. Pendekatan psikoteraputik, memasukkan perhatian pada usaha membantu orangtua memahami konflik keluarga dan gangguan emosional yang disebabkannya.
2. Program latihan bagi orangtua
Program ini ditunjukkan kepada para orangtua untuk memperoleh keterampilan mengajar, berinteraksi, dan mengelola perilaku anak di rumah. Latihan keterampilan mengajar biasanya terkait dengan mata pelajaran membaca, menulis, dan berhitung. Ada dua macam pendekatan dalam program latihan bagi orangtua. Kedua pendekatan tersebut adalah (1) pendekatan komunikasi dan (2) pendekatan keterlibatan. Pendekatan komunikasi, menekankan pada penyelenggaraan komunikasi langsung antara orangtua dengan anak. Pendekatan keterlibatan, menekankan pada upaya pemecahan masalah praktis melalui kerja sama kelompok. Berdasarkan pendekatan keterlibatan, orangtua diminta untuk menyajikan berbagai masalah praktis kepada kelompok orangtua, dan kemudian mereka mencoba memecahkan masalah sesuai dengan saran yang dikemukakan kelompok orangtua.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dengan adanya sekolah inklusi saat ini merupakan alternatif bagi anak berkebutuhan khusus terutama bagi anak berkesulitan belajar. Yang dimaksud dengan kesulitan belajar atau gangguan belajar (learning disorder, LD) adalah gangguan belajar pada anak yang ditandai dengan adanya kesenjangan yang signifikan antara taraf intelegensi dengan kemampuan akademik yang seharusnya dicapai. Adapun faktor penyebab dari kesulitan belajar antara lain disebabkan oleh (1) Faktor Phisiologis, (2) Faktor Sosial, (3) Faktor Emosional, (4) Faktor Intelektual, dan (5) Faktor Pedagogis.
Pengenalan dini pada perkembangan anak merupakan suatu proses yang penting untuk memahami potensi dan kebutuhan mereka. Semakin dini proses ini dilakukan, maka upaya pengembangan potensi anak juga semakin efektif. Identifikasi dini pada masa sekolah sangat menentukan perkembangan anak-anak di masa mendatang. Kesulitan belajar dapat dibagi menjadi 3 kategori yaitu, Kesulitan dalam berbicara dan berbahasa, Permasalahan dalam hal kemampuan akademik serta Kesulitan lainnya, yang mencakup kesulitan dalam mengoordinasikan gerakan anggota tubuh serta permasalahan belajar yang belum dicakup oleh kedua kategori lainnya.
3.2 Saran
Adanya kerjasama antara orang tua dan pihak sekolah atau pembimbing dari peserta didik yang mengalami kesulitan belajar. Menciptkan lingkungan yang mendukung potensi serta minat dan bakat peserta didik, sehingga peserta didik dapat mengeksplor potensi yang dimiliknya dan membangun kepercayaan diri dari peserta didik. Pendidik diharapkan mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas mengenai penanganan kesulitan belajar yang dialami peserta didik, pendidik serta orang tua berinovasi untuk memfasilitasi kegiatan pembelajaran peserta didik. Selain itu, pendidik diharapkan melakukan komunikasi yang intens dengan peserta didik ataupun dengan orang tua. Sehingga, dapat menemukan solusi cara pembelajaran yang tepat untuk setiap peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Yusuf, Syamsu. (2006). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Wood, Derek, dkk. (2007). Kiat Mengatasi Gangguan Belajar. Jogjakarta : Kata Hati
Anonim. (2011). Layanan Pendidikan Anak Berkesulitan Belajar. [online]. Tersedia: http://ericha-wardhani.blogspot.com [28 september 2012]
Anonim. (2009). Gangguan Kesulitan belajar. [Online]. Tersedia: http://medicastore.com [30 september]
Tarmidi. (2009). Kesulitan belajar. [Online]. Tersedia: http://tarmidi.wordpress.com/ KESULITAN BELAJAR 2009 [30 September 2012]
Anonim. (2010). Definisi dyslexia. [Online]. Tersedia: DEFINISI KESULITAN BELAJAR 2010 http://sukapsikologi.blogspot.com/2010/04/definisi-dyslexia.html [1 Oktober 2012]
Anonim. (2010). Anak Berkesulitan Belajar. [Online]. Tersedia:http://wartawarga.gunadarma.ac.id 2010 ABB [1 Oktober 2012]
No comments:
Post a Comment