Penulis : Eka Situmorang-Sir
Penerbit : Wahyumedia
Tahun : 2013
Hal : 394 hal
Sinopsis :
Berawal
dari rasa stres Kayla Ayu sang gadis tomboy atas nilai semester
kuliahnya yang jeblok dan kekecewaan orang tuanya, Kayla lalu berlibur
ke tempat kakek neneknya di Yogyakarta. Di dalam kereta, Kayla
berkenalan dengan seorang pria tampan bernama Ruben. Di kota ini juga,
Kayla mendapat “pesan” tersirat dari almarhum kakeknya tentang akan
hadirnya seorang Pangeran Fajar dalam hidupnya.
Dari
tempat ini, petualangan Kayla pun berlanjut ke beberapa destinasi
wisata di tanah air. Dalam petualangan itu, Kayla juga sekaligus
melakukan pencarian sang Pangeran Fajar, yang mempertemukannya dengan
beberapa pria tampan lain selain Ruben, yaitu Dani, David, dan Patar,
serta seorang gadis lesbian bernama Chyntia.
Lalu, berhasilkah Kayla menemukan sang Pangeran Fajar, dan siapakah gerangan sosok tersebut?
Sisi
positif novel ini adalah tampilnya deskripsi objek-objek wisata di
tanah air yang menjadi tempat persinggahan Kayla mulai dari Yogyakarta,
Malang, Bali, Lombok, Makassar hingga Medan, dalam penceritaan yang
cukup detail, sesuai dengan hobi penulisnya yang penyuka travelling.
Penuturan yang ringan dan lincah serta diselingi humor membuat novel ini
cukup menghibur. Juga adanya quote-quote manis di setiap awal bab turut
memberi warna yang romantis. Saya kutip salah satunya :
“Jatuh cinta itu nggak perlu rumus. Cukup dua hati yang berpendar penuh rasa.”
Di
luar hal tersebut, sebagai sebuah novel pertama dari penulisnya, novel
ini benar-benar tampil “apa adanya” sebagai sebuah novel pertama,
ditandai dengan typo yang bertebaran, inkonsistensi penggunaan
lo-gue-aku-kamu, pilihan karakter mainstream untuk para tokoh
pria yang serba tampan, gagah dan seksi, tertukarnya sebutan nama tokoh
Ruben dan Patar (hal.259), ritme plot dan alur yang labil, juga proses chemistry antar tokoh yang tiba-tiba. Semua unsur yang tentunya masih dapat berproses menjadi lebih baik.
Lantas, sesuai judul resensi ini, di mana letak ke”berani”an novel ini?
Bahwa
sejak redupnya era sastra wangi, menjadi sebuah ke”berani”an saat
menampilkan novel ini dengan meloloskan kosakata-kosakata dan adegan
sensual yang sebenarnya hanya layak ditampilkan pada novel dengan label
novel dewasa, dan bukannya label populer seperti novel ini.
Satu
pertanyaan, jika semua kosakata tersebut bisa tampil “bebas”, meski
tidak diikuti oleh pendeskripsian yang bebas juga untuk merujuk pada
masing-masing maknanya, kenapa kosakata f**k yang kurang lebih
berkonotasi sama, masih memerlukan bintang-bintang saat dituliskan dalam
novel ini?
Andai
ke”berani”an ini dimaksudkan untuk menghidupkan kembali sastra wangi
dalam tampilan yang lebih pop dan segar, maka dengan pilihan kata dan
pola deskripsi adegan-adegan tersebut dalam novel ini, justru yang
terbentuk adalah visualisasi film komedi lokal layar lebar yang
menampilkan setting tempat yang indah, para aktor pria tampan, artis
wanita seksi dan sederet adegan sensual sebagai jualan. Dan untuk masa
ini, dengan telah beragamnya novel roman yang beredar, sepertinya butuh
riset dan investigasi pasar, untuk menguji apakah novel-novel semacam
ini masih bisa meraih pamornya.
“Sayang”nya,
eksplorasi ke”berani”an dalam konten novel ini tidak didukung oleh
eksplorasi ke”berani”an dalam kemasan. Kenapa tidak sekalian saja
memasang stempel novel dewasa pada back cover sebagai pengganti stempel
populer, atau mengganti judul Labirin Rasa menjadi Labirin Gairah, serta
didukung pula oleh cover sepasang pria dan wanita yang saling
bermesraan? Setidaknya, ke”berani”an ini menunjukkan pertanggungjawaban
holistik terhadap konten, dan memberi kejelasan kepada pembaca segmen
mana dan khalayak mana, novel ini pantas ditujukan. Karena bagaimana
pun, terlepas dari sisi hiburan yang dimiliki oleh sebuah novel, ada
misi lain yang juga semestinya menjadi perhatian para pihak, yaitu
memberi hiburan pada batas usia yang sesuai.
http://www.riawanielyta.com/2013/09/resensi-novel-labirin-rasa-sebuah.html
Judul :
Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah
Penulis :
Tere Liye
Tebal :
512 hal
Penerbit :
GPU
Harga :
Rp.72.000,-
Terbit : Januari 2012
Apakah
Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah ini sama spesialnya dengan miliaran cerita
cinta lain? Sama istimewanya dengan kisah cinta kita? Ah, kita tidak memerlukan
sinopsis untuk memulai membaca cerita ini.
Demikian sepenggal
tulisan yang tertera pada back cover
novel ini. Ya. Ini memang novel tentang cinta. Novel yang mengusung sosok Borno
(berasal dari kata Borneo) sebagai tokoh sentralnya, seorang pemuda yang
digambarkan penulis sebagai ‘bujang berhati paling lurus sepanjang tepian
Kapuas’, dan setting cerita yang
sebagian besar mengambil lokasi di Pontianak khususnya tepian sungai Kapuas.
Kisah dibuka dengan
peristiwa yang dialami ayah Borno ketika Borno masih berusia dua belas tahun,
ayahnya yang tersengat ubur-ubur saat melaut memilih untuk mendonorkan
jantungnya pada seorang pasien gagal jantung hingga pilihan itu membawa
konsekuensi pada berakhirnya denyut nadi dan detak jantung ayah Borno.
Cerita kemudian
terlempar beberapa tahun kemudian, saat Borno menjalani lika-liku hidupnya
dengan bergonta-ganti pekerjaan, hingga dia bertemu seorang gadis peranakan bernama
Mei, yang kerap dideskripsikan penulis sebagai si pemilik “wajah sendu menawan”.
Ketika itu, Borno tengah menjalankan profesi sebagai seorang pengemudi sepit (sebutan masyarakat lokal untuk
perahu kayu bermesin tempel, di adaptasi dari bahasa asing speed). Penampilan gadis itu langsung memesona Borno pada pandangan
pertama, selain itu juga, sepucuk angpau merah yang tanpa diketahui Borno memang
sengaja ditinggalkan gadis itu pada bangku sepit turut memancing rasa penasaran
Borno. Sayang, angpau yang pada awalnya setengah mati dijaga oleh Borno agar
bisa dikembalikan pada pemiliknya itu, justru kemudian berbalik menjadi tak lagi
bermakna khusus saat Borno menyaksikan Mei yang tengah membagikan amplop serupa
pada pengemudi sepit dan pedagang warung di dermaga. Namun, penemuan sepucuk
angpau merah yang sengaja ditinggalkan itulah, menjadi momentum pembuka kisah
romantika antara Borno dan Mei. Isi angpau itu sendiri baru diketahui Borno lama
setelah penemuan itu.
Lantas, bagaimana
lika-liku hubungan cinta antara Borno dengan Mei? Apa sesungguhnya isi sepucuk
angpau merah itu? Akankah cinta Borno dan Mei berakhir dengan kebahagiaan atau
sebaliknya?
Dalam novel setebal 512
halaman ini, pembaca yang sejak awal sudah berekspektasi bahwa tema cinta akan
menjadi bahasan utama dalam novel ini, mungkin harus membangun ekstra kesabaran
untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas, karena novel ini tak
hanya melulu bicara soal cinta, melainkan juga menyajikan beragam kisah akan
perjuangan hidup, pengorbanan, dan sisi-sisi kehidupan masyarakat Pontianak
khususnya masyarakat tepian Kapuas, juga cerita seputar tokoh-tokoh lain yang turut
mewarnai novel ini.
Adalah ciri khas Tere
Liye, untuk selalu menuturkan adanya sebuah proses kehidupan di dalam
novel-novelnya. Proses yang pada umumnya digambarkan sebagai sebuah metamorfosa
tokoh utamanya saat memulai hidupnya dari masa-masa sulit hingga akhirnya
memperoleh kesuksesan.
Di dalam novel ini pun,
pembaca akan diajak menyusuri lika-liku, naik turun dan pahit getir perjalanan
seorang Borno saat menjalani berbagai bidang profesi, mulai dari karyawan
perusahaan karet, penjaga karcis kapal feri, pengemudi sepit, hingga akhirnya
ia sukses memiliki bengkel sendiri. Dalam proses inilah, melalui tokoh Borno,
penulis “menitipkan” pesan-pesan tentang pentingnya memelihara sifat jujur,
ketekunan dan kerja keras untuk bisa meraih kesuksesan.
Tak ketinggalan pula interaksi
Borno dengan tokoh-tokoh lainnya dalam novel ini, hikmah yang didapat Borno
dari peristiwa demi peristiwa yang dia alami bersama tokoh-tokoh tersebut, turut
dijadikan sarana penulis untuk menyampaikan nilai-nilai inspiratif melalui
penuturan yang ringan, deskripsi peristiwa yang lekat dengan kehidupan
sehari-hari hingga terasa akrab dan jauh dari kesan menggurui.
Adalah Pak Tua, tokoh
lain yang kapasitas perannya cukup dominan dalam cerita ini, tokoh yang menjadi
tempat penulis menitipkan pesan-pesan akan esensi kehidupan melalui petuah,
nasehat dan kalimat-kalimat bijak yang mengalir dari mulutnya saat memaknai
hikmah dari sebuah peristiwa.
Dibandingkan
novel-novel sebelumnya, novel Tere Liye kali ini “pengemasan”nya memang jauh lebih
ringan, juga kaya akan dialog cerdas, dibumbui oleh humor-humor menggelitik
saat memparodikan kehidupan, bernuansa lokalitas yang sangat kental, sehingga
dalam keseluruhan paketnya, novel ini berhasil mengajak pembaca mengalami
beragam pergantian emosi, tersenyum, tertawa geli, tertegun, kagum, juga
terharu. Novel ini juga minim konflik, berbeda dengan novel-novel Tere Liye terdahulu
yang justru menjadikan ketajaman konflik sebagai salah satu “andalan”nya.
Namun, minimnya konflik
tak lantas membuat novel ini jadi tak bertaji. Karena di sini, penulis mampu
menghadirkan penggambaran setting secara
detail, natural, melebur harmonis dengan segenap unsur pembangun cerita lainnya
sehingga pembaca akan merasa seolah-olah benar-benar berada di lokasi cerita, memperoleh
pengetahuan-pengetahuan baru tentang kultur masyarakat setempat dalam hal ini
masyarakat yang tinggal di tepian Kapuas termasuk sekilas pengetahuan akan
hal-hal terkait profesi-profesi Borno yang berhasil dideskripsikan secara apik
oleh penulis.
Kekuatan lainnya dari
novel ini juga terletak pada deskripsi karakter tokoh-tokohnya. Selain sosok
Borno dan Mei yang menjadi tokoh sentral cerita, pembaca juga akan diajak
berkenalan dengan tokoh-tokoh pendukung yaitu Pak Tua, Koh A Cong, Bang Togar,
Tulani, Andi, Sarah, dan lain-lain yang merepresentasikan beragam suku di tanah
air berikut kekhasan kultur dan sifat dari masing-masing suku tersebut.
Memang, jika dilihat
dari berbagai unsur, tidak ada teknik penyampaian yang benar-benar istimewa
digunakan penulis untuk membangun dan menuturkan kisah dalam novelnya kali ini.
Bahkan tema yang digunakan pun adalah tema yang selalu didaur ulang. Tema
tentang cinta antar dua insan. Lebih spesifiknya adalah tentang kekuatan cinta
pada pandangan pertama yang tetap tak tergoyahkan meski banyak lika-liku harus
dihadapi. Namun, ciri khas penulis yang selalu mewarnai novel-novelnya dengan
nuansa humanis inspiratif, selain kekuatan-kekuatan yang telah disebutkan
sebelumnya, menjadikan tema yang sangat biasa ini berhasil dikemas secara baik,
apik dan mengasyikkan untuk dibaca.
Kekuatan lain dari karya
Tere Liye adalah pada kepiawaiannya menggambarkan adegan filmis yang membuat
pembaca seolah-olah dapat merasakan langsung efek visual dari deskripsi adegan
tersebut. Tak heran jika satu demi satu novel Tere Liye layak diangkat ke layar
lebar atau pun layar kaca.
Untuk ending sendiri, kali ini Tere Liye menghadirkan
akhir yang menggantung, seolah sengaja membiarkan pembaca berpikir,
menerka-nerka dan memutuskan berdasarkan persepsi masing-masing.
Novel ini, boleh jadi
menjadi antitesis terhadap pakem novel cinta (roman) pada umumnya yang kini
menyerbu pasaran novel populer, yaitu novel yang menjadikan tema cinta sebagai
“penguasa” atas keseluruhan isi novel, dan kehadiran konflik serta alur lain di
luar urusan cinta hanya memegang peran sebagai pendukung cerita saja. Demikian
pula pada konsentrasi tokoh-tokohnya. Novel cinta (roman) pada umumnya berfokus
pada interaksi tokoh-tokoh utama yang terlibat dalam kisah cinta tersebut, dan
hanya memberi ruang secukupnya saja pada peran tokoh-tokoh lain.
Maka, hal sebaliknya dilakukan
penulis pada novel ini. Novel yang justru dengan bebas dan lentur bergerak
kesana kemari, membiarkan konflik dan alur cerita tokoh-tokoh lain terurai
dalam lembar-lembarnya sehingga jalinan kisah cinta kedua tokoh utama dalam
novel ini pun menjadi tak lagi dominan.
Bagi pembaca yang
menginginkan sajian kisah cinta dalam kemasan berbeda, atau pun menginginkan
ramuan kisah cinta yang lebih bergizi dan sarat makna, serta tidak peduli akan
standar romantisme dan pakem sebuah cerita cinta, novel ini adalah pilihan yang
tepat. Dan bagi para pembaca novel-novel Tere Liye khususnya, novel Kau, Aku,
dan Sepucuk Angpau Merah tetap tak kehilangan ciri khas seorang Tere Liye. Ciri
yang selama ini eksis dalam karya-karya beliau termasuk saat bertutur tentang
cinta. Menjadikan novel ini, lebih dari sekadar sebuah kisah cinta biasa.
Judul : Queen of The East
Penulis : Yanti Soeparmo
Penerbit : ProuMedia
Tahun : 2010
Sinopsis :
Sebuah kapal bernama Queen of the East, melepas
sauh menuju Hindia, the Tropical Holand. Negeri yang menjanjikan seribu
keindahan. Sebuah kapal yang darinya tersembul berbagai harapan: dua
mahasiswa pribumi pulang menyelundupkan benda rahasia demi mendukung
perjuangan kemerdekaan; orang-orang Belanda menyeberang untuk sekadar
pulang ke negeri jajahan, ada pula yang mengadu nasib di negeri orang.
Namun
ia juga menyimpan kengerian: tiga kompi pasukan didatangkan untuk
membungkam perlawanan pejuang kemerdekaan; dan tak kalah mengerikan,
seorang agen rahasia disusupkan untuk memecah-belah sebuah elemen
masyarakat Hindia agar sibuk berkonflik dan absen dari perjuangan.
Banyak
kepentingan dibawa, dan banyak konflik timbul dalam perjalanan;
pembunuhan, fitnah dan ancaman dilancarkan. Bagaimana nasib para
penumpang? Apakah mahasiswa Indonesia berhasil membawa barangnya dengan
selamat? Apakah agen rahasia itu berhasil menjalankan misinya?
Bagaimana dengan 366 personel pasukan penjajah yang turut serta, apakah
mereka sampai ke Hindia?
Sebuah novel yang mencoba menggambarkan realita sejarah dengan sangat elegan, sekaligus menarik untuk dibaca.
===================================================================
Kali ini saya mau ngobrol tentang buku yang di covernya ada stempel
'Pemenang Penghargaan Nasional Tertinggi Sayembara Novel Menggugah
2009'. Cukup muluk ya? Tapi, setelah nuntasin baca saya langsung bilang
'yes', kalau novel bergenre fiksi sejarah ini emang pantes dapet gelar
itu.
Novel Queen of The East yang ditulis oleh Yanti
Soeparmo ini meracik kisah dengan konflik yang begitu kompleks, setting
tempat, waktu dan peristiwa yang runut dan detail, penokohan yang banyak
dan beragam karakter, juga yang tak kalah unik....sebagian besar kisah
bersetting diatas kapal!
Yups. Mulai kebayang film Titanic
pastinya :D Tapi, novel yang satu ini jauh lebih berwarna ketimbang
Titanic yang lebih didominasi kisah cinta Jack-Rose dan peristiwa tragis
terbelahnya kapal cruise mewah itu. Bersama kapal bernama Queen of The
East yang melaju dari Netherland menuju Batavia, kita akan diajak
menelusuri lika-liku kisah cinta terlarang, konspirasi, intrik,
penyusupan intel, juga pengorbanan atas nama cinta.
Tanpa
perlu mengurai diksi yang bertabur metafora, namun bermodalkan
kepiawaian meramu konflik dan penyajian adegan yang detail, emosi kita
cukup dibawa terhanyut dengan satu demi satu konflik yang dihadirkan.
Konflik yang sebenarnya bertitik tolak dari penyusupan intel yang
menyamar dan membawa misi keji untuk memecahbelah masyarakat Hindia
sesampai di Batavia nantinya. Seiring dengan kedok penyamaran yang
perlahan terkuak, satu demi satu kejadian tragis susul menyusul :
terbunuhnya dua bocah kembar di gudang penyimpanan tank, menyusul pria
bernama Petrus van Hoorn yang kemudian menggiring istrinya Aletta
sebagai tertuduh (Aletta yang tidak bersalah akhirnya meninggal di
tahanan karena sakit), bunuh dirinya sang kapten kapal karena tak tahan
menanggung beban dosa menerima sogokan sangat besar dari sang penyusup
yang mengakibatkan serentetan bencana di kapal, juga...terbunuhnya sang
intel penyusup sendiri begitu kapal tiba di Batavia di tangan seorang
serdadu Belanda.
Tadinya saya kira tak akan menemukan
tokoh pria yang bisa bikin jatuh hati sebagaimana para tokoh pria dalam
novel2 bergenre romance. Nyatanya disinipun saya menemukannya. Dialah
Letnan Jeremias Stewart, alias Jacob, alias Muh. Yakub. Sosok utama yang
berhasil mencuri simpati tanpa perlu menjelma jadi sosok Mr. Nice Guy
yang serba perfect, tidak 'bermodalkan' wajah setampan George Clooney
or Leonardo Di caprio (Jeremias adalah serdadu Belanda keturunan
Afrika), tidak menenteng barang2 mewah (selain hanya mencangklong
senjata), tidak juga merayu dengan kata2 romantis (melainkan menunjukkan
sikap kejantanannya dengan membela orang2 yang lemah dan teraniaya
diatas kapal juga akhirnya menembak sang intel penyusup demi cintanya
pada Safiya walau harus menanggung konsekuensi terancam hukuman mati).
Dan
kisah tentang Jeremias ini menjadi penyambung kisah yang tak kalah
menarik dan heroik pasca pendaratan Queen of the East di Batavia.
Berawal dari vonis hukuman mati atasnya karena telah menembak sang
penyusup, diselamatkan oleh komandan yang berutang budi, 'dibuang'
sebagai ABK kapal Pinisi dengan identitas baru, menjadi mualaf, diburu
kembali oleh orang2 dibalik layar pengutus sang intel yang tak lain
adalah Netherlander sendiri, kegagalannya menikah dengan wanita
pujaannya meski hari pernikahan sudah diambang pintu, hingga pelariannya
dari para pemburunya berakhir di kampung halamannya dengan menjadi
penambang emas di Afrika.
Kekurangan? Wah, hampir tanpa
cacat sepertinya, kecuali pada bab2 awal yang terasa membosankan dan
membingungkan karena belum terurainya masalah utama, sampai2 saya
membutuhkan waktu setahun untuk menuntaskan separuh bagian awal cerita
(kebangetan yak :D) dan sisanya dalam semalam! Karena, mulai dari tengah
sampai akhir, disitu baru letak serunya.
Juga penampilan
yang kurang eye catching, dengan lembar2 kertas buku ini yang tipis dan
buram, rada mirip kertas roti warnanya, cover yang meski mengingatkan
kita pada film Titanic dengan gambar ujung haluan kapal bersama sosok
seseorang diatasnya, nurut saya sih bisa terlihat lebih 'gagah' kalau
misalnya kapalnya dibuat tampak depan dengan pewarnaan yang lebih tajam
juga tanpa perlu dimirip2kan dengan gambar film yang fenomenal itu.
Dan...apa
ya? Kok ya rasanya promonya kurang greget atau saya aja yang kurang
info kali ya? Yang jelas, buku2 dari penerbit yang sama emang nggak
pernah hadir di kota saya, juga minim sekali info yang saya peroleh
tentang buku ini di google, padahal secara mutu konten, novel ini memang
layak menjadi pemenang pertama dan menjadi alternatif fiksi sejarah
yang diracik dengan kompleks dan elegan.
Hari ke-5 Battle Challenge #31hariberbagibacaan
Judul : Hujan dan Teduh
Penulis : Wulan Dewatra
Penerbit : Gagas Media
Tahun : 2011
Sinopsis :
Kepadamu, aku menyimpan cemburu dalam harapan yang tertumpuk oleh sesak dipenuhi ragu.
Terlalu banyak ruang yang tak bisa aku buka. Dan, kebersamaan cuma memperbanyak ruang tertutup.
Mungkin,
jalan kita tidak bersimpangan. Ya, jalanmu dan jalanku. Meski,
diam-diam, aku masih saja menatapmu dengan cinta yang malu-malu.
Aku
dan kamu, seperti hujan dan teduh. Pernahkah kau mendengar kisah
mereka? Hujan dan teduh ditakdirkan bertemu, tetapi tidak bersama dalam
perjalanan. Seperti itulah cinta kita. Seperti menebak langit abu-abu.
Mungkin, jalan kita tidak bersimpangan....
======================================================================
Satu paket pesanan buku nyampe dengan selamat ke rumah saya waktu itu.
Gak biasanya, bungkusnya kertas koran, bikin orang di rumah jadi
curigaan. (Ups, malah ngomentarin paket :D)
Isinya? Empat novel,
tiga darinya adalah pemenang lomba novel yang diadain sekitar akhir
tahun lalu. Saya emang seneng baca karya-karya hasil jebolan kompetisi,
berekspektasi bahwa ada sesuatu yang 'lebih' didalamnya sehingga emang
layak menang dan menyingkirkan ratusan kompetitor.
Awalnya
saya membaca yang covernya warna orange muda, tapi kemudian pindah ke
novel lain, yang - jujur aja - karena terbius dengan covernya yang
meneduhkan, judulnya yang romantis, komentar juri didepannya yang juga
nggak kalah manis serta foto penulisnya di cover belakang, semuanya
langsung membentuk gambaran utuh di benak saya akan sebuah novel yang
sweet, smooth, fresh dan very touching.
Baru separoh jalan ngebaca....OMG! Saya sampe nanya retoris : beneran nih?? ini novel yang menang??
....saya kecele!
Dibalik
kemasan yang serba manis itu, didalamnya saya temukan karakter tokoh cewek
yang biseksual, karakter cowok yang 'sakit' alias posesif
dan rada psikopat, alur cerita yang diwarnai SBM (sex before marriage)
yang berulang-ulang, juga solusi-solusi semacam : aborsi,
berciuman dengan cowok lain demi membatalkan pertunangan,
sampai....suicide!
Hmm...
Silahkan bilang saya kuno,
konservatif, konvensional, nggak up-to-date, kurang gaul, tapi dalam
kacamata si emak kolot dari kepulauan ini, saat membaca sebuah fiksi
yang memuat kisah penyimpangan a.k.a pergeseran moral yang tersaji
dengan gaya tutur yang SANGAT manis, SANGAT indah, SANGAT meremaja,
SANGAT jujur (sengaja, kata 'sangat'nya pake kapital, karena dari segi
penuturan, novel ini memang SANGAT memikat), maka semua penyimpangan tadi
seakan menjelma sebuah potret peristiwa yang sudah biasa dan dianggap
lumrah, adalah sebuah realita dalam pola pergaulan
generasi muda jaman ini.
Meski didalamnya juga digambarkan akibat dari perbuatan menyimpang itu,
dimana ceweknya terkena infeksi rahim sehingga rahimnya diangkat, pesan
ini rasanya kurang menohok, mungkin, ya karena didukung penuturan yang
amat manis itu tadi. Dan kalaupun novel
ini dianggap bagus dari sisi keutuhan konseptual, saya justru gagal
menemukan sebab yang jelas kenapa si tokoh cowok yang rada psikopat itu
bisa menjelma jadi baik dan bertobat secara tiba-tiba (meskipun,
pertobatan itu hanya tercermin dalam keinginannya untuk menikah), dan
kenapa si tokoh cewek bisa menjadi seorang biseksual tanpa didukung
oleh latar belakang keluarga atau lingkungan misalnya. Juga penyesalan
si tokoh cewek kurang tergarap secara maksimal, sehingga - yah,
lagi-lagi - saya menangkap kesan dan pesan bahwa semua bentuk pergeseran
disini adalah sebuah pelumrahan (???). bagian dari gaya hidup.
Seakan-akan saya dapat mendengar sang penulisnya mengatakan didepan
saya, "Ini realita mpook, realita! Si mpok kemane aje??
Enggak. Saya enggak kemane-mane.
Masih disini.
Tetap
setia menanti fiksi-fiksi karya anak bangsa ini dengan satu harapan
besar akan perubahan ke arah pembentukan karakter dan moralitas yang
signifikan.
Dan kurang adil rasanya kalau nggak menyebut kalau novel ini nggak punya
kelebihan, bagaimana pun, ini juara pertama kompetisi, selain penuturan
yang manis dan mengalir, tema yang diangkat cukup berani, dan
penulisnya juga berhasil mengemas tema itu dengan alur maju mundur yang
menarik dan nuansa yang dibangun juga nggak biasa. Dan tentu saja,
keunggulan yang paling eye catching adalah pada cover dan blurbnya. Asli
deh, fisik novel ini memang keren, sehingga covernya pernah masuk
finalis API (tahun berapa saya lupa) untuk nominasi cover pilihan.
Akhir resensi ini saya tutup dengan doa, semoga generasi
dibawah saya, terutama mereka yang terlahir dari rahim saya, dipelihara
oleh Allah swt dari pergeseran budaya yang dianggap biasa dan terhindar
dari ikut-ikutan membiasakan dan melumrahkan penyimpangan...
Judul : Menikah Untuk Bahagia
Penulis : Indra Noveldy dan Nunik Hermawati
Penerbit : Nourabooks
Tebal : 308 hal
Genre : Non Fiksi
Terbit : April 2013
ISBN : 9786027816091
Resensi :
Setiap orang
yang akan memasuki gerbang pernikahan pastilah menginginkan kehidupan berumah
tangga yang harmonis dan senantiasa diliputi kebahagiaan. Namun sayang, tidak
semua orang mempersiapkan cukup bekal sebelum memasukinya. Akibatnya, saat
menghadapi konflik, persoalan dan berbagai riak dalam rumah tangga, tak sedikit
yang gagal menyelesaikannya lalu memilih jalan pintas untuk mengakhirinya.
Padahal, menginginkan kehidupan berumah tangga yang harmonis dan bahagia tidak
cukup hanya dengan sekadar menjalaninya, melainkan butuh perencanaan, tujuan
yang disepakati bersama juga kesungguhan dan komitmen dalam menjalaninya.
Inilah poin-poin
penting dalam buku setebal 308 halaman yang ditulis oleh konsultan pernikahan
ini. Untuk membangun kehidupan pernikahan yang harmonis, langgeng dan
berkelimpahan, ada lima hal yang perlu dimiliki dan dilakukan, yaitu tujuan, mindset yang tepat, knowledge dan skill,
komitmen, dan berserah. (hal.6).
Saat ditanyakan
apa tujuan menikah, maka jawaban yang paling sering muncul adalah dalam rangka
ibadah, ingin memiliki anak, sudah cukup umur, dan satu jawaban paling populer
sekaligus normatif, yaitu membangun keluarga sakinah, mawaddah, warahmah.
(hal.13). Tetapi, jika ditanyakan apakah sebelumnya pernah mendesain kehidupan
pernikahan yang diinginkan, mungkin hanya sedikit sekali yang melakukannya.
Padahal, ibarat membangun sebuah menara, pasti membutuhkan desain dan pondasi yang
matang, apalagi untuk membangun sebuah pernikahan, sebuah mahakarya tempat
meletakkan impian dan masa depan di dalamnya. (hal.26)
Untuk itulah,
saat memulai dan menjalani pernikahan sangat membutuhkan knowledge dan skill. Jika
kita ingin sukses dalam bidang apapun, maka kita membutuhkan knowledge dan skill. Demikian juga dalam kehidupan pernikahan. Kita butuh knowledge dan skill yang cukup untuk bisa membangun kehidupan rumah tangga yang
harmonis, langgeng dan berkelimpahan, dan proses menambah knowledge juga mengasah skill
ini adalah proses yang akan berlangsung seumur hidup (hal. 122).
Pernikahan juga
butuh komitmen dari kedua belah pihak. Komitmen tidak hanya dalam hal
kesetiaan, tetapi juga komitmen untuk mau terus berjuang mewujudkan apa yang
diinginkan dari pernikahan, komitmen untuk berani menjalani prosesnya, dan
komitmen untuk berjuang meningkatkan kualitas pernikahan (hal. 247).
Terakhir, sudah
menjadi kewajiban kita untuk menyerahkan hasil semua usaha pada Tuhan, termasuk
usaha dalam mempertahankan pernikahan dan memperjuangkannya untuk mencapai
tujuan yang diinginkan. Satu hal penting disini, bahwa berserah tidak sama
dengan menyerah. Menyerah berarti berhenti berjuang.
Sebaliknya berserah adalah
sebuah sikap mental yang sejak awal sudah menyadari bahwa hasil akhir adalah
teritori Tuhan, bukan teritori manusia. Dengan demikian, kita bisa menjadi lebih
tenang saat menjalani pernikahan dan menyadari bahwa tugas kita hanyalah
melakukan yang terbaik. Kita tahu, Tuhan pasti akan memberikan yang terbaik
pula. (hal. 254).
Secara
keseluruhan, buku ini mengajak para pembacanya untuk meluruskan paradigma akan
pentingnya mempersiapkan dan menetapkan tujuan pernikahan, pentingnya usaha yang
sungguh-sungguh dalam menjalaninya, yang tentunya harus ditunjang pula oleh
bekal ilmu pengetahuan dan kemampuan, serta komitmen kedua belah pihak yang menjalaninya. Sebuah buku yang layak
dibaca oleh mereka yang belum menikah sebagai bekal dan panduan, juga bagi yang
sedang menjalani pernikahan, buku ini dapat dijadikan pembangkit semangat untuk
tetap menjaga kelanggengan pernikahan dan meningkatkan kualitas pernikahan demi
mencapai tujuan yang diinginkan bersama.
*Resensi ini dimuat di www.nabawia.com : http://www.nabawia.com/read/3007/menikah-tidak-cukup-hanya-sekadar-menjalani
Judul : Friendloveship
Penulis : Ifa Avianty
Penerbit : Lingkar Pena
Tahun : 2011
Sinopsis :
“Jangan-jangan kita dikutuk...”
“Eh, maksud lu?”
“Kita selusin wallflower ini, belum ada satu pun yang married. Kali
aja ada kutukan masa lalu, yang kena nenek moyang kita. Terus menurun
ke kita semua…”
“Kutukan kok kena dua belas-dua belasnya....”
***
Ini memang bukan kisah Twelve Dancing Princesses. Tapi ini adalah
kisah dua belas perempuan yang dipertemukan karena kesukaan mereka pada
novel dan drama romantis.
Suka duka mereka
jalani hingga usia menapak dan satu persatu mulai membutuhkan
pendamping hidup. Saat itulah mereka menyadari, hidup ternyata tak
seindah roman yang mereka baca atau film yang mereka tonton.
Persahabatan mereka pun mulai diuji. Apa yang terjadi saat dua orang
sahabat jatuh cinta pada pria yang sama? Bagaimana mereka mengatasi
beragam godaan sebagai wanita karier?
Kegelisahan sebagai perempuan lajang, suka duka mencari Mr. Right,
kesedihan, dan cemburu mewarnai kehidupan mereka. Sebuah novel romantis
yang akan mengaduk emosi Anda sebagai perempuan.
=======================================================
Gak perlu banyak mukaddimah deh ya, yang jelas novel mbak Ifa
Avianty ini beneran 'Ifa Avianty banget'. Ya pada diksinya yang fresh,
alurnya yang lincah juga ceritanya tentang kehidupan masyarakat urban.
Kali
ini mengangkat tema dilema gadis lajang kota yang belum juga ketemu
jodoh meski usia udah pada kepala tiga. Gak tanggung-tanggung, tokohnya
ada 12 orang! Belom termasuk peran pembantu a.k.a cowok2nya meski gak
sampe 12-12nya juga. Sejak pertama kenal novel2nya Ifa Avianty, memang
mbak yang satu ini piawai banget mengemas novel dengan penokohan yang
banyak, tapi baru kali ini deh tokohnya kok ya sampe selusin? Lajang
semua pula! (mbayangin gimana ribetnya nyari 12 karakter dgn latar
belakang kehidupan n keluarga yang berbeda dan novel ini kelarnya juga
gak pake lama, alias cuma sekitar 3 bulan, hwaa...can only say : salut
banget deh :))
Sebagai novel serial yang merepresentasikan
genre chicklit, novel yang satu ini boleh jadi menawarkan suguhan yang
berbeda, meski packagingnya secara umum sama, tokoh2nya pada cakep n
tajir semua, nggak terlepas dari konflik antar sahabat, dua sahabat yang
mencintai pria yang sama, juga persahabatan yang diwarnai adegan2 dan
dialog2 segar, namun didalamnya juga terdapat perenungan2 tentang upaya
pencarian jodoh yang tetap bersandar pada norma agama.
As
usual, satu hal yang kerap nggak terhindarkan dari novel-novelnya mbak
Ifa adalah kebetulan yang sedikit bergeser dari jangkauan realita.
Bagaimana kok ya ke 12-12nya meski punya latar belakang dan karakter
yang berbeda namun punya kesamaan prinsip dalam mencari jodoh? Mungkin
lebih logis kali ya kalau diantara yang 12 itu juga digambarkan ada yang
memiliki prinsip berbeda juga cara mencari jodoh yang berbeda?
However,
fiction is fiction, so, kalo ada yang nggak sesuai dengan realita,
pembaca juga nggak bisa menuntut terlalu banyak. Toh apa yang terpenting
adalah
totalitas kesan dan pesan yang tertangkap, tercerna dan membentuk inspirasi didalam rasa dan olah pikir pembaca.
Dan tentu aja, buat yang menyukai gaya dan tema penulisan khas mbak
Ifa, insya Allah akan mendapatkan totalitas itu di novel ini.
Hari ke-8 Battle Challenge #31hariberbagibacaan
Judul: Syair Cinta Pejuang Damaskus
Penulis: Elvandi
Harga: Rp. 35.000
Penerbit : Prou Media
Tahun : 2009
Sinopsis :
Pada awalnya kemenangan tak terduga atas sang Pemimpin Kavaleri, dalam pertarungan
birjas
di Maydan Sultan. Takdir Asad si Pedagang Pasar Suqul Khayyath,
Damaskus, mulai mencatatkan diri sebagai orang kepercayaan Sultan
Salahuddin. Satu tekad ditanam, membara di dada: bebaskan bumi al-Aqsha,
Palestina, dari pendudukan Tentara Salib.
Pada
penggapaian tekad, Asad tampil gemilang. Cengkeraman Tentara Salib di
negeri sepanjang Jazirah Asia-Afrika perlahan dikembalikan dalam dekapan
kemuliaan Islam. Maka, Asad pun menjadi buah bibir yang tak habis
untuk dibicarakan. Namun, nama emas Asad melahirkan dengki dan
pengkhianatan dari orang-orang yang dihormatinya. Bahkan Sang Sultan
pun turut berjarak dengannnya.
Dalam
keterasingan, Asad tetaplah pejuang tangguh selaksa di medan perang.
Pena di tangan tak ubahnya pedang yang dimainkan untuk menebas leher
lawan. Pena yang melahirkan syair cinta pada seorang yang dirindukannya.
=============================================================
Bukan hal mudah untuk menulis fiksi dengan setting waktu seabad
silam, di negeri yang berbeda dan mengambil kilasan peristiwa sejarah
pula. Tidak hanya riset terhadap setting mutlak diperlukan, tetapi juga
terhadap kultur masyarakat pada waktu dan tempat yang menjadi setting.
Maka, saat membaca beberapa fiksi sejarah, ada beberapa 'hasil' yang
saya temui : fiksi yang benar-benar bagus hingga penggambaran adegan dan
suasana terasa detail dan hidup (biasanya ini terjadi pada fiksi yang
didahului oleh riset bertahun-tahun), fiksi yang 'berat', sarat dijejali
informasi peristiwa sehingga unsur ceritanya menjadi minim, dan fiksi
dengan penuturan serupa dongeng.
Sekarang saya ingin
ngobrol tentang sebuah fiksi berjudul Syair Cinta Pejuang Damaskus.
Novel yang mengambil setting sekitar tahun 1100 di tanah Syria
(Damaskus) dan berlatar belakang peristiwa perjuangan menghadapi
musuh-musuh Islam. Sampai separuh jalan membaca, saya putuskan untuk
menganggap fiksi ini sebagai dongeng ketimbang novel. Mengapa?
Pertama,
karena gaya penuturan sang penulis (dengan PoV orang ketiga) yang
benar-benar memosisikan dirinya diluar cerita sehingga sangat terasa
seperti penuturan (bercerita) tanpa melibatkan diri secara maksimal pada
penggalian emosi masing-masing tokoh. Jadi jangan heran kalau di
halaman kesekian kita menemukan seorang perempuan yang berlinang air
mata karena cintanya ditolak oleh pemuda A, namun di halaman sebelahnya
sang wanita telah (digambarkan) bersuka cita setelah melangsungkan
pernikahan dengan pemuda B. Padahal, ada begitu banyak titik konflik
dalam fiksi ini yang berpotensi memancing pergolakan emosi pembaca namun
tidak dimanfaatkan dengan maksimal.
Kedua, karena plot
yang juga terkesan cepat oleh gaya penuturan bercerita. Kita tidak akan
menemukan penggambaran yang terlalu detail tentang runutan beberapa
peristiwa. Ditambah dengan cara penulis yang sering menyelipkan
pertanyaan retorika lalu dijelaskan sendiri seakan kian menegaskan bahwa
cerita ini memang berpola penuturan (bercerita) tanpa perlu sang
penulis benar-benar terlibat (berinteraksi) dengan tokoh-tokoh dan
peristiwa dalam cerita.
Ketiga, terkait dengan penggunaan
setting, terus terang saya tidak terlalu memahami seperti apa hubungan
antara penguasa (Sultan) dengan rakyat jelata pada jaman itu. Mungkinkah
Sultan bisa akrab dengan rakyat meskipun rakyat itu seorang yang
berjasa dan heroik hingga bisa ngobrol akrab, bermain catur bahkan di
salah satu adegan terkesan bahwa sang rakyat bisa 'menyuruh' sang Sultan
membaca peraturan pertandingan. Juga penggunaan dialog yang terkadang
menggunakan cara metafora bak syair dan puisi, mungkinkah ini memang
dialog yang 'pas' untuk setting jaman itu?
Keempat, oleh
sebab-sebab diatas yang membuat saya gagal menemukan hal-hal yang
menjadi poin penting dalam menghidupkan sebuah novel, maka saya lebih
suka menganggapnya sebuah dongeng, karena dalam posisi ini saya akhirnya
bisa menyelesaikan membaca dan mengambil pesan-pesan positif yang
terkandung didalamnya.
Adalah seorang Asad, yang semula
hanya seorang pedagang biasa, namun berkat kecerdasan, kemampuan fisik
dan tekad ambisiusnya juga kegigihannya untuk belajar, akhirnya membawa
keberuntungan demi keberuntungan atasnya. Menjadi orang kepercayaan
Sultan, memimpin perjuangan membasmi musuh-musuh Islam dan dikagumi juga
dihormati di seantero negeri.
Namun semakin tinggi pohon
menjulang, semakin kencang pula angin bertiup. Kepopuleran Asad kemudian
mengundang hasad dengki dan fitnah. Nasib Asad berbalik 180 derajat.
Disini pesan moral terpenting bisa kita maknai, bahwa sifat fitnah dan
dengki adalah hal terlaknat dalam Islam, dan betapa kesombongan akan
mencampakkan seseorang yang memiliki segala kelebihan. Ya. Salah satu
kelemahan tokoh Asad adalah kesombongannya yang berulangkali digaungkan
oleh kalimatnya 'Aku adalah pencipta takdirku sendiri' dan ambisinya
untuk meraup kekuasaan. Kelemahan yang akhirnya menyadarkan Asad lewat
kehadiran tokoh Abul Hasan juga rentetan peristiwa pahit yang dialaminya
untuk kembali mendekatkan diri pada Illahi dan meluruskan niatnya untuk
beristiqomah.
So, dengan pesan-pesan moral dan keislaman
yang dibawa dalam fiksi ini, juga apresiasi terhadap penulis yang telah
berani mengambil setting waktu dan tempat di masa silam serta kilasan
peristiwa sejarah akan kebangkitan Islam melawan musuh-musuhnya di jaman
itu, tak ada salahnya kita memosisikan (merubah) perspektif kita untuk
dapat mengambil hal-hal baik didalamnya, sebagaimana halnya membaca
sebuah dongeng yang juga selalu membawa pesan-pesan kebaikan tanpa harus
kita memusingkan unsur-unsur sastrawi yang membangunnya. Toh
lembaran-lembaran Harry Potter dan Twilight yang setebel kamus juga tak
lebih dari rangkaian fantasi demi fantasi yang membubung tanpa perlu
sang penulis merasa repot dengan logika dan pesan moral namun nyatanya
terjual sampai jutaan eksemplar, bukan? (^_^)
Hari ke-4 Battle Challenge #31hariberbagibacaan
JUDUL BUKU : CATATAN HATI IBU BAHAGIA
PENULIS : LEYLA HANA
PENERBIT : JENDELA (LINI ZIKRUL HAKIM)
TERBIT : MARET 2012
TEBAL : 352 HAL
ISBN : 978-979-063-710-8
Ditengah
hiruk pikuk perdebatan para wakil rakyat tentang kenaikan BBM, terdapat
satu Rancangan Undang-undang (RUU) yang konon tak kalah urgen untuk
segera disahkan, masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) tahun ini, yaitu RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG).
Meski
gaung perdebatannya tak senyaring isu kenaikan BBM, namun RUU ini cukup
membuat gelisah beberapa elemen umat Islam negeri ini yang masih sadar
benar akan pentingnya pilar-pilar budaya dan ajaran Islam, mengingat
sebagian besar isi RUU ini memang mengadopsi aturan sekuler liberalisasi
yang tertuang dalam
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW),
Beijing Platform for Action (BPFA) dan
Millenium Development Goals
(MDGs). Aturan-aturan yang berusaha menegakkan kesetaraan kaum
perempuan dalam perspektif kaum feminisme barat yang sayangnya
bertentangan dengan perspektif Islam tentang perlindungan kaum
perempuan, bahkan ke depan, dikhawatirkan bakal merusak tatanan
kehidupan keluarga umat Islam negeri ini.
Lantas, apa hubungannya dengan buku berjudul Catatan Hati Ibu Bahagia ini?
Mari
sejenak kita tinggalkan pembicaraan tentang RUU KKG. Sejenak kita bedah
isi buku yang ditulis oleh seorang ibu rumah tangga yang juga penulis
produktif ini. Sesuai judulnya, buku ini memang memuat curahan hati
penulisnya tentang pengalamannya menjalani peran sebagai ibu rumah
tangga, mengurus keluarga, persinggungannya dengan lingkungan sekitarnya
juga fenomena yang ia tangkap tentang kehidupan berkeluarga.
Buku
ini dibagi atas 7 (tujuh) bab, dan antara satu bab dengan lainnya
seakan merupakan rangkaian metamorfosis sang penulisnya sendiri. Pada
bab awal yang berjudul Menjadi Ibu Harus Bahagia, penulis mengungkapkan
perasaan dan alasannya saat memutuskan meninggalkan pekerjaan dan
menjadi ibu rumah tangga
full, saat harus mengatasi rasa jenuh, juga meluruskan paradigma bahwa ibu rumah tangga juga bisa berpotensi menjadi wanita hebat.
Di
bab-bab selanjutnya kita akan diajak menelusuri pengalaman dan perasaan
penulis, suka dukanya saat melewati masa kehamilan, menjadi ibu baru,
merawat dan mengasuh anak balita, interaksinya dengan asisten rumah
tangga (ART), pasangan hidup, mertua juga tetangga. Tak ketinggalan juga
dibahas perspektif penulis terhadap hal-hal jamak yang dialami ibu
rumah tangga, seperti pemberian ASI eksklusif, pemakaian
diapers,
problema bentuk tubuh, bagaimana mengontrol keuangan keluarga agar tak
terjerat utang, dan sebagainya. Semua ini ditulis dalam penuturan yang
lancar, ringan, humanis, juga akrab, seakan-akan kita tengah mendengar
sang penulisnya ngobrol langsung dan memosisikan dirinya sebagai sahabat
kita. Pemilihan kalimat dan tips-tips dalam buku ini sangat mudah
dicerna, sehingga cocok dibaca kaum ibu dari semua kalangan. Baik ibu
rumah tangga maupun ibu yang bekerja.
Untuk ibu rumah
tangga, buku ini seakan menjadi obat penghibur, meyakinkan bahwa setiap
tetes keringat ibu rumah tangga yang diniatkan ikhlas untuk menggapai
ridhoNya, sungguh tak ada yang sia-sia di hadapan Allah. Tips-tips yang
dihadirkan juga dapat membantu ibu rumah tangga dalam mengatasi
persoalan yang biasa ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Baik persoalan
individu maupun yang berkaitan dengan keluarga, tetangga dan
lingkungan. Untuk ibu bekerja, buku ini juga tak lantas menjustifikasi
secara sepihak pandangan penulis terhadap wanita karir, melainkan
berusaha memosisikannya secara seimbang dengan tetap mengacu pada aturan
Islam tentang wanita bekerja.
Sekilas membaca judul,
mungkin, pembaca akan mengira kalau isi buku ini hanya bicara seputar
kebahagiaan, namun esensi dari buku ini sesungguhnya jauh lebih dalam,
yaitu bagaimana penulis melewati berbagai permasalahan hidup, menyikapi
dan mengantisipasinya sesuai tuntunan Islam, dan dari situlah insya
Allah akan diraih kebahagiaan. Dalam hal ini, penulis berusaha mengajak
pembaca memahami bahwa esensi kebahagiaan seorang muslimah sesungguhnya
terletak pada rasa syukur kepada Allah dan keikhlasan menjalani peran
sesuai fitrah.
Dari segi kekurangan, dibandingkan dengan
buku-buku bermuatan sejenis, penuturan dalam buku ini memang sedikit
bertele-tele, terdapat beberapa kisah yang diceritakan secara panjang
lebar, seperti pada saat penulis berganti-ganti ART, namun kembali lagi
pada selera pembaca yang heterogen, terdapat pembaca yang memang
menyenangi pola tutur demikian, atau pun yang lebih menyenangi kumpulan
catatan yang singkat dan padat, atau juga catatan yang inspiratif dan
menyentuh. Kumpulan catatan semacam ini, boleh dikatakan adalah karya
yang paling merefleksikan kejujuran penulisnya saat mengolah rasa dan
pengalaman bathinnya.
Kembali pada pertanyaan di awal
resensi ini, kaitannya dengan salah satu esensi RUU KKG yang berusaha
memosisikan wanita dalam emansipasi gender menurut perspektif barat, di
mana kaum wanita didorong untuk meraih persamaan hak dan kewajiban
dengan kaum lelaki di ranah publik dan wanita tidak harus dibebani
dengan urusan domestik. Esensi ini dikhawatirkan akan berdampak pada
masa depan keluarga muslim khususnya anak-anak. Jumlah wanita yang
keluar rumah untuk bekerja akan terus meningkat, sementara pendidikan
anak di rumah diserahkan ke tangan pengasuh yang dari segi pendidikan
saja masih di bawah rata-rata. Walhasil, waktu dan perhatian pada
keluarga akan semakin berkurang, generasi Islam dikhawatirkan akan
mengalami kemunduran secara perlahan-lahan khususnya kemunduran akhlak
dan pondasi pemahaman Islam dalam diri mereka, atau dengan kata lain,
sangat berpotensi menuju keadaan
a lost generation.
Sebagian
dampaknya bahkan telah terjadi di masa sekarang ini. Angka perceraian
meningkat tajam dengan gugatan terbesar datang dari pihak wanita. Angka
kenakalan remaja, jumlah remaja hamil di luar nikah dan remaja yang
mengonsumsi narkoba juga terus meningkat. Bukti nyata bahwa emansipasi
gender yang digaungkan pihak luar tak lain adalah bertujuan untuk
melemahkan pilar kokoh keluarga muslim dan generasi Islam selapis demi
selapis.
Memang, RUU ini saat ini sedang ditinjau ulang,
mengingat banyak isinya yang bertentangan dengan syariat Islam. Terlepas
bagaimana hasil akhirnya nanti, insya Allah keluarga muslim negeri ini
tidak akan mengalami efek negatif berarti sepanjang para muslimahnya
memahami benar esensi dari keikhlasan menjalani fitrah, mengamalkannya
secara qanaah sebagaimana yang diuraikan secara gamblang di dalam buku
ini. Keikhlasan yang akan mendekatkan pada ridho Allah, serta
kebahagiaan dunia dan akhirat. Juga dengan membaca buku ini, insya Allah
hati kaum wanita akan tergugah, bahwa mengejar materi di luar rumah
sungguh tak sebanding dengan keutamaan fungsi memelihara keluarga dan
anak-anak, membentuk keluarga samara dan menghasilkan generasi shaleh
dan shalehah.
Satu hadis yang dijadikan acuan penulis,
saya kutip sebagai penutup resensi ini : Diriwayatkan dari Anas bin
Malik r.a, dari Nabi Saw, beliau bersabda, “Apabila seorang wanita sudah
menjalankan shalat lima waktu, menjaga kemaluannya, dan taat kepada
suaminya, niscaya ia akan masuk surga dari pintu mana pun yang ia
inginkan.”
Meraih syurga untuk seorang muslimah,
sesederhana itu.
Tantangan hari ke-1 battle challenge #31hariberbagibacaan
Majalah Bakti, No. 266 Agustus 2013
MEMBANGUN RELASI
SESUAI PETUNJUK NABI
Judul : Belajar Bersahabat: Petunjuk Nabi Agar
Menjadi Pribadi Menarik dan Menyenangkan
Penulis :
Ahmad Mahmud Faraj
Penerjemah :
Shofia Tidjani
Penerbit :
Zaman, Jakarta
Cetakan :
I, 2013
Tebal :
208 halaman
ISBN :
978-979-024-342-2
Harga : Rp. 25.000,-
Globalisasi
memberikan dampak negatif, antara lain, saat ini orang cenderung pada individualistik
dan komersil. Setiap yang kita lakukan untuk orang lain perlu ada timbal balik.
Interaksi yang dibangun tidak berlandaskan hati nurani, melainkan atas materi
duniawi semata.
Padahal,
Islam tidak semata-mata berupa rutinitas ibadah formal seperti shalat, puasa,
zakat, dan sebagainya. Islam juga menyerukan perihal ibadah sosial yang
termanifesatasi dalam akhlaq al-karimah. Islam memberikan arahan kepada semua
umatnya, agar setiap tindakan yang dilakukannya itu tidak hanya berlandaskan
duniawi, tetapi juga ukhrawi dan keridhaan Allah swt.
Relasi Humanis
dan Agamis
Suasana
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, masalah hakikat manusia dan
kehidupan semakin santer dibahas. M. Quraish shihab (2009) menyebutkan bahwa
cita-cita sosial Islam dimulai dengan perjuangannya menumbuhkan aspek-aspek
akidah dan etika dalam diri pemeluknya.
Melalui
budi pekerti itu, seseorang akan meraih kesuksesan di mana pun, mulai dari
keluarga sampai karier. Karena dengan kepribadian itu dapat membuat orang lain
respek, nyaman, dan tertarik. Rasa cinta dan persaudaraan merupakan anugerah
dan kasih sayang Allah terhadap orang mukmin.
Kehadiran
buku ini setidaknya hendak memberikan jawaban dan tuntunan atas fenomena
tersebut. Ahmad Mahmud Faraj mendeskripsikan bagaimana Nabi Muhammad, para
sahabat, dan ulama salafush shalih dalam membangun relasi yang humanis
sekaligus agamis. Relasi yang tidak
didasari dengan kepentingan pribadi dan duniawi semata. Nuansanya sangat kering
dari nilai kemanusiaan, kasih sayang, cinta, kepercayaan, dan kejujuran.
Pada
bagian pertama, menyuguhkan tabir rahasia pribadi menyenangkan, cara menjadi
person yang ramah, kuat, rendah hati sekaligus diberikan rahmat oleh Allah.
Paling dasar yang perlu dilakukan untuk membangun networking adalah memperbaiki
diri dan membentuk kepribadian diri sendiri. Yakni dengan cara menaati segala perintah
Allah, karena hal itu dapat memperbaiki dan menumbuhkan keseimbangan pada jiwa
dan raga.
Penulis
menghadirkan teladan-teladan Nabi, para Sahabat dan para salafush shalih dalam
menjalin hubungan sosial. Yakni prinsip-prinsip etis sesuai dengan yang diajarkan
Nabi Muhammad saw. Selain itu, Mahmud Faraj juga menyertakan kalimat-kalimat
motivasi yang membangun semangat dan sangat menggugah jiwa.
Kutipan-kutipan
kata-kata hikmah itu tidak sembarangan dimuat di dalam buku ini, tetapi
disertakan rujukan kitab diambil dari kitab-kitab klasik. Misalnya, Mahmud
Faraj mengutip dari kitab al-Akhlaq wa al-Siyar fi Mudawati al-Nufus karya Ibn
Hazm al-Andalusi sekitar tiga belas kata mutiara, salah satunya yang berbunyi,
“Jangan mengharapkan orang yang akan meninggalkan anda, karena bisa membuat
anda kecewa. Jangan tinggalkan orang yang menginginkan anda karena itu
kezaliman.” (halaman 37)
Dalam
karya Ibn Maskawih, Tahdzib al-akhlaq wa Tathhir al-‘Araq, Mahmud Faraj
mengutip, di antaranya yang berbunyi, “anda adalah bejana yang kedewasaannya
ditentukan oleh kata-kata anda. Oleh karena itu, lihatlah diri sendiri,
perbaiki kekurangan, dan menghiasi diri dengan perbuatan mulia. Lakukan itu
hingga penampilan anda menjadi alami, tanpa pura-pura. Pada saatnya, anda berhak
mendapatkan cinta yang abadi.” (halaman 42)
Mengutip
dari Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, Mahmud Faraj menyebutkan bahwa
jalinan persahabatan dan persaudaraan yang mengikat di antara dua orang,
sehingga memiliki sejumlah hak yang harus ditepati. Mahmud Faraj menyebutkan
sekitar tujuh hak persahabatan dan persaudaraan yang harus dilaksanakan. Yakni
hak dalam harta, membantu kebutuhannya, memilih diam atau bicara, hak untuk
berbicara, memaafkan kekhilafan, hak kesetiaan dan keikhlasan, dan hak meringankan
beban, tidak membebani. (halaman 63-72). Selain itu, dia juga menyisir etika
dalam Islam yang terdiri dari etika bertamu, etika berkumpul, etika menjamu
tamu, etika menikmati hidangan saat bertamu, dan etika berkunjung.
Bagian
kedua dari buku ini menampilkan hal-hal yang harus dihindari dalam berinteraksi
sosial. Hal-hal yang perlu dihindari dalam menjalin persahabatan di antaranya
yaitu menggunjing, berbohong, dengki dan sombong. Disertakan juga kiat-kiat
untuk menghadapi orang sombong dan sikap kita saat disakiti berdasarkan
al-Qur’an dan hadis.
Adapun
bagian ketiga, berisi tentang keteladanan Rasulallah saw, psikologi kenabian
dan kalimat-kalimat yang tidak disukai Rasulallah saw dalam berinteraksi
sosial. Misalnya, dalam kitab Zad al-Ma’ad dipaparkan beberapa ucapan yang
sangat dibenci Rasulallah saw untuk diucapkan, di antaranya, adalah memanggil
seorang muslim dengan ucapan, “wahai kafir.” (halaman 205-206).
Buku
ini tak hanya membuka rahasia agar potensi itu terwujud dalam pergaulan nyata,
tapi juga membimbing setiap muslim untuk membiasakan diri berhias dengan budi
pekerti adiluhung. Di dalamnya disertakan kata-kata mutiara dari para sahabat
dan ulama yang menggugah jiwa serta kesadaran kita dalam membangun interaksi
sosial. Serta diselingi kisah menggugah dan kiat sederhana tapi mengena.
Karya
berjudul asli Kayfa Taj’al al-Nas Yuhibbuna, kemudian diterjemahkan dan
diterbitkan Penerbit Zaman ini patut untuk dibaca dan dimiliki setiap insane
muslim maupun muslimah. Buku mungil tapi serat makna ini menuntun setiap insan
tidak hanya menjadi pribadi memikat, tapi juga mulia dan bermartabat. Cara
hidup yang diajarkan sungguh relevan bagi zaman modern yang serba materialistik
dan individualistik seperti saat ini.
http://belajar-resensibuku.blogspot.com/2013/09/membangun-relasi-sesuai-petunjuk-nabi.html
Judul : Musim Gugur Terakhir di Manhattan
Penulis : Julie Nava
Tahun : 2011
Penerbit : Lingkar Pena
Apa rasanya jika berhasil nemu buku yang emang 'pas' dengan momen
keinginan? Seneng banget tentunya. Dan inilah yang saya alami saat
menuntaskan novel bersetting LN ini, hasil dari jalan-jalan instan di
Gramedia saat liburan dua tahun lalu. Sebuah novel yang bertutur tentang konflik pra
pernikahan antara dua manusia dengan latar belakang agama, ras, kultur
dan negara berbeda, juga selipan unsur feminisme wanita modern.
Kisah
diawali dengan Rosie yang menerima lamaran dari Anthony, seorang mualaf
berkebangsaan Italia, lewat saran dari imam masjidnya. Cara perkenalan
yang sudah kita kenal dalam ajaran Islam. Namun dalam kasus Anthony -
Rosie, cara semacam ini ternyata tak cukup, karena nyatanya dalam
hari-hari yang mereka lalui menjelang pernikahan, ada begitu banyak
lika-liku tak terduga yang harus dihadapi, serta kenyataan akan
mengelupasnya satu demi satu motif dibalik keinginan menikah satu sama
lain, termasuk permasalahan yang dipicu oleh ketidaksepahaman dalam
pembuatan perjanjian pranikah yang semakin 'mengukuhkan' ego dan prinsip
masing-masing.
Tentu, bukanlah pada cara perkenalan ini
yang harus disalahkan, melainkan ada banyak faktor yang pada akhirnya
menyebabkan rencana pernikahan mereka kandas hanya dalam tempo beberapa
hari jelang pernikahan. Pentingnya meluruskan niat, bisa jadi ini salah
satu pesan yang coba diselipkan, karena kedua tokoh cerita, Anthony dan
Rosie, menyimpan alasan masing-masing untuk menikah yang lebih didasari
pengalaman traumatis, dan dalam kasus Anthony, juga dibumbui kepentingan
dan ego, serta konflik terkait kultur keluarga Italia yang kental.
Sampai
pada gagalnya pernikahan mereka, saya menganggap bahwa cerita ini sudah
sepantasnya tamat, nyatanya belum. Awalnya saya menganggap bahwa kisah
pasca episode kegagalan pernikahan ini dengan jalinan antara Rosie dan
Marco yang tak lain adalah adik Anthony, seakan penyambung kisah yang
sedikit dipaksakan, tak ubahnya sinetron striping yang harus
diperpanjang episodenya karena rating yang terus membubung, nyatanya
saat sampai di bab-bab penutup, anggapan saya salah. Justru kisah
inilah, yang meski pola penuturannya terasa sedikit mengalami
peningkatan kecepatan, menjadi penyeimbang dan pelengkap atas tuturan
konflik yang telah terjalin sejak awal. Bab-bab penutup ini juga seakan
menjadi peneguh, bahwa disaat cinta, ego dan kepentingan saling berpacu
di rel yang sama, maka tetaplah cinta yang akan keluar menjadi
pemenangnya.
Cinta yang akhirnya menggoyahkan
inkonsistensi Anthony yang sempat berniat menceraikan Aurora istrinya
setelah sejak awal begitu kukuhnya ia mempertahankan keinginan untuk
menikahi Rosie, salah satunya adalah demi mencapai pernikahan yang
langgeng dalam sudut pandang dan prinsip seorang Anthony. Cinta yang
akhirnya menjadi sebab perpindahan keyakinan Marco (meski Anthony juga
berpindah keyakinan karena Rosie, namun anda akan menemukan alasan yang
sangat berbeda dari kedua pria ini). Dan cinta juga yang membuat Rosie
akhirnya menerima lamaran Marco meski menyadari bahwa Marco berasal dari
trah keturunan yang sama dengan Anthony yang jelas-jelas telah
melukainya.
Penulis berhasil memadukan konflik multikultural dalam
penuturan yang padat dan dialog-dialog yang cerdas. Memang kalau dilihat
dari latar belakang, penulis yang berdomisili di AS dan bersuami
seorang mualaf Amerika ini telah memiliki jam terbang tinggi dalam
mengisi media-media top tanah air juga menulis beberapa hasil riset.
Hal
lain yang saya senangi dari novel ini, adalah tokoh-tokohnya yang
terasa real, dalam artian tidak satupun tokoh-tokohnya digambarkan serba
sempurna (terus terang, meski fiksi, saya masih kurang legowo nrimo
penggambaran tokoh yang terlalu perfect) selain tentu aja performanya
digambarkan pada keren2, maklum, sebagiannya, tokoh Italiano gitu loh :D
Jadi inget sahabat pena saya waktu SMP, seorang Italiano berwajah kocak
n kekanakan yang waktu itu sudah kuliah. Andai waktu itu saya punya
cukup uang untuk terus berkorespondensi (waktu itu belum ada jejaring
sosial via internet, ongkos prangko ke Italia Rp.4.500,-, jumlah yang
cukup untuk membeli satu helai t-shirt keren, berbanding prangko surat
dalam negeri yang cuma gocap), mungkin aja saya bisa ngalamin kisah
pahit-manis seperti halnya Anthony-Rosie *halah mpok, nghayalnya
kejauhan* :D
Dan lagi-lagi episode pasca kegagalan
pernikahan Anthony dan Rosie menjadi 'penyeimbang' untuk memunculkan
sisi-sisi tidak sempurna dari para tokohnya. Pembaca (wanita khususnya)
yang sejak awal udah jatuh benci setengah mati sama sosok Anthony, akan
menemukan sisi-sisi manusiawi dan kekokohan Anthony mempertahankan
tradisi keluarga di bab-bab akhir yang bisa jadi merebut secelah
simpati, sebaliknya menganggap sosok Marco (dimata saya) ternyata tak
lebih dari sosok pria flamboyan yang beruntung.
Buat
teman2 yang menyenangi novel romantis dalam warna berbeda, tidak hanya
sekedar bersetting luar negeri tapi juga menghadirkan kisah akan lintas
negara, budaya dan agama, novel ini pantas dilirik. Juga
buat teman2 penulis yang pernah stay ataupun saat ini menetap permanen
di LN, ayo dong bikin novel2 bersetting LN yang ciamik dan bernas, nggak
hanya sekedar untuk keren-kerenan semata sementara temanya homogen.
Insya Allah banyak peminatnya, saya salah satunya :D
Day-6 battle challenge #31hariberbagibacaan
KAJIAN AL-QUR’AN PERSPEKTIF MOHAMMED ARKOUN
Judul Buku : Antropologi Al-Qur’an
Penulis : Baedhowi, M.Ag
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Agustus 2009
Tebal : xx + 256 Halaman
Peresensi : Ahmad Suhendra*)
Sampai saat ini kajian Al-Qur’an
masih banyak dilakukan oleh banyak kalangan intelektual muslim maupun non
muslim di belahan dunia. Begitu juga, jika “menengok” ke belakang dapat
ditemukan bermacam-macam karya para intelektual muslim yang mengulas perihal studi
Al-Qur’an. Sebut saja kitab Al-Itqan karya pemikir besar al-Syuyuthi, Al-Burhan
fi Ulumi Al-Qur’an karya al-Zarkasyi, dan Manahilu Al’irfan karya
al-Zarqani. Karya-karya tersebut tidak hanya masyhur pada masanya, tetapi juga
sampai saat ini karya-karya tersebut masih dijadikan sebagai salah satu
referensi dalam studi Al-Qur’an.
Namun karya-karya yang sudah lama
ada itu dirasakan masih banyak kekurangan, apalagi jika diterapkan dalam kontek
kekinian. Sehingga memunculkan kegelisahan tersendiri bagi para intelektual
muslim kontemporer. Sehingga mereka mencoba mengkaji ulang atas studi-studi
Al-Qur’an yang sudah ada, maupun memberikan “materi” baru dalam studi
Al-Qur’an. Mereka ingin mencairkan studi Al-Qur’an yang selama ini selalu
dikekang dengan idiologis-politis tertentu. Hal ini menyebabkan pesan universal
dalam Al-Qur’an tidak tersampaikan secara menyeluruh.
Beberapa tokoh kontemporer yang
mencoba mengkaji ulang (melakukan pembaharuan) atas studi Al-Qur’an,
diantaranya adalah Amin al-Khulli, intelektual Mesir yang melopori pendekatan
susastra Al-Qur’an, menyatakan dalam sebuah karyanya, bahwa Al-Qur’an merupakan
kitab sastra terbesar (Kitab Al’Arabiyah Al-Akbar). Artinya sebelum
melangkah pada studi Al-Qur’an lebih jauh, Al-Qur’an harus dianggap sebagai
teks sastra suci. Dengan kata lain, seseorang harus menempuh metode pendekatan
sastra, agar dapat memahami Al-Qur’an secara proporsional.
Selanjutnya, Nasr
Hamid Abu Zaid, dalam karyanya Mafhum Al-nash (diterjemahkan dengan
judul Tekstualitas Al-Qur’an; Kritik terhadap Ulumul Qur’an, LKiS), yang
menganggap Aqur’an sebagai sebuah teks yang dapat ditafsirkan secara beragam.
Pemilihan kata teks yang merujuk pada Al-Qur’an dimaksudkan untuk menghindari
konotasi teologis-mitis dalam studi Al-Qur’an. Dari beberapa tokoh diatas
menunjukkan bahwa mereka memiliki tujuan yang mulia dalam mengembangkan Studi
Al-Qur’an.
Buku berjudul Antropologi Al-Qur’an
ini juga membahas suatu tawaran baru dalam khazanah keilmuan islam, terutama
Studi Al-Qur’an. Kajian baru yang diberikan merupakan hasil pembacaan atas
pemikiran Mohammed Arkoun, salah satu tokoh intelektual kontemporer terkemuka
yang berwarganegara Aljazair. Arkoun merupakan guru besar pemikiran dan
kebudayaan islam di Univesitas Sorbonne Nouvelle (Paris III), Prancis.
Pemikiran-pemikiran segar yang dilontarkan Arkoun banyak dikaji dalam kalangan
akademik. Pemikiran Arkoun juga begitu berpengaruh di lingkungan Perguruan
Tinggi Indonesia, terutama Perguruan Tinggi Islam. Sehingga penulis buku ini, Baedhowi, M.Ag, mencoba untuk merangkai beberapa hasil
pemikiran Arkoun dalam bingkai sebuah buku yang menakjubkan.
Kajian Al-Qur’an yang ditawarkan
Arkoun merupakan hasil kolaborasi antara khazanah keilmuan yang sudah ada
(konvensional) dengan alat analisis modern, terutama semiotika dan antropologi.
Sebelum memulai pada persoalan kajian Al-Qur’an, penulis mengulas sosok
Muhammed Arkoun yang dijadikan sebagai tokoh dalam buku ini. Pembahasan perihal
kehidupan Arkoun dimulai dari kelahiran, sang tokoh sentral dalam buku ini, sampai pada kancah karirnya dalam dunia
akademik.
Arkoun sangat apresiatif memberikan
perhatiannya pada pengetahuan bahasa. Hal ini disebabkan tradisi dan kebudayaan yang membentuk pola
berfikirnya. Sejak kecil Arkoun terbiasa menggunakan tiga bahasa dalam
kehidupan sehari-hari. Pertama, bahasa Kabilia; yang digunakan dalan
kehidupan sehari-hari, kedua, bahasa Perancis; digunakan di sekolah dan
urusan administratif, dan, ketiga, bahasa Arab; digunakan di lingkungan
masjid dan urusan yang berkaitan dengan Islam (Halaman 4). Berpijak dari
pengalamannya itu tema-tema pemikiran
Arkoun banyak terkait dengan bahasa. Arkoun terobsesi untuk menggabungkan
bahasa dengan persoalan kemanusian. Karena selama ini ilmu kebahasaan belum
menyentuh permasalahan-permasalahn manusia, yang ada malah berjalan
masing-masing seolah tidak saling terkait. Sehingga Arkoun dalam hal ini
menggunakan semiotika dan antropologi sebagai pendekatan untuk mengkaji
Al-Qur’an. Hal ini juga disebabkan Al-Qur’an merupakan kitab primer yang mengandung
simbol, konsep, dan metafor dalam setiap
untaian kata yang saling berkaitan.
Semiotika adalah ilmu yang mengkaji
tentang tanda dan segala yang berkaitan dengannya, yang meliputi : cara
bagaimana ia berfungsi, hubungannya dengan tanda-tanda lain, serta bagaimana
cara pengiriman dan penerimaannya. Dalam kaitannya dengan wahyu Ilahi, Allah
adalah pengirim pesan, sementara manusia adalah penerima pesan, yang kalau
direfleksikan akan sampai ke tanda-tanda kekuasaan Tuhan (halaman 186).
Analisis Semiotika sangat bermanfaat untuk mengkaji teks-teks keagamaan,
khususnya Al-Qur’an. Karena dengan semiotika dapat melihat makna teks secara
global, selain juga dapat mengetahui keterkaitan antara teks yang satu dengan
yang lain (munasabah al-ayat). Tokoh lain yang menggunakan semiotika
sebagai alat analisis untuk mengkaji Al-Qur’an adalah Mahdi Ghulsyani. Namun
perbedaannya terletak pada sasaran objeknya. Jika Mahdi Ghulsyani lebih pada
ayat-ayat perihal fenomena alam, sedangkan Arkoun pada fenomena sosial keagamaan.
Selanjutnya yang menjadi perhatian
Arkoun adalah disiplin antropologis. Penggunaan disiplin itu didasarkan adanya
peralihan budaya lisan menjadi budaya tulis, kemudian “diakhiri” dengan
pembukuan mushaf standar. Sejak masa Utsman bin Affan, tepatnya sejak
adanya pemusnahan mushaf, selain mushaf utsmani, sampai sekarang
Al-Qur’an telah menjadi korpus tertutup. Hal ini seolah-olah meniadakan adanya
keragaman bacaan dan dialektika dalam Al-Qur’an. Selain itu, adanya
cerita-cerita (qashas) dalam Al-Qur’an juga menjadi pertimbangan Arkoun
menggunakan disiplin antropologi dalam kajiaannya.
Makna universal tidak akan
tersalurkan jika penafsiran yang ada masih cenderung untuk mengikuti arus
idiologi dn politik kekuasaan tertentu. Buku ini hadir dengan mengkaji
pemikiran Arkoun atas berbagai persoalan keislaman serta pembacaan dan
pemahaman Al-Qur’an. Sekaligus memperkenalkan metode dan model penafsiran
Arkoun, yang ingin membebaskan wacana Islam dan wacana Qur’aniah dari
belenggu-belenggu idiologis dan kepentingan-kepentingan politis.
*) Perensensi adalah Mahasiswa
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.